Gus
Dur, Soedjatmoko untuk Islam dan Indonesia
Sabiq Carebesth ; Penyair;
Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya
Book Review & Culture di Galeri Buku Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
10 Desember 2016
ANOMALI sosial dan demokrasi yang kita
alami hari ini berkaitan erat dengan krisis pemikiran, krisis keterkaitan,
dan cenderung abainya negara dalam memfasilitasi keadilan dan kesejahteraan
sosial. Realitas tersebut berlangsung bersamaan dengan makin melemahnya
bangunan civil society sebagai akibat dari krisis demokratisasi secara umum.
Gejala-gejala demoralisasi terhadap agama, negara, dan demokrasi serta
politik itu sendiri justru berlangsung disebabkan ulah sebagian besar kita
sendiri karena kedangkalan pemikiran, minimnya pemahaman kebangsaan, dan
hilangnya tanggung jawab sosial.
Dalam kondisi serbaprihatin semacam itu,
kekosongan kepemimpinan pada level politik kebudayaan berlangsung masif
sebagai wujud tiadanya anutan bangsa yang bisa dijadikan tempat bermusyawarah
dan memberi kita pandangan-pandangan serta harapan kemajuan politik dan
kemungkinan terwujudnya keadilan sosial.
Di satu sisi, kepemimpinan moral dalam
paham kebudayaan politik kita terbukti telah menopang dan menolong dari
kondisi krisis pada masa lalu yang pernah mendera kita. Para tokoh dan anutan
bangsa seperti almarhum Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid dan Soedjatmoko mewakili
kepemimpinan dalam hal kebudayaan politik dan intelektual. Dua sosok itu
sulit dicarikan padanannya pada figur tokoh publik di zaman sekarang.
Gus Dur penting sebagai tokoh bangsa.
Dengan visi politik kebudayaannya, terbukti ia telah mampu menyelamatkan
lebih banyak umat dan bangsa Indonesia dari kemungkinan jatuhnya lebih banyak
korban serta terperosoknya bangsa ini dalam krisis yang lebih akut.
Dalam masa hidupnya baik sebagai Ketua Umum
PBNU, Presiden keempat Indonesia, dan juga kiai, Gus Dur melewati begitu
banyak ujian kebangsaan sebagai akibat dari berlangsungnya upaya pelanggengan
oligarki politik lama, dan beban liberalisasi ekonomi dari agenda politik
global-kapitalisme.
Namun, beliau mengajarkan kehadirannya
dalam politik membawa visi politik umat. Itu memiliki arti keselamatan
sebanyak-banyaknya umat dan tegaknya bangunan kebangsaan penting melampaui
semua logika politik kekuasaan, yang disandarkan pada kalkulasi kelompok atau
hanya kepentingan personal belaka.
Bagi Gus Dur, seperti seringkali
diungkapkannya dalam banyak pidatonya, 'kekuasaan bukan apa-apa!' Kekuasaan
bukan hajat pribadi yang harus dipertahankan dan dipertaruhkan, dengan akibat
jatuhnya korban dari rakyat dan kemungkinan terjadinya krisis kebangsaan.
Justru politik harus dalam rangka gotong
royong menguatkan rakyat dan menjamin bergerak majunya proses kebangsaan.
Suatu teladan dari visi politik yang susah kita temukan penggantinya pada
figur politik hari ini.
Kosmopolit
intelektual
Kehadiran Soedjatmoko penting sebagai sosok
intelektual yang tegas dan jujur. Seorang kosmopolit intelektual yang
pemikirannya berdiri kukuh di atas ketegasan asumsi-asumsi intelektualitas
politik kebangsaan yang memihak pada kemanusiaan universal.
Soedjatmoko sebagaimana digambarkan
Magnis-Suseno ialah pribadi intelektual sejati. Ia rasional, tenang, cool,
kritis, sedikit skeptis, mengambil jarak tetapi selalu optimistis, dan
committed pada kejujuran intelektual. (Lihat pengantar Magnis-Suseno untuk
buku pemikiran Soedjatmoko untuk kebebasan, Gramedia 1994).
Darinya paling tidak kita mengambil
beberapa pelajaran dan sikap seorang intelektual yang mungkin bisa menjadi
teladan bagi kelompok intelektual kita sekarang ini; 1) Soedjatmoko ialah
pribadi intelektual yang jauh dari sekat-sekat prasangka sektarian dan
primordial. Dia menjunjung tinggi kebebasan. Bangsa ini akan maju jika
kerinduannya akan kebebasan terpenuhi dan beriring menjadi spirit dalam menyusun
masa depan Indonesia. Pandangan yang membuatnya terbuka bagi keragaman dan
'liyan' tetapi dalam dirinya ia seorang pecinta Tanah Air sejati. 2)
Cita-cita intelektual yang selalu dipangkunya ialah martabat manusia
Indonesia--dia selalu berharap agar agama-agama dapat menjadi pembawa pola
yang menjunjung tinggi martabat manusia. 3) Soedjatmoko seorang intelektual
muslim, keturunan priyayi Jawa yang lahir dan besar di jantungnya tanah
Minang, Sawahlunto. Maka ia tumbuh menjadi Jawa yang Indonesia, muslim yang
kosmopolit dan pluralis sejati.
Dalam satu kesempatan dialog bersama Gus
Dur, Soedjatmoko mengungkapkan pemikirannya bahwa kebangkitan dan kemajuan
dunia ke depan akan mengarah pada peradaban Timur.
Indikasi yang dimulai, menurut Soedjatmoko,
dari telah memuncaknya negara-negara industri maju pada titik optimal
perkembangan sejarahnya. Hal yang tidak bisa lagi dikejar negara-negara
berkembang sehingga negara berkembang di dunia ke tiga harus mengembangkan
peradaban (sivilisasi) mereka sendiri.
Dalam catatan Gus Dur, Soedjatmoko pernah
memperkirakan munculnya tiga peradaban dunia dari negara berkembang yaitu;
yaitu peradaban sinetik (bersumber pada Tiongkok), indik (bersumber pada
keindiaan) dan peradaban Islam yang membentang dari Asia tenggara hingga ke
Maroko.
Peradaban pertama dan kedua sedang dalam
tahapan yang mungkin membenarkan ramalan Soedjatmoko seperti kita lihat hari
ini. Namun, peradaban Islam, dan Islam Indonesia? Bukankah kita justru
melihat kehancuran di banyak mayoritas negara muslim akibat konflik dan
perpecahan berkepanjangan? Pertanyaan sama juga pernah diajukan kepada
Soedjatmoko waktu itu, dan atas serangan yang menganggap mustahil peradaban
Islam bisa dibangun kembali. Ia menjawab justru dinamika pertentangan itu
sendiri yang akan membesarkan kebudayaan Islam menjadi hampir satu peradaban
dunia. Bukankah peradaban Eropa barat pada waktu itu mulai menjarahi dunia
dahulu juga sering saling menyerang?
Gus Dur dalam tulisannya berjudul
'Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?' Menggarisbawahi ramalan
yang datangnya justru dari seorang intelektual dengan sikap hidup
serbakosmopolitan seperti Soedjatmoko itu, dengan menyatakan bahwa yang
penting justru bagaimana berlangsung reaktualisasi dan reinterpretasi Islam
untuk kemanusiaan secara universal.
Hanya dengan cara itu peradaban Islam bisa
kembali menjadi peradaban besar pada zaman kini, aktual, dan bukan sekadar
buaian glorifikasi. Islam Indonesia bukan untuk kembali mewariskan arsitektur
megah kaum muslim pada masa lalu, atau formalisme Islam di dalam konstitusi
dan peradaban demokrasi kita, tetapi justru Islam Indonesia diberi kebebasan
untuk mengembangkan diri dan berinovasi untuk membangun negeri ini dan
terdepan dalam memimpin kemajuan dan demokrasi indonesia.
Sebagai mayoritas agama yang dipeluk
masyarakat di Indonesia, Islam seharusnya memosisikan diri sebagai pengayom
yang lain. Ia harus memiliki rasa lebih bertanggung jawab pada rasa aman dan
terlindunginya kebebasan beragama.
Sebab di sanalah letak kepemimpinan budaya
dan politik yang harus diambil perannya oleh Islam Indonesia. Jangan sampai
malah terjebak dalam khayalan glorifikasi semu dan terkotakkan dalam sekat
sektarian maupun primordial. Gus Dur dan Soedjatmoko telah memberikan teladan
sikap dan warisan visi pemikiran, yang kita butuhkan untuk menjawab sebagian
besar tantangan kebangsaan kita pada hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar