Menanti
Kewarasan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 09 Februari 2017
Semula
membayangkan kegaduhan politik akhir-akhir ini akan berakhir pada hari-H
pilkada serentak di 101 daerah, 15 Februari 2017. Pertarungan politik amat sengit
semestinya berhenti seiring masuknya minggu tenang, akhir pekan ini. Minggu
tenang adalah ritual pemilu atau pilkada menjelang hari-H. Masa tenang sangat
penting karena saatnya menenangkan riak-riak politik yang bergolak sepanjang
sebelum pilkada. Masa tenang saatnya menjernihkan pikiran yang mendidih
selama kampanye. Masa tenang waktunya melemaskan otot-otot yang beradu
sekaligus menurunkan intonasi suara yang teriak-teriak selama kampanye.
Namun,
ritual itu sepertinya belum tentu terjadi. Hingga sepekan menjelang hari-H,
suasana, terutama di Pilkada DKI Jakarta, masih relatif panas. Bahkan, para
politikus tua pun turun gunung jelang putaran terakhir pilkada. Prabowo
Subianto menjadi juru kampanye pada kampanye pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno di Pinang Ranti, Jakarta Timur, Selasa (31/1), dan di Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat, Minggu (5/2).
Megawati
Soekarnoputri berkampanye di Konser Gue 2 pasangan Basuki Tjahaja
Purnama-Djarot Saiful Hidayat di Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (4/2). Hari
itu, Susilo Bambang Yudhoyono juga ikut di kampanye pasangan Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni di Ciracas, Jakarta Timur.
Sewaktu
tiga pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur DKI Jakarta muncul pada
September 2016, saya menulis sesungguhnya adalah pertarungan politikus tua:
Yudhoyono, Megawati, dan Prabowo (Kompas, 24/9/2016). Nah, jika para pendekar
tua itu turun gunung, ada apa gerangan?
Ternyata,
Pilkada DKI Jakarta adalah pertarungan sekaligus pertaruhan. Jakarta memang
barometer, pusat kekuasaan sekaligus panggung nasional. Artinya, Jakarta
memberi jalan untuk menggapai titik puncak politik nasional, seperti halnya
langkah Joko Widodo. Tak heran, DKI Jakarta menjadi kunci. Maka, pertarungan
di Pilkada DKI Jakarta begitu sengitnya. Akankah masa tenang benar-benar
tenang?
Meskipun
pilkada digelar serentak di 101 daerah, hanya di DKI Jakarta yang tensi
politiknya sangat panas. Publik sangat paham kerasnya rivalitas di Pilkada
DKI Jakarta. Terlebih ikut berkelindan dengan isu agama dan etnik. Kasus Basuki
yang kini menjadi terdakwa penodaan agama pun sampai menimbulkan reaksi keras
dan gerakan massa yang masif.
Namun,
Indonesia bukanlah cuma Jakarta. Jakarta memang pusat kekuasaan, tetapi
bagian kecil saja dari negara ini. Karena itu, kegaduhan di Jakarta jangan
digeneralisasi sebagai representasi Indonesia, apalagi sampai memengaruhi
kegaduhan di daerah lain. Di Sulawesi Barat, misalnya, salah satu provinsi
yang pekan depan juga menggelar pilkada, rivalitas dan pertarungan ada,
tetapi murni dalam koridor politik. Tak ada sentimen primordial, apalagi
sampai memecah publik. Di Polewali, kota teramai di Sulbar, pertarungan tetap
berada dalam ring politik. Sebaliknya, di Jakarta melebar ke mana-mana.
Inilah
saatnya kewarasan berdemokrasi ditunggu kehadirannya. Apalagi, para politikus
tua merupakan tokoh berpengalaman dan sekaliber tokoh bangsa, saatnya memberi
contoh berdemokrasi yang sehat. Sebab, tujuan dasar demokrasi, seperti
deklarasi antarparlemen di Kairo, 1997, adalah melestarikan hak-hak dan martabat
manusia untuk mencapai keadilan sosial, mendorong perkembangan ekonomi dan
sosial, serta memperkuat kohesi masyarakat dan meningkatkan ketenangan
nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar