Membumikan
Kuasa Iman Politik Bangsa
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS, 13 Desember
2016
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden
ke-45 Amerika Serikat telah mengguncangkan iman politik bangsa-bangsa di
dunia yang mempunyai kredo demokrasi adalah tatanan kekuasaan yang memuliakan
nilai-nilai kemanusiaan. Tidak pernah terbayangkan Trump, yang dalam
kampanyenya mempropagandakan anti Muslim, imigran, serta kelompok-kelompok
non-WASP (White, Anglo Saxon, dan Protestan), menjadi presiden di negara guru
demokrasi dan pembela hak asasi manusia. Bahkan, teriakan ”Heil Trump!”,
repitisi dan modifikasi dari ”Heil Hitler!”, sempat menggema di beberapa
negara bagian. Dalil demokrasi seakan telah mati dan kehilangan relevansi.
Banyak analisis mengenai tragedi demokrasi
di negara ”embahnya” demokrasi tersebut. Antara lain kambuhnya fenomena
populisme karena lembaga-lembaga politik tradisional korup dan semakin
memarjinalkan rakyat kecil (The
Economist, The Populist Explosion: How The Great Recession Transformed
American and European Politics, Desember, 2016).
Penyalahgunaan sentimen primordial dalam
kompetisi politik juga terjadi di Indonesia. Dalam Pemilihan Presiden 2014
dan jelang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, panggung politik dan
ruang publik keruh oleh ujaran dan ungkapan kebencian serta dendam kesumat.
Politik identitas primordial bahkan sudah mengarah kepada rasa permusuhan
antarwarga. Kehidupan politik menjadi temaram, penuh ketidakpastian, memicu
rasa miris masyarakat, angst psychose, kecemasan, dan rasa takut yang
menyergap secara mendadak.
Banyak analisis yang dapat menjelaskan
dinamika merebaknya politik identitas dewasa ini. Salah satu kausa paling
mendasar adalah iman politik bangsa dan negara, Pancasila, yang belum membumi,
belum merasuk ke dalam jiwa dan semangat masyarakat karena hanya berhenti
pada seremoni dan retorika sehingga menjadi ajaran dan dalil yang mati.
Kesaktian iman politik bangsa yang selalu diperingati setiap tahun selama
beberapa dekade dirasakan hambar dan tidak mampu menggetarkan rasa kebangsaan
publik. Namun, benarkah kredo politik bangsa ini telah sedemikian loyo?
Jawabannya, sama sekali tidak benar.
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai mulia telah berhasil menyatukan
bangsa yang amat beragam. Iman politik bangsa telah membuktikan sebagai
filosofi serta pandangan hidup (weltanschauung)
yang ampuh. Namun, harus diakui bahwa penghayatan iman politik bangsa selama
ini berhenti pada titik upacara, pidato, serta sekadar menghafalkan dalil
sila-sila tersebut. Kemandekan proses internalisasi menjebak bangsa ini dalam
perangkap kejumudan dalam membangsa dan menegara. Namun, yang lebih berbahaya
dan mempunyai daya rusak sosial yang dahsyat adalah mengutip dalil-dalil iman
politik bangsa untuk memburu nafsu kuasa.
Contoh paling konkret penyalahgunaan
doktrin iman politik bangsa yang masif, represif, dan sistematik adalah zaman
Orde Lama dan Orde Baru. Pancasila menjadi alat politik para penguasa.
Meskipun setiap desahan napas dalam berpidato berbusa-busa menjunjung tinggi
Pancasila, praktik penyelenggaraan negara justru melabrak nilai-nilai luhur
tersebut. Akibatnya, mereka terpaksa harus lengser karena mempermainkan iman
politik bangsa.
Membumikan iman politik bangsa pertama-tama
harus menyusun agenda dan kebijakan yang konsisten terhadap cita-cita para
pendiri bangsa. Dalam konstitusi, pendiri bangsa dengan tegas menyatakan
tujuan membentuk negara adalah mewujudkan kebahagiaan atau memajukan
kesejahteraan umum rakyat. Rumusan tersebut terdapat dalam Mukadimah atau
Pembukaan Konstitusi.
Oleh sebab itu, suasana batin dalam
membangsa dan menegara adalah merayakan rasa gembira bersama saudara yang
beraneka ragam, bukan menyebarkan rasa bermusuhan. Menebarkan perseteruan
adalah tengara tidak memahami kredo politik bangsa. Pengalaman pahit rezim
yang tersesat dalam mempraktikkan iman politik bangsa adalah tatanan
kekuasaan yang memonopoli kebenaran. Rakyat yang berbeda pendapat dengan
negara adalah kriminal atau subversif.
Agenda berikutnya adalah melakukan pembelajaran
terus-menerus agar setiap warga dapat menilai dengan tepat apakah perilakunya
sejalan atau menyimpang dengan pandangan hidup bangsa. Pengalaman diskresi
sangat penting untuk mempertajam kemampuan melakukan pilihan antara perilaku
yang mulia dan durhaka. Pengalaman amat diperlukan mengingat wilayah politik
sarat dengan siasat, perilaku durhaka sering bersenyawa dengan kesantunan.
Sebaliknya, perilaku mulia kadang kala tidak bersahabat dengan etika
kesantunan.
Sementara itu, ruang publik tidak boleh
dibiarkan suwung (kosong melompong) karena akan diisi diskursus yang
menggerogoti kewarasan publik. Perdebatan publik harus menjadi arena
pergulatan rasional untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam suasana aman,
damai, dan gembira. Membiarkan ruang publik suwung, terutama dalam kompetisi
politik yang keras, sangat mudah memicu perdebatan tentang kalah menang dan
dikotomi antara musuh dan kawan. Pertandingan politik yang diatur dengan
aturan main sebenarnya adalah permainan bahwa kalah dan menang adalah biasa,
bukan arena saling memusuhi dan saling menihilkan.
Dengan demikian, membumikan kuasa iman
politik bangsa harus sampai kepada tataran menghasilkan efek placebo (Placebo effect). Ibaratnya, orang
sakit dapat sembuh karena percaya kepada dokter meskipun yang diberikan
adakah vitamin generik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar