Senin, 01 Agustus 2022

 

Transformasi Ekonomi Rakyat

Suroto: Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES); CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (Inkur Federation)

KOMPAS, 27 Juli 2022

 

                                                

 

 Secara struktural, ekonomi dualisme yang digambarkan oleh Profesor JH Boeke sejak zaman kolonial Hindia Belanda hingga kini ternyata belum banyak mengalami proses transformasi. Struktur pelaku ekonomi kita ternyata tetap sama, terdiri dari lapisan pelaku ekonomi rakyat banyak dalam skala mikro kecil yang bergerak di sektor pertanian dan perdagangan serta jasa kelas gurem dan pelaku ekonomi modern segelintir di sektor industri, perdagangan, perkebunan, serta pertambangan dan jasa.

 

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2021, jumlah usaha mikro sebanyak 64 juta atau 99,6 persen dari total jumlah pelaku usaha di Indonesia. Jumlah usaha kecil sebanyak 138.000 atau 0,35 persen dari total pelaku usaha. Sementara jumlah usaha menengah hanya sebanyak 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha yang ada.

 

Kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 63 persen (Kemenkop dan UKM, 2022). Namun, ketika kita periksa lebih dalam, kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) sesungguhnya lebih kurang hanya 18 persen. Sisanya, 82 persen ternyata dikuasai oleh usaha besar dan usaha menengah yang kebanyakan adalah perusahaan perluasan dari usaha-usaha besar.

 

Ekonomi kita secara agregat menjadi semakin konsentratif dan membentuk pasar yang mendekati oligopolistik. Dalam berbagai segmen industri bahkan mendekati pola pasar duopolistik atau hanya terdiri atas dua pemain besar sebagai pengendali harga.

 

Sementara ekonomi rakyat banyak yang bergerak di lapis segmen kelas bawah, bersaing secara berdarah dengan nilai tambah yang semakin kecil karena penetrasi usaha besar di segmen ekonomi yang selama ini dikuasai oleh usaha rakyat banyak. Sebut misalnya dengan merangsek masuknya usaha jaringan ritel yang semakin masif tak terkendali dan melanggar regulasi.

 

Dalam era digital ekonomi saat ini bahkan ekonomi usaha besar dengan kekuatan investasi modal besarnya di sektor penguasaan bisnis basis platform mulai masuk kuasai usaha ekonomi skala mikro dan kecil. Penetrasi produk pabrikan dan terutama yang diproduksi dalam skala besar dan disesuaikan dengan pola selera konsumen yang dibaca dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) semakin menambah terpuruk sektor industri rakyat.

 

Usaha ekonomi rakyat menjadi semakin termarjinalisasi dan motivasi pendiriannya lebih muncul karena negara tak sanggup menciptakan pekerjaan bagi mereka, ketimbang sebagai pilihan utama. Mereka semakin tersingkir dan hanya menjadi subordinat dari usaha-usaha skala besar sebagai reseller atau mitra bisnis semu yang seluruh marjin keuntungannya secara monopolistik ditentukan oleh mereka.

 

Kebijakan politik ekonomi

 

Sementara itu, justifikasi bagi pembentukan regulasi dan kebijakan program yang dilakukan pemerintah saat ini bukan diarahkan untuk proses transformasi besar-besaran agar proses partisipasi ekonomi rakyat menjadi semakin kuat, tetapi terus-menerus langgengkan program pembinaan. Seperti misalnya perluasan akses kredit, subsidi, bantuan, program pendampingan, konsultasi, dan lain sebagainya yang telah terbukti gagal. Seluruh program itu dalam praktiknya hanya menguntungkan para makelar program lebih besar ketimbang memberikan manfaat bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

 

Sebut saja dalam program akses kredit bagi ekonomi rakyat, dari total alokasi kredit perbankkan yang ada, untuk usaha skala mikro yang mendominasi, misalnya, pada tahun 2021 nilainya ternyata hanya 3 persen dari total rasio kredit perbankan (BI, 2021). Alokasi ini pun terealisasi dengan topangan subsidi bunga dan penjaminan kredit dari sumber alokasi APBN yang jumlahnya puluhan triliun rupiah setiap tahun dalam program kredit usaha rakyat (KUR).

 

Model kebijakan politik ekonomi pemerintah telah gagal melindungi kepentingan ekonomi rakyat banyak. Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang semestinya mampu menanggulangi masalah persaingan usaha tidak sehat serta mencegah terjadinya monopoli dan konsentrasi bisnis ke tangan segelintir orang atau pelaku usaha menjadi tak punya gigi lagi di hadapan para mafia kartel bisnis di lapangan.

 

Keadilan ekonomi yang semestinya menjadi indikator keberhasilan lembaga persaingan usaha juga semakin jauh panggang dari api. Menurut laporan lembaga riset Credit Suisse tahun 2021, rasio gini kekayaan kita sebesar 0,77. Rata-rata orang dewasa kita 83 persen hanya memiliki kekayaan di bawah Rp 150 juta. Sementara rata-rata dunia hanya 58 persen. Mereka yang memiliki kekayaan di atas Rp 1,5 miliar hanya 1,1 persen, sementara rata-rata dunia 10,6 persen.

 

Upaya serius

 

Melihat fakta di atas, upaya serius untuk melakukan proses transformasi besar dalam dudukan ekonomi rakyat banyak agar berdaulat menjadi kebutuhan mendesak. Sebab, jika tidak dilakukan bukan hanya akan membahayakan bagi kepentingan ekonomi nasional, melainkan ekses politik yang ditimbulkan akan mengganggu keberlanjutan dari pembangunan.

 

Pertama, diperlukan perubahan paradigma dalam menempatkan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat harus dipandang sebagai subyek ekonomi dan bukan obyek program pembinaan. Ekonomi rakyat harus ditempatkan sebagai yang mainstream dan supreme, utama. Ekonomi rakyat per definisi harus ditegaskan sebagai bentuk partisipasi aktif rakyat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.

 

Kedua, sebagai bagian penting untuk memberikan dasar kebijakan agar tidak salah sasaran, klasmopologi skala UMK semestinya dipisahkan dengan kelompok usaha menengah dan besar (UMB). Ini juga penting untuk membongkar berbagai kamuflase kebijakan ekonomi rakyat di lapangan.

 

Ketiga, agar ekonomi dapat segera dinikmati dan dikendalikan secara riil oleh rakyat banyak, BUMN dan BUMD juga perlu didemokratisasi. Model kepemilikan negara perlu ditransformasi melalui pemilikan langsung oleh rakyat. Selain perlu dibentuk segera kebijakan pendukung ekonomi rakyat dalam bentuk penyerahan kepemilikan saham perusahaan minimal 20 persen bagi buruh yang bekerja di perusahaan (empoyee share ownership programme/ESOP).

 

Keempat, perlu penegasan kebijakan secara imperatif dalam bentuk regulasi konkret agar alokasi kredit untuk usaha mikro dan kecil minimal 50 persen. Dengan begitu, fungsi bank bukan hanya sebagai intermediasi, melainkan juga sebagai agen pembangunan.

 

Kelima, perlu penegasan dalam regulasi lebih kuat fungsi dari KPPU yang saat ini dalam posisi mandul dan terpreteli kewenangannya untuk lakukan tindakan pencegahan ataupun penanganan kasus persaingan usaha tidak sehat.

 

Keenam, sebagai daya dukung berjalannya ekonomi rakyat secara keseluruhan, perlu segera dibentuk UU Sistem Perekonomian Nasional sebagaimana telah diamanahkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat (5) dalam kerangka demokratisasi ekonomi sebagai undang-undang payung bagi perlindungan ekonomi rakyat keseluruhan

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/transformasi-ekonomi-rakyat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar