Puas
tidak Puas Hakim Jangan Ditekan
Erman Rajagukguk ; Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
07 Desember 2016
TIDAK lama lagi kita akan menyaksikan dua
sidang penting. Pertama, sidang perkara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang
dituduh melakukan penistaan kitab suci Alquran dan kedua sidang tuduhan makar
terhadap beberapa orang yang merencanakan upaya pembajakan massa Aksi
Superdamai 212 yang lalu. Berbicara soal puas tidak puas dengan keputusan
hakim, kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang menjadi
dasar dari penghukuman.
Berdasarkan tuduhan yang ditujukan terhadap
terdakwa dan berhubungan pula dengan pemeriksaan di persidangan, apabila
hakim memandang tuduhan itu terbukti menimbulkan suatu strafbaar feit dan
terdakwa dapat dihukum, ia memasuki persoalan penentuan jenis berat ringannya
hukuman dan modus hukumannya. Ia antara lain akan memasuki masalah teori
hukum pidana manakah yang harus diikuti untuk dapat menjatuhkan hukuman.
Perundang-undangan kita dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) tidak memberikan suatu teori yang harus dianut
sebagai dasar penghukuman. Dengan demikian, dapat dikatakan hakim mempunyai
kebebasan untuk memilih teori manakah yang ia ikuti dalam menetapkan hukuman.
Ilmu hukum pun tidak memberikan pegangan yang tetap, bahkan tidak terdapat
suatu persesuaian pendapat mengenai dasar penghukuman. Apakah ‘pembalasan’,
‘pencegahan’, atau ‘pengamanan’ bagi masyarakat yang dijadikan landasan bagi
penetapan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan? Bagaimana pula dengan
‘pendidikan’ yang menjadi pula salah satu tujuan dari hukuman tersebut?
Walaupun pembentuk undang-undang, doktrin,
dan yurisprudensi tidak memberikan pegangan ke pada hakim dalam menetapkan
hukuman yang dijatuhkan, dalam kenyataannya, hakim kita menganut teori
gabungan. Di samping ‘pencegahan’, ‘pengamanan’ kepentingan masyarakat secara
keseluruhan, tidak pula ditinggalkan unsur ‘pendidikan’ bagi diri si terhukum
sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan penetapan hukuman ialah soal
kebijaksanaan hakim. Maka menjadi pertanyaan ialah bahan-bahan apakah yang
diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan tersebut.
Alm Prof Oemar Seno Adjie pernah
mengetengahkan pendapat A Mulder tentang perlunya suatu ‘daftar titik kontrol’
sebagai bahan yang dapat dipergunakan hakim dalam menetapkan kebijaksanaannya
dalam menentukan berat ringannya hukuman. Konsep mengenai ‘daftar titik
kontrol’ misalnya memuat personalia terdakwa, akibat dari perbuatan,
keterangan-keterangan tentang perbuatan, sikap terdakwa, dan sebagainya.
‘Titik-titik kontrol’ itu diharapkan dapat memudahkan hakim dalam menjatuhkan
hukuman, memberikan kesadaran untuk menyeimbangkan kepentingan dari
masyarakat dengan perhatian terhadap kepribadian para pelaku tindak pidana.
Bila tidak puas dengan putusan hakim
Pengadilan Negeri, pihak yang tidak puas bisa naik banding ke Pengadilan
Tinggi. Bila belum puas pula atas putusan hakim Pengadilan Tinggi, bisa naik
kasasi ke Mahkamah Agung. Bila tidak puas dengan putusan kasasi dan
ditemukannya ada bukti baru, bisa pula mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Hakim sukar menetapkan putusan yang adil dalam suasana tertekan, tidak
perduli dari pihak mana tekanan tersebut datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar