Minggu, 05 Februari 2017

Kebijakan Kontraproduktif Trump

Kebijakan Kontraproduktif Trump
Ahmad Safril  ;  Pengajar Sistem Politik Amerika Serikat
di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga
                                                   JAWA POS, 03 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HANYA dalam waktu sepekan setelah menjabat presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengeluarkan tiga kebijakan kontroversial. Pertama, pada 23 Januari 2017, Trump menarik AS keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Kedua, pada 25 Januari 2017, Trump memerintahkan pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko. Ketiga, pada 27 Januari 2017, Trump melarang warga negara Syria, Iraq, Iran, Yaman, Sudan, Libya, dan Somalia memasuki wilayah AS dalam jangka waktu 90 hari.

Tiga kebijakan itu sesungguhnya kontraproduktif bagi AS. Sebab, pertama, keluarnya AS dari TPP akan membuka peluang Tiongkok untuk semakin menancapkan pengaruhnya di Pasifik. Kedua, pembangunan tembok perbatasan membutuhkan dana sangat besar yang menguras keuangan negara. Ketiga, pelarangan masuk AS bagi warga dari tujuh negara mayoritas muslim berpotensi dibalas oleh jaringan teroris.

Trans-Pacific Partnership

Satu dekade terakhir, AS dan Tiongkok bertarung memperebutkan pengaruh di kawasan Pasifik. Kebangkitan ekonomi Tiongkok menjadikan Sang Naga sebagai mitra perdagangan prospektif bagi negara-negara di kawasan tersebut. Hal itulah yang ingin dibendung AS di bawah kepemimpinan Barack Obama dengan menggandeng 11 negara Pasifik bergabung dalam TPP. Namun, kala ratifikasi belum tuntas di semua negara, Trump justru menarik diri dari blok perdagangan itu.

Dampaknya, AS kehilangan kepercayaan dari mitra dagang di TPP. Sebagai satu-satunya negara yang telah meratifikasi TPP, Jepang sangat kecewa dengan keputusan Trump. Bagi Jepang, TPP tidak ada artinya tanpa kehadiran AS. Jepang sangat berharap TPP terbentuk karena Negeri Matahari Terbit berkepentingan menghadang laju Sang Naga yang terus menggeliat. Sementara itu, Australia mendorong TPP tetap berlanjut tanpa AS dengan skema ’’12 minus 1” dan merayu Tiongkok bergabung.

Meski demikian, Tiongkok tidak akan bersedia bergabung dalam TPP karena negara ini telah menginisiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan seluruh negara anggota ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Seiring dengan hengkangnya AS dari Pasifik, perjanjian multilateral yang digagas Tiongkok sejak 2012 itu bakal berjalan mulus tanpa gangguan. Melalui pengaruhnya di RCEP, Tiongkok akan kembali menjadi primadona kawasan yang memikat. Trump, tampaknya, tidak menyadari bahwa keputusannya menarik AS dari TPP berpotensi memperluas dominasi Tiongkok di kawasan ini.

Tembok Perbatasan

Membangun tembok perbatasan AS-Meksiko yang membentang sepanjang 3.100 kilometer jelas membutuhkan dana sangat besar. Menurut Trump, biaya yang dibutuhkan untuk membangun tembok itu 10–12 miliar dolar AS. Namun, menurut laporan The Washington Post (27/1), total biayanya bisa mencapai 25 miliar dolar AS. Dari manakah dana sebesar itu didapatkan?

Trump menuntut Meksiko membiayai pembangunan tembok tersebut. Rencananya, Trump memungut dana dari Meksiko melalui tiga cara. Pertama, menaikkan pajak impor Meksiko sebanyak 20 persen. Kedua, mengenakan pajak atas pengiriman uang warga negara Meksiko yang bekerja di AS ke Meksiko. Ketiga, meningkatkan tarif visa bagi warga negara Meksiko yang bepergian ke AS.

Persoalannya, rencana Trump itu ditolak Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto. Karena geram dengan kebijakan tersebut, Nieto bahkan membatalkan pertemuan dengan Trump yang dijadwalkan Selasa lalu (31/1). Di tengah kebuntuan atas pendanaan, Trump tidak dapat berharap banyak dari keuangan negara karena Departemen Keamanan Dalam Negeri hanya memiliki anggaran sebesar 100 juta dolar AS. Karena itu, jika pembangunan tembok perbatasan tetap dipaksakan, keuangan negara sangat mungkin terkuras dan hal ini jelas merugikan AS.

Pelarangan Imigran

Perintah eksekutif Trump bertajuk ’’Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry to the United States” dimaksudkan untuk menghadang masuknya jaringan teroris ke wilayah AS. Namun, faktanya, aturan itu juga diberlakukan kepada semua warga tujuh negara mayoritas muslim yang ditargetkan, tak peduli mereka terlibat terorisme maupun yang berstatus pengungsi dan pemegang kartu hijau. Kebijakan tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil.

Meski Gedung Putih menyatakan kebijakan itu tak terkait agama, sulit untuk tidak mengatakan Trump sedang mewujudkan janji kampanyenya untuk melarang muslim masuk ke AS. Permasalahannya, sejarah menunjukkan serangan teroris dipicu oleh ketidakadilan global yang diciptakan AS di berbagai wilayah. Invasi AS ke Afghanistan (2001) dan Iraq (2003) dibalas oleh jaringan teroris melalui serangan bom di Madrid (11/3/2004) dan London (7/7/2005). Keterlibatan AS dan sekutunya dalam konflik Syria dibalas ISIS melalui pemenggalan kepala jurnalis AS James Foley (19/8/2014) dan pekerja kemanusiaan Inggris David Haines (13/9/2014).

Mencermati fenomena itu, kebijakan diskriminatif Trump dikhawatirkan dibalas melalui aksi kekerasan atas nama agama di berbagai kawasan dunia. Kekhawatiran kian merebak jika tindakan balasan itu lantas dijadikan alasan pembenar bagi Trump untuk menerapkan kebijakan lebih keras. Apabila aksi saling balas ini terjadi, masa depan perdamaian dunia bakal terancam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar