Senin, 01 Agustus 2022

 

”Gunung Es” Kurikulum Merdeka

Waode Nurmuhaemin: Doktor Manajemen Pendidikan

KOMPAS, 28 Juli 2022

 

                                                

 

 Tanggal 14 April 2012, kapal Titanic yang digadang-gadang sebagai kapal pesiar termewah dan teraman saat itu menabrak gunung es dalam pelayaran perdananya dari Inggris ke New York, Amerika Serikat. Dunia seketika heboh, kapal yang diklaim sangat aman harus berakhir tragis dan menelan korban 1.500 orang dari 2.220 penumpang.

 

Sampai saat ini, kisah Kapal Titanic menjadi legenda yang terus dikisahkan oleh banyak orang. Gunung es, itulah penyebab kapal itu tenggelam. Tak ada yang memprediksi bahwa kapal itu akan tenggelam oleh sesuatu yang tidak kelihatan, namun sangat membahayakan. Fenomena gunung es kemudian menjadi sesuatu yang didefinisikan sebagai hal berbahaya yang tidak terlihat di permukaan, namun siap menjadi hal berbahaya dalam suatu peristiwa.

 

Seperti juga kapal Titanic yang diklaim sangat aman, Kurikulum Merdeka juga diklaim akan mampu menambal learning loss. Kurikulum Merdeka juga diklaim akan membawa perubahan terhadap pendidikan Indonesia yang sudah 20 tahun tidak menunjukkan perubahan berarti berdasarkan ranking tes PISA. Selama 20 tahun Indonesia mengikuti tes Programme for International Student Assessment (PISA), hasilnya konsisten di peringkat 10 terbawah.

 

Pada tahun ajaran baru ini, 143. 265 satuan pendidikan dari PAUD hingga SMA dan sederajat menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini muaranya adalah terciptanya Profil Pelajar Pancasila. Masih banyak guru yang bingung sampai hari ini. Banyak yang belum paham apa dan bagaimana Kurikulum Merdeka itu, terlebih dalam teknik pelaksanaannya.

 

Aplikasi Merdeka Mengajar nyatanya tidak banyak memberikan kontribusi pemahamanan dalam pelaksaannya. Metode download tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Kemudian, banyak sekolah yang bertanya kepada sekolah penggerak yang diklaim berhasil menerapkan kurikulum ini setahun sebelumnya.

 

Penjelasan guru di sekolah penggerak pun bermacam-macam dan menimbulkan kebingungan. Ada guru yang memahami, dari 30 proyek pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka, tidak semua harus dilaksanakan.

 

Di sini terlihat jelas kebingungan guru yang belum bisa membedakan dimensi Profil Pelajar Pancasila yang merupakan muara Kurikulum Merdeka yang enam dimensi itu dan proyek 30 persen penguatan Profil Pelajar Pancasila yang harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan dengan berdasarkan tujuh tema yang telah ditentukan pemerintah. Ini fenomena gunung es yang pertama.

 

Kompetensi guru

 

Fenomena gunung es yang kedua adalah sebelum pelajaran dimulai pada Kurikulum Merdeka ada tes asesmen diagnostik. Inti dari Kurikulum Merdeka adalah bahwa siswa tidak lagi menjadi sekadar obyek. Siswa harus diberi keleluasaan dalam belajar. Guru harus mengetahui level kemampuan tiap siswa. Setiap siswa punya kemampuan dan kebiasaan belajar yang berbeda.

 

Di sinilah kompetensi guru diuji. Apa mampu guru mengajar tiap siswa yang berbeda-beda kemampuan dengan metode dan cara yang juga berbeda-beda? Pembelajaran berdiferensiasi istilahnya dalam Kurikulum Merdeka, bahwa guru bisa mengajar dengan segala level kemampuan siswa. Bagaimana kompetensi guru Indonesia?

 

Jangan lupa, pada tes uji kompetensi guru yang terakhir dilaksanakan di tahun 2015, nilai rata-rata guru Indonesia 53,02 dari nilai standar pemerintah 55. Saya belum mendapatkan data ada tes UKG nasional sejak tahun 2015. Mengapa pemerintah begitu cuek terhadap kompetensi guru dan tidak seriuh perhatian pemerintah terhadap perubahan kurikulum?

 

Model Kurikulum Merdeka juga masih mirip K13 (Kurikulum 2013), hanya istilahnya yang diubah-ubah. Pada K13 juga ada proyek, hanya belum semua guru mampu menerapkan. Bukan karena kurikulum itu susah, namun belum mendapatkan pelatihan. Bahkan, K13 juga dirancang untuk memenuhi tuntutan pembelajaran abad ke-21.

 

Guru adalah eksekutor kebijakan pemerintah di lapangan. Mau buat kurikulum apa pun, kalau kompetensi guru masih jalan di tempat, itu adalah hal mubazir nan sia-sia. Perubahan kurikulum harus diiringi dengan perubahan mindset guru.

 

Apakah pihak Kemendikbudristek sudah mengadakan survei sikap guru terhadap Kurikulum Merdeka? Tidak usah berpatokan kepada sekolah penggerak yang katanya sudah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka. Buktinya seperti apa juga tidak dipaparkan atau di-launching atau di-publish biar semua bisa berkiblat ke sekolah-sekolah itu terhadap Kurikulum Merdeka. Seharusnya pihak Kemendikbudristek merilis nama-nama sekolah penggerak yang sudah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka beserta bukti bahwa siswa-siswa di sekolah-sekolah tersebut lebih baik pencapainya dalam hal sains, matematika, dan juga literasi.

 

Pembelajaran terdiferensiasi

 

Pembelajaran berdiferensiasi adalah inti dari Kurikulum Merdeka. Jika pembelajaran berdiferensiasi tidak tercapai, apa yang diharapkan dari Kurikulum Merdeka? Apa bedanya dengan K13? Apakah bisa terlaksana di kelas yang siswanya 40 orang? Perlu energi dan kemampuan yang tinggi bagi guru untuk bisa melaksanakannya.

 

Negara-negara maju, seperti Singapura, sangat memperhatiakan kompetensi guru. Bahkan, Kementerian Pendidikan Singapura pada tahun 2016-2019 melaksanakan satu kegiatan atau proyek yang diinisiasi Kementerian Pendidikan berjudul ”Exploring the Desingning of a Growth Midset Curriculum in a Singaporesan School”. Proyek ini bertujuan untuk melihat bagaimana kurikulum yang berbasiskan growth mindset diterapkan di sekolah Singapura.

 

Hal itu sejalan dengan saran-saran OEDC pada tes 2018. OECD sebagai penyelenggara tes PISA selama bertahun-tahun melihat satu fenomena, yaitu bahwa negara-negara yang peringkatnya rendah diduduki oleh negara-negara itu-itu saja dan semikian juga negara-negara yang peringkatnya tinggi. OECD kemudian berhipotesis bahwa siswa–siswa di negara yang peringkatnya tinggi memiliki growth mindset dan para siswa di negara-negara yang peringkatnya selalu rendah memiliki fix mindset.

 

OECD kemudian menyelipkan satu suplemen pertanyaan yang juga menyasar kemampuan guru dengan memberikan pertanyaan-pertayaan yang berkaitan dengan kompetensi guru mengajar berdasarkan penilaian siswa. Hasilnya adalah guru-guru Indonesia masih memiliki kemampuan mengajar yang belum maksimal. Mengapa Kemendikbudristek tidak kemudian memperhatikan saran-saran OECD untuk memperhatikan kompetensi guru?

 

Kurikulum Merdeka memang secara teori dipaksakan untuk terlihat sederhana. Di mana sederhananya? Guru yang tadinya hanya buat RPP harus membuat modul, modul proyek, pelaksanaan proyek, dan lain-lain. Rapor juga menjadi rapor reguler dan rapor proyek. Guru-guru saat ini lebih banyak mengurus administrasi perangkat mengajar ketimbang saat melaksanakan K13. Jadi, merdekanya di mana?

 

Saya justru melihat mindset para guru belum berubah. Belum memahami apa dan bagaimana Kurikulum Merdeka. Mereka belum bisa mendapatkan roh Kurikulum Merdeka. Model copy paste masih terbawa-bawa. Hanya meng-copy modul-modul yang beredar dan disamakan dengan pelajaran masing-masing.

 

Tentu saja ini terjadi akibat kurikulum itu dipaksakan untuk dipahami sendiri oleh guru dari platform dan minimnya pelatihan serta sosialisasi. Kalau mau kurikulum ini berhasil, mindset guru dulu yang diubah untuk melebur dalam roh Kurikulum Merdeka.

 

Sudah seharusnya dan selayaknya pemerintah memfokuskan perubahan pendidikan Indonesia di faktor-faktor kunci yang bisa menjawab mengapa pendidikan kita masih saja semrawut. Pertama yang perlu dilihat adalah pola rekrutmen guru. Sudahkah yang jadi guru adalah mereka yang betul-betul memiliki passion guru atau sekadar memburu sertifikasi? Apakah guru-guru kita memiliki growth mindset untuk selalu berkembang? Saya banyak melihat guru-guru bahkan tidak memiliki minat baca. Padahal, mereka adalah role model literasi di sekolah.

 

Bagimana lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) penyelenggara pendidikan guru? Finlandia, Singapura, bahkan Malaysia sangat ketat menyelenggarakan pendidikan guru. Tidak semua kampus bisa membuka sekolah guru dan tidak semua orang bisa jadi guru.

 

Yang kedua yang perlu diperhatikan adalah infrastruktur sekolah. Masih ada ratusan ruang kelas yang rusak, bagaimana bisa menerapkan Kurikulum Merdeka di tengah-tengah paceklik fasiltas. Ini patut dipertanyakan.

 

Yang ketiga, sekali lagi tata kelola guru. Penempatan guru di Indonesia masih sangat jomplang. Satu sekolah bahkan ada yang hanya punya satu-dua guru PNS. Sementara sekolah–sekolah lain yang bagus dan terletak di kota-kota besar memiliki guru berlebih. Bahkan di daerah-daerah 3T hanya ada guru-guru honorer yang digaji Rp 400.000 sebulan sebagai napas penggerak di sekolah.

 

Euforia Kurikulum Merdeka sesungguhnya tidak akan lama kalau di lapangan banyak masalah yang belum terpecahkan dengan hal-hal krusial yang menghantui pendidikan Indonesia selama ini. Sesungguhnya, kompetensi guru, tata kelola guru, kelas-kelas rusak adalah gunung es yang akan menenggelamkan Kurikulum Merdeka..

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/26/gunung-es-kurikulum-merdeka

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar