Dua
Tahun Poros Maritim Dunia
Muhamad Karim ; Direktur
Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim; Dosen Universitas Trilogi
|
MEDIA INDONESIA,
09 Desember 2016
GAGASAN pemerintahan Jokowi tentang poros
maritim dunia (PMD) telah berlangsung dua tahun. Namun, belum ada
perkembangan yang signifikan. Pasalnya secara konseptual belum ada pemahaman
jelas dan komprehensif soal apa itu PMD. Padahal, sisa usia pemerintahannya
tinggal tiga tahun lagi.
Secara filosofi terminologi PMD dapat
dipahami sebagai pusat kemaritiman dunia. Artinya, Indonesia bakal jadi
negara yang mengendalikan dinamika kemaritiman di dunia. Namun, jika
dibandingkan dengan konsep jalur sutra maritimnya Tiongkok, kita tertinggal
jauh. Ia menitikberatkan pada dinamika ekonomi, transportasi laut, klaim
teritorial, dan pertahanan maritim. Termasuk upaya mengendalikan kekayaan
sumber daya maritim strategis seperti cadangan gas dan minyak (migas) di
daerah lepas pantai (offshore) serta perikanan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Bahkan, mereka mengekspansi sektor-sektor maritim negara tetangga mereka di
sekitar Laut Tiongkok Selatan (LTS). Pertanyaannya, apakah PMD kita mampu
menyaingi jalur sutra maritim Tiongkok atau berkolaborasi dengannya yang kini
berkembang pesat?
Mencermati cara pandang dalam mengembangkan
PMD; pertama, pemerintah terkesan terobsesi mengulangi jejak kejayaan
kerajaan maritim Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Serta Islam
pesisir abad 15-17 yang menguasai ekonomi maritim berbasis komoditas rempah-rempah,
hasil laut (teripang), serta perkebunan (karet dan kopi).
Nusantara masa silam mengalami kejayaan
karena komoditas-komoditas itu menjadi 'primadona' di pasar internasional
yang dibutuhkan Eropa, Timur Tengah, India dan Tiongkok. Karena itu, RI
menjadi pusat persilangan dunia (baca: Denish Lombart) secara sosial,
ekonomi, dan budaya hingga menghegemoni peradaban maritim dunia saat itu.
Jadi, wajar negara-negara kolonialis Eropa
berusaha mencapai Nusantara untuk setidaknya menguasai perdagangan (baca:
VOC). Mestinya, cara pandang masa silam tidak bisa menjadi acuan
mengimplementasikan PMD. Pasalnya dinamika perdagangan dunia saat ini tidak
bersifat bipolar, tetapi multipolar. Jika itu acuannya, gagasan PMD amat
sulit diimplementasikan karena dinamika ekonomi maritimnya sudah berubah.
Kedua, memformulasikan ulang paradigma
integrasi ekonomi maritim. Meminjam pemikiran Prof AB Lapian bahwa kekuatan
ekonomi maritim Nusantara abad 15-17 ditopang tiga komponen, yakni (i)
kekuatan pelayaran dan perdagangan antarpulau, interseluler, dan
internasional; (ii) integrasi ke pelabuhan dengan kota-kota pesisir yang
menjadi pusat kerajaan dan gravitasi perekonomian; dan (iii) komoditas
unggulan strategis yang menjadi primadona pasar internasional, khususnya rempah-rempah.
Pemerintah tidak bisa lagi menggunakan cara
pandang itu buat PMD. Namun, memformulasikan model integrasi-integrasi
ekonomi yang saling ketergantungan dengan sistem perdagangan internasional
yang adil. Pasalnya, dalam konstelasi ekonomi politik maritim dunia Tiongkok
telah memosisikan diri sebagai aktor utama. Buktinya, pemerintah dua tahun
terakhir baru sebatas memperbaiki sistem logistik nasional yang tidak efisien
jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya hingga memberantas illegal, unreported, and unregulated (IUU)
fishing. Ditambah lagi pemerintahan Jokowi belum memiliki 'Kebijakan
Kelautan' yang komprehensif sebagai arah dalam membangun kemaritiman
Indonesia.
Hegemoni
kawasan
Perkembangan kemaritiman dunia saat ini,
secara geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi--teori sistem dunia (Immanuel
Wallerstein) dan dependensia/ketergantungan, posisi Tiongkok telah jadi poros
maritim dunia. Faktanya, pertama, Tiongkok telah mengukuhkan dirinya sebagai
penguasa LTS lewat klaim sejarah tradisional mereka.
Imbasnya Malaysia, Brunei Darussalam,
Taiwan, Vietnam, dan Filipina yang berbatasan maritim dengannya geram.
Mengapa? Karena mereka memiliki kepentingan
vital (wilayah dan geologi) serta strategis di perairan seluas 3,5 juta km2
persegi. Diperkirakan, lalu lintas perdagangan internasional setiap tahunnya
mencapai US$5,3 triliun, ditambah cadangan minyak bumi 11 miliar barel dan
gas alam 190 triliun kaki kubik.
Kedua, FAO (2016) melaporkan bahwa Tiongkok
berkontribusi terhadap perikanan dunia baik tangkap maupun budi daya sebesar
40,30% dan menduduki peringkat pertama. Sementara itu, RI hanya 11,14%.
Artinya, Tiongkok secara ekonomi politik menguasai dan bisa mengendalikan
sumber protein dunia lewat perdagangan ikan dan produk perikanan. Ia pun
melakukan ekspansi investasi ke negara-negara tetangga mereka termasuk RI
yang konon berlokasi di Kepulauan Natuna. Ia pun telah mengundang delegasi
ekonomi maritim RI 2016 bermuhibah ke Tiongkok dengan dalih kerja sama
kemaritiman. Apakah motif di balik muhibah ini? Menariknya lagi FAO juga
merilis bahwa sejak 2014-2016 RI tidak lagi masuk kategori 10 negara
eksportir ikan dunia. Ini problem serius.
Ketiga, bagi Tiongkok LTS bernilai 'vital
dan strategis' buat lalu lintas perdagangan produk elektronik hingga
manufaktur menuju Eropa, AS, dan Asia Tenggara. Nusantara dahulu menjadi PMD
dengan komoditas basisnya rempah-rempah, kini Tiongkok mentransformasikan
ekonomi maritimnya dari berbasis komoditas sutra dan kerajinan porselen
menjadi elektronik dan manufaktur. Di sinilah salah satu kemampuan Tiongkok
memosisikan diri sebagai negara inti dalam frame PMD masa kini.
Sementara itu, RI lebih tepat sebagai
negara periferinya secara geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi. Kenyataan
itu mencerminkan bahwa jalur sutra maritimnya Tiongkok lebih efektif
menghegemoni ekonomi maritim kawasan Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan AS
ketimbang RI dengan PMD-nya yang baru sebatas sloganisme. Hal ini mestinya
jadi fokus utama Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya bersama
kementerian/lembaga di bawah koordinasinya.
Pusat
gravitasi
Gagasan RI sebagai PMD mestinya dibangun
lewat konsepsi yang kuat dan implementatif secara ekonomi politik. Mengapa?
Karena konsepsi itu menjadi arah, kaidah pokok dan paradigma bersama semua
pemangku kepentingan untuk memosisikan RI sebagai 'negara inti' dan pusat
gravitasi ekonomi kemaritiman dunia. Untuk mencapai hal itu: pertama, di
level global, RI bisa menjadi negara inti kemaritiman dunia karena letak
geografisnya yang strategis dan dukungan kekayaan SDA maritim sebagai sektor
basis. Sayangnya, sektor basis nonmaritimnya sebagai bagian penghela PMD
belum ada sekaliber rempah-rempah yang menghipnosis dunia di masa silam.
Kedua, di level regional, pemerintah mesti
menetapkan pusat-pusat gravitasi ekonomi maritim yang dibarengi dengan
penentuan sektor basisnya (komoditas barang dan jasa) yang bernilai vital dan
strategis dalam dinamika ekonomi internasional (baca: perdagangan). Artinya,
PMD versi RI ini tidak akan berkompetisi dengan jalur sutra maritim Tiongkok,
tetapi saling berkolaborasi dengan mempertimbangkan kepentingan vital dan
strategis keduanya.
Bukannya, seperti sekarang, RI malah
mengundang asing berinvestasi di Indonesia dalam bidang perikanan tangkap,
budi daya, pulau-pulau kecil, dan eksplorasi migas offshore serta membangun
kota pantai lewat proyek reklamasi. Artinya, kebijakan semacam itu bukan
memosisikan dirinya sebagai 'negara inti' melainkan sebagai 'negara
periferi/pinggiran' dalam bidang kemaritiman. Kebijakan KKP memberantas IUU
fishing bisa saja menjadi tolok ukur memosisikan Indonesia sebagai negara
inti agar menjadi 'kuasa pengelolaan sumber daya' ikan dan menegakkan
kedaulatan ekonomi RI di lautan (Pasal 33 UUD 1945). Namun, hal itu belum cukup
sebab membutuhkan sektor basis maritim lain dan nonmaritim sebagai
penghelanya. Jika tidak demikian, kian membenarkan bahwa PMD hanyalah
retorika dan sloganisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar