HAM
dan Politik Inklusif Kenabian
Asep Salahudin ; Esais;
Wakil Rektor I Bidang Akademik
IAILM Pesantren Suryalaya,Tasikmalaya
|
MEDIA INDONESIA,
10 Desember 2016
HARI ini dinyatakan sebagai Hari Kaum
Humanisme, International Humanist and Ethical
Union. Tanggal untuk menghormati PBB yang memproklamasikan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, pada 10 Desember 1948. Pasal-pasalnya di
antaranya berisi hak kemerdekaan, pengakuan sama di depan hukum, mendapatkan
suatu kebangsaan, hak milik atas benda, mengeluarkan pendapat, berkumpul,
mendapatkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, bebas memeluk agama, dan
sebagainya.
Dua hari setelahnya, Senin (12/12) atau 12
Rabiul Awal 1438, bagi umat Islam ialah hari penting sebagai momen bersejarah
dilahirkannya Kanjeng Nabi SAW atau kita menyebutnya maulid. Maulid
diperingati di banyak negara dengan beragam cara. Bagi umat Islam, Muhammad
SAW adalah mata air keteladanan dalam hal ihwal. Dalam kitab yang biasa
dibaca saat upacara maulid, Qasidah al-Barjanji, karya seorang sastrawan
Persia terkemuka abad-17 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Syu'bah Asa, dan sempat dipentaskan Bengkel Teater Rendra tertulis; 'Terbit
purnama di tengah kita/maka sirnalah semua purnama/bagai cantikmu tak pernah
kupandang/aduhai wajah kegembiraan'.
Frithjof Schoun dalam Islam and The
Perennial Philosophy mengatakan, 'Karakteristik kebajikan-kebajikan Muhammad
ini menjelaskan gaya relatif impersonal orang-orang suci, tidak ada
kebajikan-kebajikan lain kecuali kebajikan-kebajikan Muhammad sehingga
kebajikan-kebajikan itu hanya dapat berulang pada orang-orang yang mengikuti
contohnya, melalui merekalah Nabi bergelora di tengah masyarakatnya, hidup
abadi dalam nadi para pengikutnya'.
Etika
politik
Tentu saja perayaan maulid pesan utamanya
ialah mengingatkan kita tentang keniscayaan menginternalisasikan etika yang
telah diteladankan Sang Nabi. Menyegarkan lagi pentingnya sebuah peneguhan
bahwa kebesaran Islam yang dibawanya justru terletak dari imperatif moral
yang dicanangkannya. Bahkan, modus utama kelahirannya tak lain ialah dalam
rangka membangun tata kehidupan yang dijangkarkan di atas kekuatan akhlak
mulia. Innama buitstu li utammima makarimal akhlak.
Tidak saja akhlak terhadap keluarga,
komunitas seagama juga terhadap mereka yang berlainan pilihan keyakinan.
Piagam Madinah ialah sebuah kontrak sosial inklusif yang melambangkan
gambaran bagaimana penghormatan Nabi kepada pluralisme dan multikulturalisme.
Piagam Madinah pada titik tertentu spiritnya beririsan dengan Universal
Declaration of Human Rights. Piagam Madinah sebagai titik temu (kalimatun
sawa) dari fakta sosial yang majemuk.
Dalam konteks keindonesiaan, Piagam Madinah
serupa dengan Pancasila yang diwariskan manusia pergerakan. Di hadapan
Pancasila, semua anak bangsa memiliki posisi setara. Pancasila menjadi hikmah
terbesar yang telah berhasil menyatukan bangsa kita yang heterogen, menjadi
lem ideologis yang merekatkan semua keragaman sehingga kita masih utuh
bersatu.
Khotbah
kemanusiaan
Pidato Nabi SAW di Arafah semakin
menjelaskan konstruksi keislaman yang satu helaan napas dengan pemuliaan
terhadap HAM.
Kita simak penggalan pidatonya itu,
"Wahai manusia ingatlah Allah! Ingatlah Allah berkenan dengan agamamu
dan amanat-amanatku. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah berkenaan dengan
orang-orang yang kamu kuasai dengan tanganmu. Kamu harus memberikan pakaian
kepada mereka seperti yang kamu pakai. Kamu harus memberi makan kepada mereka
seperti yang kamu makan. Dan kamu tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu
yang mereka tidak sanggup mengerjakannya. Mengapa? Sebab mereka itu makhluk
terbuat dari darah dan daging seperti kamu. Ingatlah barang siapa berbuat
zalim terhadap buruhnya, kepada pembantunya, akulah musuh mereka di hari
kiamat dan Allah menjadi hakimnya."
Sebuah khotbah kemanusiaan sangat dahsyat.
Kalau diselisik kata per-kata, benar-benar menyimpan makna futuristik.
Religiositas yang sangat kental dengan persoalan sosial. Epifani kudus
keimanan yang berkelindan dengan dengus kemanusiaan. Dan kita pun mafhum,
tergelarnya masyarakat madani, salah satunya mensyaratkan hadirnya tekad
kukuh untuk menerjemahkan secara fungsional pesan yang terkandung dalam
khotbah Nabi itu. Pesan yang menating roh egalitarianisme, transparansi,
kepekaan sosial, akuntabilitas, sekaligus pembungkaman terhadap segenap
praktik pemerasan manusia atas manusia lain (exploitation of man by man). Pesan ini pula yang diamanatkan
Alquran sebagaimana dapat ditelusuri dalam QS al-Maun: 2-3, al-Haqqah: 34,
al-Balad: 13, al-Dzariyat: 19, al-Qalam: 27, al-Waqiah: 67 dan al-Kahfi: 20.
"Bahwa
barangsiapa yang membunuh seorang manusia maka seolah-olah ia telah membunuh
manusia secara keseluruhan. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya" (QS al-Maidah/5: 32).
Sang
pemaaf
Peristiwa monumental Futuh Makkah juga
fakta lain yang menandakan politik inklusif permaafan sang Nabi. Nabi yang
dahulu diteror masyarakat Mekkah, justru ketika berada di atas angin dan kesempatan
balas dendam berada di pelupuk mata, malah memaafkan dan membebaskan
musuh-musuhnya. Kata Nabi, "Maafkanlah orang yang menganiaya dirimu,
hubungilah orang yang memutuskan engkau, balaslah dengan kebaikan orang yang
berbuat buruk kepadamu, dan berkatalah yang benar sekalipun terhadap dirimu
sendiri."
Di lain kesempatan, Nabi dicaci maki
seorang Yahudi, assammu 'alaikum (kecelakaan bagimu). Nabi dengan muka
bercahaya menyahut waalaikum. Istrinya Siti Aisyah protes seraya mencaci
balik dengan cacian yang lebih tajam, Assammu alakum wa la'natuh. (bagi kamu
kecelakaan dan laknat). Nabi menegur, "Jangan berlebihan, istriku."
"Saya marah karena engkau telah dihina Ya Rasul," sahut Siti
Aisyah. "Tapi aku kan telah menjawab setimpal dengan waalaikum (bagimu juga),"
ujar Nabi.
Dalam narasi lain, Nabi berdiri karena ada
rombongan jenazah yang lewat, seorang sahabat mengingatkan, "Bukankah
ini jenazah seorang Yahudi?" Nabi menjawab, "Jika kamu menyaksikan
jenazah maka berdirilah. Hormatilah."
Politik inklusif sebagai jembatan untuk
membangun hidup yang bebas dari kekerasan. Alquran tentu saja merupakan kitab
suci yang di dalamnya menekankan pentingnya hidup terbebas dari segala bentuk
kekerasan, baik fisik atau pun kekerasan simbolis. Hakikatnya tidak ada satu ajaran
agama pun yang merekomendasikan umatnya menebar kekerasan dan kebencian atas
nama apa pun. Ketika ada agama yang melegalkan itu, autentisitas agama
seperti itu patut dipertanyakan. Tradisi antikekerasan juga bukan hanya
persoalan religius (seperti diteladankan Nabi saw dan juga nabi-nabi lain),
melainkan juga metafisis (Jainisme) dan etis seperti ditawarkan Henry Davis
Thoreau dan Jhon Ruskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar