Media
Sosial di Era Masyarakat Digital
Bagong Suyanto ; Dosen
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA INDONESIA,
01 Desember 2016
KEHADIRAN media sosial di satu sisi memang menawarkan berbagai
kemudahan bagi para penggunanya untuk mengakses dan men-share informasi
secara cepat, mudah, dan murah. Namun, di sisi lain, ketika penggunaan media
sosial berkembang makin liar dan keluar dari batas-batas keadaban, risiko
yang terjadi ialah munculnya keresahan dan bahkan tidak mustahil munculnya
konflik yang manifest di masyarakat.
Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika masyarakat dengan
mudah bisa mengunggah berbagai ujaran kebencian, berita hoax dan informasi
yang bernada provokatif tanpa bisa dicegah? Para pengguna gadget dengan
didukung kemampuan mengakses internet dan memanfaatkan media sosial, mereka
tak ubahnya seperti wartawan dadakan yang dapat mengekspos informasi apa pun
yang seketika itu pula akan menyebar luas di kalangan pengguna media sosial
yang lain.
Di era perkembangan masyarakat digital, ketika informasi yang
beredar di dunia maya nyaris tak terbatas dan tak terbendung, sebagian besar
masyarakat umumnya tidak lagi bisa membedakan mana berita yang benar dan mana
berita yang tak memiliki rujukan pada realitas yang nyata. Hanya karena
kesamaan ideologi, kepentingan, dan kesamaan identitas sosial tertentu,
masyarakat biasanya dengan mudah teperdaya dan memercayai begitu saja
berita-berita yang sesungguhnya tidak benar dan menghasut.
Seseorang yang memercayai sebuah berita hoax, dan kemudian tanpa berpikir panjang men-share dan meresirkulasikan ke anggota
komunitas, bukan tidak mungkin berita hoax
itu akan dianggap benar karena terus-menerus disirkulasi dan
diresirkulasikan.
Berbahaya
Untuk mencegah agar penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian
yang diungkapkan para haters tidak makin meluas, dan orang akan berpikir
seribu kali sebelum mengunggah hal-hal yang tidak benar di media sosial, saat
ini pemerintah telah melakukan sejumlah revisi pada pasal dan ayat dalam UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Salah satu revisi penting dari UU ITE yang telah disahkan adalah
penambahan ayat baru pada pasal 40 yang isinya menegaskan bahwa pemerintah
berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi
melanggar UU. Informasi yang dimaksud melanggar UU adalah informasi yang
terkait dengan pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan
lainnya. Revisi dan pengesahan UU ITE baru ini, dilakukan pemerintah terutama
mengingat kondisi sosial-politik masyarakat yang belakangan ini sering kali
memanas karena dipicu berita-berita hoax dan ujaran kebencian.
Didorong oleh keprihatinan dan keinginan agar para pengguna dan
pemanfaatan media sosial dapat lebih beradab, revisi sejumlah pasal dan ayat
dalam UU ITE tentu diharapkan akan dapat meredam kemungkinan niat sebagian
warga masyarakat yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mem-posting
informasi yang tidak benar dan meresahkan.
Di kalangan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih mengalami
cultural lag (ketertinggalan budaya), dan belum memiliki literasi digital
yang benar-benar kritis, kehadiran media sosial yang tanpa kendali, harus
diakui bisa sangat berbahaya.
Sebagai perbandingan, studi yang dilakukan Craig Silverman
(2016), di Amerika Serikat, menemukan bahwa dari 20 berita terpopuler tentang
pilpres AS yang muncul di 19 media online ternama selama musim pilpres
beberapa waktu lalu, ternyata hanya di-share 7,367 juta kali di jejaring
sosial, sedangkan untuk berita hoax
dari situs abal-abal dan blog-blog partisan justru di-share hingga 8,711 juta
kali di jejaring sosial.
Artinya, di masyarakat yang sudah maju seperti Amerika Serikat
pun masih banyak warga masyarakat yang mudah terkena hasutan dan memercayai
berita-berita yang sebetulnya tidak benar. Di Indonesia, meski belum ada
studi yang bisa dirujuk, tetapi ditengarai kondisinya lebih parah dan lebih
banyak warga masyarakat yang menjadi korban penyebaran berita hoax.
Sejumlah faktor yang menyebabkan kenapa masyarakat Indonesia
mudah teperdaya berita hoax adalah, pertama, karena masyarakat Indonesia
belum didukung dan memiliki tingkat literasi digital yang memadai, yang bisa
dijadikan modal untuk menyikapi booming informasi di dunia maya secara
kritis.
Kedua, karena masyarakat masih banyak yang belum memahami bahwa
media sosial ialah bagian dari ruang publik yang membutuhkan bentuk tanggung
jawab para pemakainya untuk memastikan informasi yang mereka share
benar-benar valid dan benar. Ketiga, karena masyarakat acap kali masih
menyembunyikan diri di balik kerumunan besar para pengguna media sosial, dan
seolah merasa apa yang mereka lakukan bersama dengan anggota komunitas siber
yang lain tidak keliru.
Mencegah
Adrian Athique, dalam bukunya Digital Media and Society (2013) memaparkan berbagai implikasi
yang timbul dari perkembangan teknologi informasi, internet, dan kehadiran
media digital. Kehadiran media sosial yang berbasis internet dan gadget telah
melahirkan masyarakat baru, yakni masyarakat digital yang sayangnya secara
kultural masih belum didukung perkembangan kultural yang siap merespons
perubahan sosial masyarakat.
Seperti yang kita saksikan belakangan ini, kanal-kanal media
sosial terus bermunculan memenuhi dunia maya, dan tiap-tiap pihak umumnya
cenderung menawarkan informasi yang tidak jelas sumber kebenarannya. Media
sosial tumbuh menjadi wadah yang tidak hanya mempermudah komunikasi
antaranggotanya tanpa dibatasi ruang dan waktu, tetapi yang mencemaskan
kehadiran media sosial di saat yang sama ternyata juga memfasilitasi
munculnya berbagai ujaran kebencian yang tanpa dasar.
Kemunculan berbagai sumpah serapah masyarakat, fitnah, dan juga
hasutan yang tidak bertanggung jawab. Di dunia maya, seolah tidak ada hukum
yang berlaku sehingga siapa pun bebas memproduksi dan menyirkulasikan
informasi apa pun tanpa terkecuali. Untuk mencegah agar peran media sosial
tidak lepas kendali dan tidak tereduksi hanya menjadi saluran ujaran
kebencian dan berta hoax, sesungguhnya yang dibutuhkan tidak hanya payung
hukum dan ancaman sanksi yang sifatnya cenderung kuratif diberlakukan setelah
kejadian terjadi.
Mencegah agar media sosial tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang
kontra-produktif bagi kemajuan bangsa, yang tak kalah penting adalah
bagaimana pemerintah mendorong dan membekali masyarakat dengan tingkat
literasi digital yang kritis--yang bisa menyeleksi secara mandiri mana
informasi yang benar dan mana pula informasi yang keliru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar