Kebijakan
Kontraproduktif Trump
Ahmad Safril ;
Pengajar Sistem Politik Amerika
Serikat
di Departemen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 03
Februari 2017
HANYA
dalam waktu sepekan setelah menjabat presiden Amerika Serikat (AS), Donald
Trump mengeluarkan tiga kebijakan kontroversial. Pertama, pada 23 Januari
2017, Trump menarik AS keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Kedua,
pada 25 Januari 2017, Trump memerintahkan pembangunan tembok perbatasan
AS-Meksiko. Ketiga, pada 27 Januari 2017, Trump melarang warga negara Syria,
Iraq, Iran, Yaman, Sudan, Libya, dan Somalia memasuki wilayah AS dalam jangka
waktu 90 hari.
Tiga
kebijakan itu sesungguhnya kontraproduktif bagi AS. Sebab, pertama, keluarnya
AS dari TPP akan membuka peluang Tiongkok untuk semakin menancapkan
pengaruhnya di Pasifik. Kedua, pembangunan tembok perbatasan membutuhkan dana
sangat besar yang menguras keuangan negara. Ketiga, pelarangan masuk AS bagi
warga dari tujuh negara mayoritas muslim berpotensi dibalas oleh jaringan
teroris.
Trans-Pacific Partnership
Satu
dekade terakhir, AS dan Tiongkok bertarung memperebutkan pengaruh di kawasan
Pasifik. Kebangkitan ekonomi Tiongkok menjadikan Sang Naga sebagai mitra
perdagangan prospektif bagi negara-negara di kawasan tersebut. Hal itulah
yang ingin dibendung AS di bawah kepemimpinan Barack Obama dengan menggandeng
11 negara Pasifik bergabung dalam TPP. Namun, kala ratifikasi belum tuntas di
semua negara, Trump justru menarik diri dari blok perdagangan itu.
Dampaknya,
AS kehilangan kepercayaan dari mitra dagang di TPP. Sebagai satu-satunya
negara yang telah meratifikasi TPP, Jepang sangat kecewa dengan keputusan
Trump. Bagi Jepang, TPP tidak ada artinya tanpa kehadiran AS. Jepang sangat
berharap TPP terbentuk karena Negeri Matahari Terbit berkepentingan
menghadang laju Sang Naga yang terus menggeliat. Sementara itu, Australia
mendorong TPP tetap berlanjut tanpa AS dengan skema ’’12 minus 1” dan merayu
Tiongkok bergabung.
Meski
demikian, Tiongkok tidak akan bersedia bergabung dalam TPP karena negara ini
telah menginisiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang
melibatkan seluruh negara anggota ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan,
India, Australia, dan Selandia Baru. Seiring dengan hengkangnya AS dari
Pasifik, perjanjian multilateral yang digagas Tiongkok sejak 2012 itu bakal
berjalan mulus tanpa gangguan. Melalui pengaruhnya di RCEP, Tiongkok akan
kembali menjadi primadona kawasan yang memikat. Trump, tampaknya, tidak
menyadari bahwa keputusannya menarik AS dari TPP berpotensi memperluas
dominasi Tiongkok di kawasan ini.
Tembok Perbatasan
Membangun
tembok perbatasan AS-Meksiko yang membentang sepanjang 3.100 kilometer jelas
membutuhkan dana sangat besar. Menurut Trump, biaya yang dibutuhkan untuk
membangun tembok itu 10–12 miliar dolar AS. Namun, menurut laporan The
Washington Post (27/1), total biayanya bisa mencapai 25 miliar dolar AS. Dari
manakah dana sebesar itu didapatkan?
Trump
menuntut Meksiko membiayai pembangunan tembok tersebut. Rencananya, Trump
memungut dana dari Meksiko melalui tiga cara. Pertama, menaikkan pajak impor
Meksiko sebanyak 20 persen. Kedua, mengenakan pajak atas pengiriman uang
warga negara Meksiko yang bekerja di AS ke Meksiko. Ketiga, meningkatkan
tarif visa bagi warga negara Meksiko yang bepergian ke AS.
Persoalannya,
rencana Trump itu ditolak Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto. Karena geram
dengan kebijakan tersebut, Nieto bahkan membatalkan pertemuan dengan Trump
yang dijadwalkan Selasa lalu (31/1). Di tengah kebuntuan atas pendanaan,
Trump tidak dapat berharap banyak dari keuangan negara karena Departemen
Keamanan Dalam Negeri hanya memiliki anggaran sebesar 100 juta dolar AS.
Karena itu, jika pembangunan tembok perbatasan tetap dipaksakan, keuangan
negara sangat mungkin terkuras dan hal ini jelas merugikan AS.
Pelarangan Imigran
Perintah
eksekutif Trump bertajuk ’’Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry
to the United States” dimaksudkan untuk menghadang masuknya jaringan teroris
ke wilayah AS. Namun, faktanya, aturan itu juga diberlakukan kepada semua
warga tujuh negara mayoritas muslim yang ditargetkan, tak peduli mereka
terlibat terorisme maupun yang berstatus pengungsi dan pemegang kartu hijau.
Kebijakan tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil.
Meski
Gedung Putih menyatakan kebijakan itu tak terkait agama, sulit untuk tidak
mengatakan Trump sedang mewujudkan janji kampanyenya untuk melarang muslim
masuk ke AS. Permasalahannya, sejarah menunjukkan serangan teroris dipicu
oleh ketidakadilan global yang diciptakan AS di berbagai wilayah. Invasi AS
ke Afghanistan (2001) dan Iraq (2003) dibalas oleh jaringan teroris melalui
serangan bom di Madrid (11/3/2004) dan London (7/7/2005). Keterlibatan AS dan
sekutunya dalam konflik Syria dibalas ISIS melalui pemenggalan kepala
jurnalis AS James Foley (19/8/2014) dan pekerja kemanusiaan Inggris David
Haines (13/9/2014).
Mencermati
fenomena itu, kebijakan diskriminatif Trump dikhawatirkan dibalas melalui
aksi kekerasan atas nama agama di berbagai kawasan dunia. Kekhawatiran kian
merebak jika tindakan balasan itu lantas dijadikan alasan pembenar bagi Trump
untuk menerapkan kebijakan lebih keras. Apabila aksi saling balas ini
terjadi, masa depan perdamaian dunia bakal terancam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar