Rabu, 14 Desember 2016

Puas tidak Puas Hakim Jangan Ditekan

Puas tidak Puas Hakim Jangan Ditekan
Erman Rajagukguk  ;   Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
                                         MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TIDAK lama lagi kita akan menyaksikan dua sidang penting. Pertama, sidang perkara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dituduh melakukan penistaan kitab suci Alquran dan kedua sidang tuduhan makar terhadap beberapa orang yang merencanakan upaya pembajakan massa Aksi Superdamai 212 yang lalu. Berbicara soal puas tidak puas dengan keputusan hakim, kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang menjadi dasar dari penghukuman.

Berdasarkan tuduhan yang ditujukan terhadap terdakwa dan berhubungan pula dengan pemeriksaan di persidangan, apabila hakim memandang tuduhan itu terbukti menimbulkan suatu strafbaar feit dan terdakwa dapat dihukum, ia memasuki persoalan penentuan jenis berat ringannya hukuman dan modus hukumannya. Ia antara lain akan memasuki masalah teori hukum pidana manakah yang harus diikuti untuk dapat menjatuhkan hukuman.

Perundang-undangan kita dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak memberikan suatu teori yang harus dianut sebagai dasar penghukuman. Dengan demikian, dapat dikatakan hakim mempunyai kebebasan untuk memilih teori manakah yang ia ikuti dalam menetapkan hukuman. Ilmu hukum pun tidak memberikan pegangan yang tetap, bahkan tidak terdapat suatu persesuaian pendapat mengenai dasar penghukuman. Apakah ‘pembalasan’, ‘pencegahan’, atau ‘pengamanan’ bagi masyarakat yang dijadikan landasan bagi penetapan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan? Bagaimana pula dengan ‘pendidikan’ yang menjadi pula salah satu tujuan dari hukuman tersebut?

Walaupun pembentuk undang-undang, doktrin, dan yurisprudensi tidak memberikan pegangan ke pada hakim dalam menetapkan hukuman yang dijatuhkan, dalam kenyataannya, hakim kita menganut teori gabungan. Di samping ‘pencegahan’, ‘pengamanan’ kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tidak pula ditinggalkan unsur ‘pendidikan’ bagi diri si terhukum sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan penetapan hukuman ialah soal kebijaksanaan hakim. Maka menjadi pertanyaan ialah bahan-bahan apakah yang diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan tersebut.

Alm Prof Oemar Seno Adjie pernah mengetengahkan pendapat A Mulder tentang perlunya suatu ‘daftar titik kontrol’ sebagai bahan yang dapat dipergunakan hakim dalam menetapkan kebijaksanaannya dalam menentukan berat ringannya hukuman. Konsep mengenai ‘daftar titik kontrol’ misalnya memuat personalia terdakwa, akibat dari perbuatan, keterangan-keterangan tentang perbuatan, sikap terdakwa, dan sebagainya. ‘Titik-titik kontrol’ itu diharapkan dapat memudahkan hakim dalam menjatuhkan hukuman, memberikan kesadaran untuk menyeimbangkan kepentingan dari masyarakat dengan perhatian terhadap kepribadian para pelaku tindak pidana.

Bila tidak puas dengan putusan hakim Pengadilan Negeri, pihak yang tidak puas bisa naik banding ke Pengadilan Tinggi. Bila belum puas pula atas putusan hakim Pengadilan Tinggi, bisa naik kasasi ke Mahkamah Agung. Bila tidak puas dengan putusan kasasi dan ditemukannya ada bukti baru, bisa pula mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hakim sukar menetapkan putusan yang adil dalam suasana tertekan, tidak perduli dari pihak mana tekanan tersebut datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar