Kritik
Jurnal(istik) dan Akademisi Seni
Aris Setiawan ; Etnomusikolog;
Pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta
|
KOMPAS, 10 Desember
2016
Saat Koran Tempo
edisi hari Minggu berhenti terbit, terjadi kegaduhan di kalangan seniman, sastrawan,
dan juga budayawan. Hal ini dapat dilihat lewat curhatan berupa
catatan-catatan dalam grup media sosial. Mereka khawatir bahwa Desk
Kebudayaan dan Seni akan turut gulung tikar. Untunglah, kekhawatiran itu
tidak terjadi karena Desk Kebudayaan dan Seni bergeser ke hari Sabtu.
Begitu juga saat
rubrik "Bentara" di harian Kompas tak lagi tayang, disambut dengan
ratapan dan keprihatinan. Barangkali, pernyataan Putu Fajar Arcana dalam
seminar nasional bertajuk "Kritik dan Kuratorial" di Pascasarjana
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (30/9/2016) dapat menjawab alasan
itu. Putu menjelaskan, kondisi rubrik kebudayaan dan seni di media massa
selalu berada dalam posisi kritis. Halaman budaya dianggap sebagai halaman
tambahan yang sewaktu-waktu dapat digusur. Di beberapa media, seperti Kompas
dan Tempo, halaman itu mampu bertahan karena masih memiliki fondasi ideologis
yang kuat.
Sementara itu,
banyak kemudian dijumpai ulasan-ulasan seni di media yang jatuh pada
persoalan reportase (melaporkan) belaka tanpa memberi pemaknaan dan nilai
baru, apalagi kritik. Maklum, banyak anekdot jika pengisi rubrik seni adalah
wartawan yang "dibuang" dari rubrik lain atau kumpulan wartawan
magang. Akibatnya, desk ini dianggap paling prematur, ruang uji coba bagi
wartawan baru sebelum mereka menyelami desk lain yang dianggap lebih
berbobot.
Kondisi ini memang
sangat memprihatinkan. Namun bagi media tertentu, seperti Kompas dan Tempo
(sekadar contoh), halaman itu justru dimanfaatkan dengan baik, tidak saja
untuk geladi menulis seni, tetapi juga menjadi penulis yang nyeni. Di media
itu, kemudian banyak melahirkan penulis yang budayawan, sebutlah misalnya Bre
Redana, Sindhunata, Goenawan Mohamad, Seno Joko Suyono, Bambang Bujono, Efix
Mulyadi, Frans Sartono, dan Putu sendiri. Mereka tidak semata melaporkan
peristiwa berkesenian, tetapi juga memberi bingkai di setiap tulisan sehingga
pesan, nilai, bahkan kritik sering kali dapat kita jumpai dengan jelas.
Lebih jauh, Putu
Fajar menambahkan bahwa wartawan yang menulis kritik kemudian menjadi jawaban
di kala ruang penulisan itu tidak diambil (dimanfaatkan?) dengan baik oleh
akademisi seni yang idealnya memiliki bekal pendidikan lebih mumpuni. Dengan
kata lain, terjadi kekosongan penulisan kritik seni jurnalistik oleh para
sarjana seni. Bahkan, menurut Rahayu Supanggah, setelah lulus kuliah, para
sarjana seni justru lebih disibukkan dengan urusan birokrasi di kampusnya,
seperti menjadi pejabat, rektor, kepala lembaga penelitian, dekan, ketua
koperasi, ketua jurusan, dan lainnya. Kampus seni pada hari ini dirasa
terlalu banyak mencetak seniman dan pejabat dibandingkan dengan pemikir dan
kritikus seni.
Alasan inilah yang
melatarbelakangi Pascasarjana ISI Surakarta hendak membuka Program Studi
Kritik dan Kuratorial pada tahun mendatang. Alih-alih berharap dapat
melahirkan kritikus-kritikus seni yang mumpuni, mengambil kembali peran yang
selama ini diambil para wartawan. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah hal itu
bisa terjadi mengingat sejumlah kepentingan (kapital), ruang-ruang (media)
publikasi ulasan kritik semakin sedikit? Atau, bagaimana bentuk
pertanggungjawaban ulasan kritik sebagai tugas akhir mahasiswa kelak? Apakah
dinilai layaknya skripsi, tesis, dan disertasi dengan menempatkan penguji
yang ilmuwan atau profesor yang juga pejabat itu? Padahal, sebagaimana
pendapat Putu Fajar itu, kebanyakan para ilmuwan, profesor dan pejabat itu
tak pernah menulis kritik. Seperti lulusan sarjana sastra yang tak pernah
menulis sastra. Hasil tugas akhir itu kemudian beku dan lapuk di perpustakaan
kampus tanpa pernah terbaca publik. Tidakkah hal ini bertentangan dengan
hakikat kritik, yang harus dapat terkomunikasikan secara luas.
Jurnal(istik)
Karya kritik
adalah katalisator atau jembatan yang menghubungkan karya seni dengan
masyarakat. Idealnya, penguji karya kritik bukanlah ilmuwan, profesor, atau
pejabat, melainkan masyarakat. Pertanyaan yang tak kalah menarik, bagaimana
dan seperti apa wujud media atau ruang yang menghubungkan karya kritik
akademis itu kepada masyarakat? Jawaban yang paling mudah ditebak adalah:
jurnal-jurnal seni ilmiah. Benarkah demikian? Bukan satu hal yang aneh,
hampir setiap jurusan di kampus seni memiliki jurnal ilmiah, tempat menulis
bagi kaum sarjana. Namun, siapa yang membaca jurnal itu? Bukankah sering kali
jurnal-jurnal di kampus seni hanya digunakan sebagai syarat kenaikan pangkat
oleh dosen. Terlebih, membaca jurnal ilmiah sering kali membuat dahi berkerut
dan sesekali harus menggelengkan kepala karena bingung, sulit dimengerti,
dengan bahasa yang njlimet (kata lain dari sok ilmiah), berisi rumus-rumus
yang tak membumi. Jika demikian, siapakah pembaca jurnal itu? Kebanyakan
jurnal seni ditulis kalangan intelektual, disebarkan di kalangan sendiri, dan
dibaca sendiri.
Sebenarnya,
persoalan tersebut dapat terjawab dengan posisi media massa lewat ulasan
kritik jurnalistik. Media massa adalah jembatan yang paling memungkinkan
untuk menghubungkan karya seni, kritikus, dan publik. Oleh karena itu, Halim
HD (networker kebudayaan) menekankan pentingnya menulis kreatif (creative
writing). Menulis kreatif menjadi upaya memecah kebekuan dan kekakuan dalam
tulisan-tulisan ilmiah. Menulis kreatif bukan berisi perkara-perkara dan
rumus teknis, melainkan menciptakan ruang imajinasi yang lebih segar. Membaca
tulisan yang demikian, pembaca serasa berkomunikasi langsung dengan
penulisnya, lewat gaya yang lebih lincah dan akrab. Halim kemudian
menyayangkan bagaimana menulis esai kritik di media massa tidak dianggap
penting dalam tembok pendidikan-kampus-seni. Tidak ada penghargaan untuk itu,
apalagi tak memiliki kontribusi besar untuk kenaikan pangkat. Indikasinya,
coba hitung berapa jumlah sarjana atau dosen seni yang menulis kritik di
media massa?
Kerja kritik
jurnalistik memiliki posisi tawar yang tinggi. Lewat kritik jurnalistik,
karya seni dapat terkomunikasikan secara lebih terbuka dibandingkan menulis
di jurnal ilmiah yang cenderung eksklusif. Masalahnya kemudian, rubrik seni
dan budaya semakin tak mendapat tempat. Kalah oleh berbagai kepentingan dan
tirani modal. Kita bisa saja memberi jawaban dengan menghadirkan media sosial
(serta blog dan web) sebagai solusi alternatif. Akan tetapi, media sosial tak
memiliki sisi kurasi dan seleksi yang ketat. Pada berbagai titik permasalahan
itulah, program studi kritik seni hendak didirikan. Di satu sisi serasa
menjadi menara gading, tetapi di sisi lain patut diapresiasi guna membuka
secercah harapan bagi munculnya kritikus-kritikus seni yang kompeten. Kita
tunggu saja lima atau sepuluh tahun lagi, siapa kritikus seni yang dilahirkan
di lembaga formal itu? Semoga tidak turut larut, lulus kuliah kemudian
menjadi pejabat dan birokrat. Aduh!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar