Merawat
Marwah Kebinekaan
Fathorrahman Ghufron ;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga; Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS, 15 Februari 2017
Kebinekaan
adalah kosakata lama yang selalu menyejarah di setiap lipatan zaman. Ia hadir
sebagai pemandu jalan kehidupan yang di dalamnya terselip banyak ekspresi dan
cara manusia memanifestasikan eksistensinya.
Dalam konteks
Nusantara, kebinekaan diperkenalkan oleh Sutasoma untuk menganggit sekian
rupa, warna, dan corak yang terbangun dalam relasi sosial antar-individu dan
kelompok. Bhinneka Tunggal Ika adalah gagasan sublimatik Sutasoma yang
diresonansikan sebagai cara untuk mempertemukan banyak manusia yang tersebar
di berbagai kawasan di bumi pertiwi.
Secara senada,
apa yang ditegaskan Sutasoma terlansir pula dalam berbagai kitab suci yang
menjadi basis ajaran setiap umat beragama, bahwa dalam keragaman dibutuhkan
semangat menjembatani (bridging) melalui perkenalan (taaruf).
Dalam proses
perkenalan ini, tentu tiap-tiap pihak harus memahami bagaimana sebuah ciri
dan tipologi yang melekat pada diri masing-masing orang. Tiap-tiap pihak juga
harus mengerti bahwa setiap orang lahir ke dunia sudah dilingkupi oleh
perbedaan yang kaya rasa dan selera.
Oleh karena
itu, setiap orang harus mengimprovisasi dirinya dengan baik melalui cara
adaptasi dan kontekstualisasi yang menempatkan setiap pihak dalam semangat
ke-kita-an (nahnuwiyah).
Dengan
demikian, ketika kebinekaan sudah ditakdirkan sebagai bangunan sosial yang
mengakomodasi aneka perbedaan, dan melalui perbedaan setiap orang perlu
menjalin titik temu dan titik lebur agar tercipta rasa saling menghargai,
lalu masih adakah di antara kita yang masih menuntut adanya keseragaman cara
pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku dalam mengekspresikan
eksistensinya? Baik eksistensi dia sebagai pemeluk keyakinan, umat beragama,
suku, maupun ras, dan sebagainya.
Meretas kegagapan aksiologis
Dalam sebuah
penelitian akademik yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Syarif Hidayatullah di banyak daerah dikemukakan bahwa perihal
kebinekaan yang disadari oleh masyarakat Indonesia masih bersifat normatif
dan bahkan cenderung eksklusif.
Realitas ini
menunjukkan bahwa sebenarnya kebinekaan itu telah diketahui oleh masing-masing
orang. Ketika masing-masing orang ditanya tentang kebinekaan, sebagian besar
dapat menjawab bahwa kebinekaan merujuk pada posisi setiap individu yang
beragam. Secara kognitif, kebinekaan sudah menjadi bangunan pelafalan yang
tak dapat diragukan.
Meski
demikian, ada persoalan sangat mendasar yang bisa dicermati dari hasil
penelitian PPIM di atas. Bahwa dalam praktiknya, kebinekaan tersebut tidak
berpengaruh dalam perilaku setiap orang ketika berinteraksi dengan banyak
pihak. Ini artinya, apa yang diketahui tentang arti sebuah kebinekaan
berbanding terbalik ketika berhadapan dengan kenyataan.
Tidak sedikit
dari masyarakat Indonesia yang di balik layar berkoar-koar tentang
kebinekaan, tapi ketika berada di hadapan banyak orang justru mencemari praktik
kebinekaan itu sendiri. Banyak di antara masyarakat kita yang masih mengalami
kegagapan aksiologis ketika kebinekaan perlu dijadikan sebagai proses saling
mengenali dan memahami.
Bahkan, tak
terhitung pula, bagaimana tindakan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan
hanya karena pihak lain tidak sebangun keyakinannya dengan dirinya. Merujuk
pada pemikiran Edwin N Wilmsen dalam buku The
Politics of Difference: Ethnic Premise in A World of Power seakan-akan
kebinekaan hanya menjadi politik perbedaan yang menekankan sebuah kontestasi
masing-masing individu dengan motif menonjolkan dirinya sembari meminggirkan
pihak lain.
Belum lagi
ingar-bingar media sosial yang secara masif di antara kita menggelorakan
diksi kebinekaan. Namun, ketika berhadapan dengan yang liyan, setiap orang
nyaris terlibat dalam baku hantam psikologis dengan cara menghujat,
mencemooh, dan perang kata-kata fitnah (hoax). Bahkan, untuk sekadar
menyatakan bahwa dirinya adalah paling benar, di latar kata-katanya
diselipkan sekumpulan dalil sebagai basis legitimasinya.
Di ruang media
sosial yang penuh dengan absurditas, kebinekaan hanya dijadikan jargon
eksistensial secara sepihak yang digambarkan sebagai penegasan bahwa dirinya
memang berbeda dengan pihak lain. Namun, sayangnya perbedaan sering kali
digunakan sebagai alasan untuk membangun jarak ketika berhadapan dengan pihak
yang tak satu iman, tak satu suku, tak
satu kelompok, dan tak satu paham dengan pandangan dan pemikirannya.
Padahal, sudah
jelas kitab suci semua agama menegaskan perlunya saling mengenali dalam
perbedaan agar antara satu dan lain bisa saling menghargai. Akan tetapi,
mengapa ada pandangan lain yang masih mengatasnamakan ajaran agama, bahwa
ketika tak satu iman dengan pihak lain lalu dikatakan kafir? Ketika tak satu
kelompok lalu dikatakan murtad? Ketika tak satu ideologi lalu dikatakan
sebagai musuh?
Di sinilah
problem kegagapan aksiologis selalu berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Menjadi wajar apabila asosiasi antropolog Indonesia menyatakan bahwa
kebinekaan di Indonesia kian terancam. Kebinekaan yang menjadi warisan
sejarah Nusantara yang terbukti mampu menyatukan seluruh komponen bangsa
Indonesia lamat-lamat mulai terkikis. Oleh karena itu, agar marwah kebinekaan
ini tetap terjaga dan terawat dengan baik, diperlukan spirit pelibatan
empatik (empathic engagement) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Pelibatan empatik
Dalam kaitan
ini, untuk menumbuhkan spirit pelibatan empatik, kita harus memahami dan
menyadari keberadaan identitas kita sebagai warga dan bangsa Indonesia. Tidak
sepatutnya apabila yang dikedepankan adalah semangat parokialisme-semacam
narasi keumatan ataupun etnisitas-yang selalu membentangkan egosentrisme.
Sebab, merujuk pada pandangan Amin Malouf dalam buku In The Name of
Identity,sesungguhnya setiap individu adalah titik temu bagi banyak pertalian
yang berbeda.
Lalu, yang
menjadi tantangan kita dalam menumbuhkan spirit pelibatan empatik dalam
kebinekaan adalah bagaimana kita mampu menghadirkan sosok individu yang pada
dirinya bersemburat aura kedamaian dan kesejukan sehingga pihak lain yang
berada di sisinya justru menjadi pelengkap dari segala kekurangan yang
dimiliki.
Dalam spirit
pelibatan empatik, merujuk pada pandangan Prof Alberto Gomes, yang diperlukan
adalah bagaimana kita mampu merasakan, mengimajinasikan, dan mengidentifikasi
suka dan duka orang lain.
Dengan cara
ini, kita akan mampu menyadari dengan penuh hikmat dan bijaksana bahwa
sesungguhnya diri kita yang menjadi titik temu bagi banyak pertalian harus
menjadi modal sosial yang bisa merajut sekian perbedaan untuk saling memahami
dan mengapresiasi.
Pada posisi
ini, kita akan selalu melakukan refleksi diri perihal bagaimana menempatkan
diri orang lain ke dalam diri kita, bagaimana merespons permasalahan sosial
yang ada di lingkungan kita, dan sekaligus bagaimana menempatkan diri kita
sebagai problem solver yang menenteramkan bagi semua pihak.
Apabila upaya
ini bisa kita lakukan dengan baik, maka marwah kebinekaan yang sudah
diwariskan oleh Sutasoma dan nilai keluhurannya ditegaskan dalam banyak kitab
suci akan bisa terawat dan terjaga dalam kehidupan kita sepanjang masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar