Deklarasi
Djuanda dan Hari Nusantara
Eko Sulistyo ; Deputi
Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KOMPAS, 13 Desember
2016
Dari sekian perayaan hari nasional, Hari
Nusantara masih terasa kurang akrab di telinga kita. Padahal, Hari Nusantara
yang diperingati setiap 13 Desember menandai tonggak sejarah yang penting
dimulainya perjuangan panjang bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, dengan ditetapkannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 yang mengakui prinsip- prinsip negara kepulauan
nusantara (archipelagic principles),
diawali dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Peringatan Hari Nusantara
pertama kali dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999, tetapi
secara resmi baru dikukuhkan di masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri melalui Keppres RI No 126 Tahun 2001.
Deklarasi
Djuanda
Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945,
mengakui kedaulatan teritorial di daratan sebagai bekas wilayah jajahan Belanda.Sementara
di lautan, Indonesia sebagai negara kepulauan dipisahkan oleh laut antarpulau
berdasarkan warisan hukum laut kolonial Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939, atau lebih dikenal dengan Ordonantie 1939.Ketentuan ini
mengatur kedaulatan laut Indonesia hanya sejauh tiga mil dari batas air
terendah.
Akibatnya, pulau-pulau di Indonesia menjadi
terpisah. Laut bukannya menyatukan, malah memisahkan pulau-pulau.Laut di luar
batastiga mil dianggap laut terbuka dan dapat dilewati kapal-kapal asing
dengan bebas.Bahkan, Belanda memanfaatkan ini untuk menjalankan politik
agresi 1945-1949 atas Indonesia untuk memblokade laut dan mendaratkan
pasukan, termasuk ke Papua Barat.
Kedaulatan laut sebagai bagian dari NKRI
mulai digagas di era Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo tahun 1956
dengan membentuk Panitia Inter-Departemental untuk merancang RUU Wilayah
Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Namun, belum selesai panitia
bekerja, kabinet Ali bubar, dan digantikan Djuanda sebagai PM yang baru.
Pada Agustus 1957, Djuanda menugaskan
Mochtar Kusumaatmadja mencari landasan hukum guna menjadikan laut bagian dari
Indonesia secara utuh. Mochtar lalu merumuskan Asas Archipelago yang jadi
konsep negara kepulauan (archipelagic
state) dan untuk pertama kali diperkenalkan sebagai rumusan dalam hukum
laut internasional.
Pada13 Desember, Djuanda mengeluarkan
Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda.Pengumuman ini menyatakan: 1)
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai corak tersendiri; 2) sejak
dahulu kepulauan nusantara sudah merupakan satu kesatuan; 3) ketentuan
ordonansi 1939 dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.Tujuan
deklarasi untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan RI yang utuh dan bulat;
menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan;
serta untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan
dan keselamatan NKRI.
Pengakuan
internasional
Tahun 1958, perjuangan pengakuan
internasional dimulai dalam Konferensi Hukum Laut Internasional I di Geneva,
Swiss.Di sini, untuk pertama kalinya, asas negara kepulauan archipelagic
state principles diperkenalkan kepada dunia. Protes keras dilakukan oleh AS,
salah satu pimpinan Perang Dingin yangmendukung pemberontakan daerah 1957
untuk menggulingkan Soekarno. Namun, berbagai negara Gerakan Non
Blokmemberikan dukungan kepada Indonesia.
Perjuangan dilanjutkan dalam Konferensi
Hukum Laut Internasional II pada 1960.Kembali AS dan beberapa negara menolak
usulan Indonesia untuk batas laut 12 mil.Namun, Pemerintah RI mengambil sikap
tegas akan tetap menjalankan klaim batas laut 12 mil guna menjaga keutuhan
wilayah negara di darat dan laut. Belajar dari kegagalan dua konferensi
sebelumnya, pemerintah melakukan persiapan matang menuju Konferensi Hukum
Laut III. Lobi diplomatik dilakukan untuk dapat dukungan luas seperti dalam
ASEAN, Gerakan Non Blok, Kelompok 77 (kelompoknegara berkembang) dan Asia
Africa Legal Consultative Assembly (AALCA).
Berbagai negosiasi bilateral juga dilakukan
dengan negara besar, seperti AS, Inggris, Uni Soviet, dan Australia.Sikap
pemerintahan Barat, terutama AS yang mendukung Orde Baru Soeharto,
mempermudah diplomasi.
Melalui berbagai sidang dari 1973 hingga 1982,
baru pada Konferensi III berhasil dibentuk sebuah konvensi yang sekarang
dikenal sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), yang
ditandatangani 119 negara di Teluk Montego, Jamaika, 10 Desember 1982.Setelah
berjuang selama 25 tahun, konsepsi asas negara kepulauan akhirnya diakui
dunia.
Menurut UNCLOS 1982, yang dimaksud negara
kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.Kepulauan berarti suatu gugusan
pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya, dan lain-lain wujud
ilmiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat dan merupakan satu
kesatuan geografis, ekonomi dan politik.Selain mengatur negara kepulauan,
UNCLOS mengatur laut di luar laut teritorial, transportasi laut, dan sumber
daya alam yang berada di bawah laut, di dasar laut, di dalam laut, dan di
atas permukaan laut.
UNCLOS 1982 merupakan bentuk pengakuan
internasional terhadap Wawasan Nusantara yang telah digagas sejak Deklarasi
Djuanda 1957.Pemerintah RI meratifikasi UNCLOS 1982 dalam UU No 17 Tahun
1985, yang dalam penjelasannya dikatakan bahwa pengakuan resmi atas Negara
Kepulauan sangat penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan
wilayahNKRI.Posisi Indonesia makin strategis karena terletak di antara dua
benua(Asia dan Australia) dan dua samudra (Pasifik dan India).Indonesia juga
dapat memanfaatkan sumber daya lautnya lebih maksimal untuk kesejahteraan
rakyat.
Perkuat
visi kemaritiman
Konsepsi negara kepulauan telah menyatukan
bangsa dan memberikan kedaulatan wilayah yang utuh pada
Indonesia.Diratifikasinya UNCLOS 1982 ke dalam hukum nasional tidak hanya
membuat batas wilayah dan perairan Indonesia makin jelas sehingga dapat
menjadi alat legitimasi dalam hubungan dengan negara lainnya yang berbatasan.
Ini berarti bahwa fungsi pertahanan negara perlu diperkuat dalam menjaga
kedaulatan Indonesia dengan wilayah perairannya yang sangat luas.
Namun, untuk mewujudkan visi negara
kepulauan diperlukan perjuangan dan kerja keras untuk menjadikan laut sebagai
sumber kesejahteraan masyarakat.Adagium, kita terlalu lama memunggungi laut,
samudra, dan teluk, harus menjadi pelecut mengejar ketertinggalan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut dengan negara lain.Pemerintah
sendiri saat ini menyadari bahwa tanpa kesejahteraan yang adil antarpulau,
maka republik yang disatukan oleh laut ini akan rentan dengan perpecahan
karena kesenjangan antardaerah.
Pada laut, sumber kekayaan alam yang
melimpah dan masa depan Indonesia bergantung.Pembangunan infrastruktur dan
konektivitas pelabuhan dan tol laut di wilayah Indonesia Timur diharapkan
dapat menciptakan lapangan kerja, menurunkan harga barang kebutuhan pokok,
dan menarik investasi.Semua ini bertujuan menyebarkan kesejahteraan ke timur,
ke pulau-pulau terjauh dari Indonesia.
Kekayaan dan kekuatan laut Indonesia yang
luas dan melimpah jangan sampai yang menikmati adalah negara lain.Potensi
yang ada di laut harus benar-benar dapat dikelola dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.Pemerintah melalui kebijakan
kemaritimannya tak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan
konektivitas maritim, serta pemanfaatan sumber daya laut, tetapi juga
melakukan diplomasi maritim membangun bidang kelautan dan pertahanan maritim
guna melindungi wilayah perairan dan kekayaan laut Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar