Senin, 01 Agustus 2022

 

Semiotika Islamophobia

Lukas Luwarso :  Jurnalis Senior, Kolumnis

WATYUTINK, 26 Juli 2022

 

 

                                                           

Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas warga beragama Islam adalah fakta. Jadi logiskah jika belakangan dihembuskan isu dan istilah “Islamophobia” oleh sekelompok Islamist untuk mengkampanyekan kiprah politiknya? Apa yang dimaksud dengan phobia pada Islam? Benarkah Islamophobia benar ada sebagai gejala dan fenomena sosial, atau cuma soal kesalahan semiotika? Sekadar kesalahan memaknai?

 

Secara asumtif, juga semantic, Islamophobia dipahami sebagai ekspresi ketakutan, ketidaksukaan, atau prasangka buruk yang berlebihan pada Islam sebagai agama. Ekspresi kecemasan pada Islam ini muncul dan menjadi “label” pasca-serangan teroris 11 September 2001 di Amerika. Islamophobia kemudian dikesankan sebagai penanda (signify) adanya kekuatan geopolitik untuk melawan Islam, alih-alih terorisme dan ekstremisme.

 

Istilah “Islamophobia” menjadi tumpang tindih, dianggap sejenis dengan xenophobia yang bernuansa rasisme. Satu ketakutan atau kebencian dengan apapun yang dianggap asing, berbeda, atau aneh. Sikap xenophobic lazim memicu sikap eksklusivitas (ingroup vs outgroup), selalu mencurigai aktivitas pihak yang berbeda, bahkan ada hasrat untuk mengeliminasi kubu yang dicurigai, demi mempertahankan identitas etnis atau ras-nya.

 

Wacana Islamophobia muncul, selain sebagai respon atas tragedi serangan 9/11, juga bangkitnya kelompok militan yang ingin menegakkan negara Islam di sejumlah wilayah. Juga maraknya sikap ekstremisme kelompok imigran muslim di Amerika, Uni Eropa dan berbagai negara lain. Akibat adanya diskriminasi dan persekusi, yang memang terjadi pada dunia Islam di Amerika, mendorong munculnya solidaritas identitas Islam secara global.

 

Pada 15 Maret 2022, PBB bahkan mengadopsi resolusi yang mengesahkan “Hari Internasional Melawan Islamophobia”. Resolusi itu diajukan oleh Pakistan mengatasnamakan Organisation of Islamic Cooperation (OIC). Demikianlah, akhirnya “Islamophobia” menjadi istilah resmi merujuk pada “perlawanan” Islam pada gejala terjadinya “diskriminasi” dan “persekusi” terhadap kaum muslim.

 

Namun, secara etimologis, ada misnomer dalam istilah Islamophobia. Pilihan menggabungan kata “Islam” dan “phobia” terasa tidak pas, bahkan tidak patut. Islamophobia menjadi “neologisme”, istilah atau frasa baru yang coba diinternalisasikan agar menjadi mainstream. Namun apakah frasa ini betul mencerminkan maksud atau konsep yang ingin disampaikan? Benarkah “Islamophobia” logis dan konsisten sebagai istilah atau frasa yang menggabungkan kata Islam (ajaran agama) dan phobia (rasa takut), “rasa takut pada ajaran atau orang Islam”?

 

Frasa Islamophobia memang pernah dipakai oleh penulis Perancis, Alain Quellien, dianggap sebagai pengguna pertama kata Islamophobie pada 1910. Alain memakai istilah ini untuk menandai adanya “prasangka pada Islam yang merebak di kalangan warga Kristen di Barat.” Namun Istilah ini tidak pernah menjadi resmi, mainstream, atau populer, termasuk juga tidak eksis di dunia Islam hingga tahun 1990-an (saat diterjemahkan menjadi ruhāb al-islām, "phobia pada Islam").

 

Pusat studi Islamophobia di Universitas California menganggap, istilah ini juga agak “dipaksakan”. Sebagai penanda cerminan rasa takut dan prasangka pemikiran Eurocentric atau orientalisme. Jika saat ini Islamophobia digembar-gemborkan dan diintroduksi kembali, itu artinya sama saja membenarkan cara berpikir “Eropa adalah pusat segalanya” yang sudah ketinggalan jaman dan tidak lagi valid. ●

 

Sumber :  https://www.watyutink.com/berpikir-merdeka/pr-5033978843/semiotika-islamophobia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar