Audit
Kinerja Parlemen
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS, 13 Desember
2016
Salah satu indikator untuk menilai kondisi
demokrasi sebuah negara adalah seberapa besar institusi demokrasi berperan
dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. Salah satu aktor penting yang bisa
disorot adalah parlemen, yaitu bagaimana fungsi-fungsi parlemen dijalankan
untuk mendukung tercapainya tujuan demokrasi.
Mengacu pada Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) tahun 2015 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), IDI memperlihatkan
penurunan dari tahun 2014, di mana salah satu aspek yang dinilai
berkontribusi terhadap penurunan ini adalah melemahnya kinerja parlemen
daerah (DPRD). Dalam konteks nasional, kondisinya tidak jauh berbeda, kinerja
parlemen pusat (DPR) tidak menunjukkan perbaikan.
Jika menggunakan kerangka global, ada
relasi yang kuat antara kondisi demokrasi dan tingkat korupsi di suatu
negara. Semakin baik kondisi demokrasinya, maka semakin rendah tingkat
korupsinya, begitu pula sebaliknya. Data Freedom House mengenai kondisi
demokrasi dengan Corruption Perception Index (CPI) setidaknya menunjukkan
relasi tersebut.
Di Indonesia, peran dan fungsi yang
dimiliki DPR mengindikasikan kuatnya posisi lembaga ini di dalam menentukan
kebijakan politik. Semua fungsi strategis dalam pengambilan keputusan terkait
negara wajib melibatkan DPR. Dimulai dari menentukan hukum dasar negara
(konstitusi), membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menyetujui
anggaran pemerintah, memilih dan menentukan pimpinan lembaga-lembaga negara,
dan fungsi strategis lainnya.
Namun, peran yang begitu besar ini tidak
diikuti dengan kinerja yang memadai. Bahkan di mata publik, DPR selalu
dipersepsikan sebagai lembaga/institusi negara yang paling korup (Global
Corruption Report).
Menera
DPR
Ada banyak pendekatan yang bisa digunakan
untuk melihat bagaimana DPR menera kinerja DPR. Hal yang paling mudah
dilakukan, misalnya, adalah melihat tingkat kehadiran anggota DPR dalam
rapat-rapat penting. Hasilnya, menurut pantauan WikiDPR, tingkat kehadiran
anggota DPR pada masa sidang pertama tahun 2016-2017 di bawah 50 persen
(41,79 persen). Belum lagi soal maraknya praktik manipulasi absensi, di atas
kertas ada tetapi faktanya justru berbeda (Kompas,17/11).
Dari segi pelaksanaan fungsi DPR, publik
bisa menggunakan komparasi laporan kinerja selama dua tahun, yaitu pada masa
sidang Oktober 2014-Agustus 2015 dan Agustus 2015-Agustus 2016. Dalam konteks
legislasi, ketimpangan sangat jelas terlihat. Pada tahun 2015, DPR
menargetkan 39 rancangan undang-undang (RUU) sebagai prioritas dalam program
legislasi nasional. Hasilnya, hanya ada tiga RUU yang selesai disusun dan itu
pun hanya satu perubahan undang-undang dan dua penetapan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) menjadi undang-undang.
Pada 2016 bahkan lebih buruk, dari 50 RUU
yang ditargetkan hanya 16 yang tercapai. Walaupun dari segi jumlah mengalami
kenaikan, problemnya ternyata masih sama. Jika ditelisik, hanya ada empat RUU
yang murni produk DPR. Di luar itu, ada 4 RUU inisiatif pemerintah, 5 RUU
terkait pengesahan perjanjian kerja sama dengan negara lain (inisiatif
pemerintah), dan 3 RUU terkait APBN/pertanggungjawaban keuangan negara
(inisiatif pemerintah).
Mengukur
kinerja
Di fungsi yang lain (anggaran dan
pengawasan), kinerja DPR bisa dinilai biasa saja dan tidak menunjukkan
hal-hal yang signifikan.
Semua data di atas sesungguhnya memiliki
relevansi satu dengan yang lain, persepsi publik yang buruk terhadap DPR
ternyata disokong oleh kinerja yang minim. Apalagi juga didukung fakta
keterlibatan anggota DPR dalam banyak kasus korupsi dan pelanggaran etik.
Kondisi ini seperti dipelihara dan
dibiarkan berlarut, padahal ada banyak lembaga/institusi negara yang
seharusnya bisa mengawasi DPR. Misalnya, bagaimana memunculkan instrumen
negara untuk melakukan audit kinerja terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi DPR?
Secara teknis, hal ini bisa dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor negara. Selama ini yang diaudit
hanyalah sekadar pemeriksaan keuangan dan tidak menyentuh dari sisi kinerja.
Laporan kinerja yang biasa disampaikan dalam setiap akhir masa sidang
bukanlah bagian dari audit kinerja menurut hukum keuangan negara. Hal ini
sangat subyektif berdasarkan capaian yang dikerjakan DPR dan bukan menguji
sejauh mana anggaran yang digunakan dengan apa yang dihasilkan.
Ada dua alasan utama mengapa DPR perlu
diaudit secara kinerja. Pertama, DPR adalah lembaga negara yang mengelola dan
menggunakan uang negara. Secara hukum, penggunaan keuangan negara harus
melalui audit keuangan dan kinerja. Kedua, fungsi dan kedudukan DPR yang
sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan negara. Akan sangat
merugikan bagi publik dan negara jika fungsi dan kedudukan tersebut tidak digunakan
secara maksimal atau bahkan banyak terjadi penyimpangan.
Bagaimana kita bisa menempatkan DPR dalam
posisi yang kuat, tetapi di sisi yang lain mengabaikan aspek
akuntabilitasnya. Pelanggaran hukum (korupsi), minimnya penegakan etik,
hingga kinerja yang buruk tentu akan terus membayangi jika aspek
akuntabilitas (kinerja) ini tidak segera diperbaiki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar