Kontroversi
Kebijakan Imigrasi Trump
Reza Akbar Felayati ; Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional
FISIP Unair
|
JAWA
POS, 10
Februari 2017
KEBIJAKAN
imigrasi Presiden AS Donald Trump yang melarang pendatang dari tujuh negara
mayoritas muslim –Syria, Iraq, Iran, Libya, Sudan, Yaman, dan Somalia– untuk
memasuki wilayah Amerika Serikat (AS) selama 120 hari menuai aksi protes
luas. Tidak hanya di AS, protes juga bermunculan dari masyarakat dan kepala
negara lain seperti Inggris, Jerman, Indonesia, hingga Iran. Mereka mengecam
dan menuntut perintah eksekutif tersebut segera dicabut.
Kebijakan
imigrasi Trump di satu sisi merupakan upaya pemerintahannya untuk meneguhkan
semangat War on Terror. Bukan hanya di AS, aksi terorisme juga banyak terjadi
di berbagai belahan dunia. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut juga
berpotensi kuat mengikis hubungan bilateral AS dengan negara-negara muslim
yang selama pemerintahan Barack Obama terjalin dengan baik.
Poin
utama dari kebijakan imigrasi itu adalah pengetatan terhadap imigran yang
akan memasuki AS, baik yang visanya telah disetujui maupun yang belum.
Menurut Trump, pengetatan masuk ke AS tersebut adalah bagian dari upaya
memulihkan keamanan domestik AS karena sering terjadi aksi terorisme, baik di
AS sendiri maupundi sejumlah negara Eropa Barat.
Trump
mengatakan, larangan masuk AS bagi pendatang dari tujuh negara berpenduduk
mayoritas muslim merupakan bagian dari resistansi AS terhadap potensi aksi
terorisme, yang menurut Trump banyak bersumber dari tujuh negara tersebut.
Tidak
semua pendatang dari negara berpenduduk mayoritas muslim dilarang masuk AS.
Hanya pendatang dari Syria, Iraq, Iran, Libya, Sudan, Yaman, dan Somalia.
Alasannya, ditengarai tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim tersebut menjadi
kantong utama jaringan teroris global.
Perkuat Stigma Muslim
Teroris
Meski
kabijakan imigrasi Trump hanya berlaku untuk tujuh negara berpenduduk
mayoritas muslim –Indonesia dan Arab Saudi, misalnya, tidak termasuk–,
perintah eksekutif tersebut dianggap memperkuat stigma bahwa muslim merupakan
teroris.
Bahkan,
aksi protes yang meluas dan mengecam kebijakan imigrasi Trump juga menganggap
bahwa kini AS sebagai negara yang demokratis justru menjadi negara yang
diskriminatif.
Kebijakan
imigrasi Trump juga amat rentan dan justru berpotensi menyulut
kelompok-kelompok Islam radikal untuk menjustifikasi aksi-aksi terorisme
lanjutan pada masa mendatang.
Narasi
politik yang rentan diselewengkan ke arah diskriminasi berbau agama ini bak
angin segar bagi mereka yang ingin mengonsolidasikan kekuatan dan jaringan
terorisme yang makin agresif untuk menyerang kepentingan AS dan negara-negara
Barat sekutu Washington.
Ancam Negara Muslim
Kebijakan
Trump yang diskriminatif terhadap tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim
juga bakal mengundang konsekuensi negatif lanjutan. Yakni, ancaman buruk bagi
relasi bilateral AS kedepan.
Padahal,
perbaikan relasi AS dan negara-negara muslim di Timur Tengah (Timteng) telah
banyak diupayakan selama masa pemerintahan Obama. Misalnya, penarikan tentara
AS dari Iraq, keterlibatan dalam negosiasi P5+1 terkait nuklir Iran, dan
Pidato Kairo 2009. Upaya penengahan relasi dengan pemerintah Syria di tengah
konflik melalui pengiriman representasi khusus Syria Michael Ratney juga merupakan
langkah pendekatan AS terhadap Timur Tengah dan masyarakat muslim
pascaperistiwa 9/11.
Selama
masa Obama, AS juga gencar melakukan diplomasi di kawasan Timur Tengah
melalui pembentukan Digital Outreach Team yang aktif di dunia maya untuk
memberikan penjelasan langsung kepada masyarakat terkait kebijakan luar
negeri AS.
Adanya
upaya interaksi langsung antara pemerintah AS dan masyarakat Timur Tengah
menunjukkan adanya upaya untuk menggeser retorika dan pemahaman terkait AS
dan kebijakan-kebijakan luar negerinya yang dianggap merugikan kawasan Timur
Tengah.
Meski
demikian, kebijakan imigrasi Trump tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab,
pada dasarnya, Trump menginginkan adanya konsolidasi yang kuat di tingkat
domestik AS sebagai wujud kebijakan utama AS.
Line
of thought Trump tersebut sudah terlihat dari masa kampanye, dan terbukti
ketika Trump menarik AS dari TPP. Jika dianalisis, kebijakan imigrasi
merupakan bagian dari pemahamannya atas retorika keamanan nasional AS. Bahwa
keamanan dan konsolidasi nasional merupakan urgensi utama AS saat ini.
Namun,
di sisi lain, kebijakan imigrasi tersebut juga kontroversial lantaran
bersifat diskriminatif karena seolah ditujukan kepada satu kepercayaan
tertentu (Islam).
Hal
ini berkebalikan dengan AS yang selalu menjunjung tinggi American values
dalam bentuk demokrasi. Obama yang baru digantikan Trump turut mengecam
kebijakan imigrasi itu. Menurut Obama, kebijakan tersebut dapat mengancam
demokrasi AS.
Karena
itu, menjadi penting bagi AS untuk mencari celah dalam menengahi tujuan
politik AS dibawah Trump yang konsolidatif untuk keamanan domestik dengan
tanggung jawab moral AS sebagai salah satu negara maju yang aktif terlibat di
Timur Tengah.
Barangkali
salah satu alternatifnya ialah opsi deradikalisasi, bukan larangan masuk AS
yang bersifat diskriminatif dan cenderung menggeneralisasi. Persebaran
materi-materi deradikalisasi dalam arus informasi domestik dan institusi
pendidikan di AS merupakan opsi yang bersifat edukatif.Lebih menyasar tingkat
akar rumput; tingkat di mana justru kelompok teroris dan radikal sering
menyusup secara laten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar