Senin, 01 Agustus 2022

 

Mengenang Harimurti Kridalaksana Seorang ”Yogi” Bahasa yang Santun

St Sularto: Wartawan Senior

KOMPAS, 26 Juli 2022

 

                                                

 

 Memule atau mengenang berbeda dengan obituari (berita lelayu). Memule Prof Dr Harimurti Kridalaksana (82), meninggal 11 Juli 2022, berarti membangkitkan kembali ingatan tentang almarhum.

 

Harimurti bukan hanya pakar bahasa Indonesia, bukan hanya pemerhati seperti biasa dia katakan, melainkan ia juga ”yogi”.

 

Harimurti aktif di berbagai penelitian kebahasaan dan organisasi keilmuan, di antaranya sebagai Ketua Presidium Pusat PMKRI, 1962. Ia ibarat pemain yoga yang bergulat dengan linguistik sekaligus menempa mental di luar kebahasaan.

 

Ia merambah tidak hanya dalam ilmu linguistik, disiplin keahliannya—mengutip Daldiyono, Harimurti Kridalaksana dan bahasa ibarat dua sisi mata uang—tetapi juga cabang-cabang ilmu linguistik, seperti leksikografi (perkamusan), leksikologi (kosakata), dan semantik (kata dan kalimat).

 

Tidak langsung berhubungan dengan kebahasaan Indonesia, ia memasuki wilayah politik bahasa, pengajaran bahasa Jawa, dan sejarah bahasa Indonesia.

 

Nama Harimurti Kridalaksana mungkin kurang populer dibandingkan pakar bahasa Indonesia lain. Namun, di dunia pengembangan bahasa Indonesia, nama dan keahlian Harimurti—lengkapnya Hubert Emanuel Harimurti Kridalaksana—mendapat apresiasi.

 

Dengan senyum dan tawanya, juga kegemarannya membuat lelucon, sosoknya melekat di hati mereka yang pernah bersinggungan dengan ilmuwan kelahiran Ungaran, Jawa Tengah, 23 Desember 1939, itu.

 

Lulus sarjana sastra dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1963, master didaktik bahasa dari Universitas Pittsburgh tahun 1972, doktor susastra dari FSUI tahun 1987, profesor ilmu linguistik dari fakultas yang sama tahun 1991, Harimurti menulis lebih dari 100 karya ilmiah dan lebih dari 30 buku.

 

Bahasa Indonesia lahir

 

Harimurti meneliti dan menulis sejarah bahasa Indonesia (Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, 2018). Ia sudah lama ingin menulis sejarah Bahasa Melayu-Indonesia karena banyak kisah para perintis kemerdekaan dalam politik, tetapi dalam bidang perintisan bahasa Indonesia kurang.

 

Dalam buku setebal 108 halaman itu, ia menonjolkan empat tokoh bahasa Indonesia yang meninggalkan ke-Melayu-an dan berpindah ke-Indonesia-an secara evolusioner.

 

Mereka yang dia sebut empat pendekar itu Ki Hadjar Dewantara, Mohamad Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo Tjokrowinoto. Selain itu, ada tokoh lain, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Poerbatjaraka, Sanoesi Pane, dan Armijn Pane, yang sudah memikirkan bagaimana bangsa ini dapat memiliki bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai alat pemersatu komunikasi, melainkan juga bahasa kebudayaan cermin kedewasaan berbangsa.

 

Menurut Harimurti, hari kelahiran bahasa Indonesia adalah 2 Mei 1926, bukan 28 Oktober 1928. Sebab, pada 2 Mei 1926 itu, Thabrani mengusulkan bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu (hlm 2), di tengah Kongres Pemuda I, 30 April-2 Mei 1926.

 

Usulan diterima kongres. Dalam Kongres Pemuda II, 27 dan 28 Oktober, nama bahasa Indo- nesia disahkan sebagai bahasa persatuan Indonesia (hlm 19).

 

Harimurti mengutip biografi M Tabrani, Anak Nakal Banyak Akal. Thabrani (1904-1984) lahir di Pamekasan, tokoh pergerakan, pemrakarsa dan ketua kongres pertama tahun 1926.

 

Dia juga menyertakan sejumlah sumber lain, di antaranya dua buku yang dia tulis, Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) dan The Prehistory of Languages, An Introductory Reader (1995).

 

Dalam usaha meluruskan salah kaprah kelahiran bahasa Indonesia, Harimurti memakai metode kerja keilmuan yang lazim: bertahun-tahun mengumpulkan bahan dari sumber primer ataupun sekunder, mengendapkan, dan menulisnya sebagai hasil kajian ilmiah.

 

Keputusan kongres kedua yang disahkan sebagai Sumpah Pemuda 1928 menyebut sumpah ketiga: bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia sesuai keputusan kongres pertama.

 

Pengembangan

 

Anton Moeliono sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa waktu itu—lembaga ini kemudian menjadi Pusat Bahasa, dan sekarang Badan Bahasa—tegas menyatakan perlunya ada aturan tegas tentang pemakaian bahasa Indonesia. Kalau pemakai dibiarkan bebas mengembangkan sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia bubrah.

 

Ia sependapat dengan lebih santun mengatakan, pengembangan bahasa merupakan perpaduan antar-aturan. Oleh karena itu, perlu satu politik bahasa sebagai pedoman.

 

Sarannya agar Pusat Bahasa menyediakan daftar kosakata, di kemudian hari dipenuhi dan bisa diakses siapa pun.

 

Tidak melibatkan diri secara langsung dalam wacana perpolitikan bahasa, ia lebih menyampaikan kondisi bahasa Indonesia yang berkembang. Pada tahun 1990-an, ia prihatin dengan membanjirnya kosakata asing, padahal ada padanan dalam bahasa Indonesia. Tahap-tahap penerjemahan diterabas, mengalihkan langsung berdasarkan kemiripan bunyi.

 

Selain ratusan monografi dan puluhan buku, Harimurti mewariskan lembaga terkait kebahasaan, seperti Lembaga Leksikografi dan Leksikologi, Masyarakat Linguistik Indonesia, dan Royal Asiatic Society.

 

Struktur Bahasa Jawa Kuna

 

Wiwara Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa

 

Harimurti tak melupakan subbidang ilmu linguistik, di antaranya leksikografi, leksikologi, dan semantik. Ia terlibat dalam penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia tahun 1988 yang ”dibidani” Anton Moeliono.

 

Harimurti menyusun Kamus Linguistik, terbit pertama 1982. Kamus setebal 315 halaman itu banyak cetak ulang.

 

Beberapa pengamat menyebut kamus ini salah satu karya paling menarik dan inspiratif dari Harimurti sebab membantu banyak pembelajar bahasa Indonesia yang kebingungan dengan perkembangan pesat bahasa Indonesia.

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/mengenang-harimurti-kridalaksana-seorang-yogi-bahasa-yang-santun

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar