Senin, 01 Agustus 2022

 

Pengorbanan untuk Pendidikan

Anggi Afriansyah :  Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN

REPUBLIKA, 26 Juli 2022

 

 

                                                           

Pada pagi hari ketika mengantar anak ke sekolah, penulis memperhatikan berbagai pola pengantaran anak-anak ke sekolah. Ada yang menggunakan mobil, motor, transportasi daring mobil dan motor, angkutan umum, sepeda, atau berjalan kaki.

 

Ada anak-anak ke sekolah secara mandiri dan lebih banyak yang diantar orang tua atau orang dewasa. Tampak antusiasme kembali ke sekolah, baik dari orang tua maupun anak-anak. Dalam konteks Indonesia, harapan terhadap sekolah memang masih tinggi.

 

Situasi pandemi lalu misalnya, menguatkan argumen betapa orang tua bergantung pada sekolah untuk mendidik anak. Padahal, arena pendidikan bukan hanya di sekolah, melainkan juga keluarga, komunitas, dan lain sebagainya. 

 

Mengantar anak ke sekolah bisa jadi bukti cinta orang tua kepada anak. Dalam proses mengantar, ada ragam harapan dititipkan. Semoga anak mendapatkan pendidikan terbaik. Mengantar dan menjemput bukan perkara sederhana.

 

Tak semua orang tua memiliki kemewahan melakukannya.  Bisa jadi karena harus bekerja jauh dari rumah, sakit keras, atau harus bekerja lebih pagi dan pulang lebih larut sehingga tak sesuai jadwal berangkat dan pulang sekolah.

 

Namun, orang tua yang berketerbatasan tak perlu sedih. Ikatan dengan anak tetap terjalin saat orang tua bersungguh-sungguh membuka komunikasi dengan anak. Apalagi yang punya akses internet memadai sehingga setiap saat orang tua bisa berkomunikasi dengan anak.

 

Sama halnya ketika orang tua memercayakan pendidikan anak ke pesantren atau memercayai anak menempuh pendidikan di kota lain, karena fasilitas pendidikan di tempatnya tak memadai, komunikasi masih dapat dijalin.

 

Namun, bagi mereka yang memiliki keleluasaan mengantar dan menjemput anak, harus mengoptimalkannya untuk menjalin ikatan anak dan orang tua lebih erat. Anak dapat bercerita yang mereka rasakan dan orang tua bisa mengerti keinginan anak.

 

Jarak antara rumah dan sekolah dapat menjadi ruang anak dan orang tua saling menguatkan.

 

Pengorbanan

 

Untuk wilayah perkotaan, dari segi jarak tentu sekolah lebih dekat dengan rumah. Berbeda dengan perdesaan atau bahkan di wilayah kepulauan. Tidak semua kecamatan di Indonesia memiliki jenjang sekolah hingga level SMA atau SMK.

 

Di masyarakat pesisir misalnya, tak jarang siswa harus melintasi pulau. Mengandalkan perahu tradisional untuk ke sekolah dan bergantung cuaca. Jika cuaca buruk, sekolah terhenti.

 

Jangan harap pendidikan keluarga ala masyarakat perkotaan yang memiliki buku dan teknologi memadai atau orang tua yang mengerti materi pelajaran. Pengorbanan keluarga miskin untuk pendidikan begitu dahsyat.

 

Demi pendidikan berkualitas, orang tua mengorbankan banyak hal. Ada yang bekerja begitu keras agar sang anak bersekolah di sekolah swasta berkualitas. Ada yang berpindah ke kota agar anak-anaknya meraih pendidikan di sekolah negeri favorit.

 

Ada ibu yang merelakan karier demi mendidik anak-anak di rumah. Bahkan, ada yang menjual berbagai aset.

 

Pendidikan kini memang berbiaya mahal. Namun, semua bertaruh untuk berinvestasi guna mendapat masa depan gemilang. Dalam perspektif human capital theory disampaikan mengenai rate of return on investment in education.

 

Ada yang kembali dari hasil investasi di bidang pendidikan. Dan narasi pendidikan sebagai bagian dari human capital investment ini, lebih dominan dalam ruang pendidikan di Indonesia (Mulyani dan Kuncoro, 2021).

 

Namun, situasi problematis terjadi karena iklim pendidikan di Indonesia masih cenderung membatasi penduduk, yang memiliki keterbatasan akses meraih cita-citanya. Impitan ekonomi membuat tak semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk pendidikan yang setara.

 

Tak salah sosiolog kritis menyebut, pendidikan sebagai arena reproduksi sosial yang timpang (Bourdieu dan Passeron, 1977). Siapa yang memiliki kapital akan mampu mengakses ragam kesempatan, sementara yang marginal tetap tertinggal.

 

Peran pemerintah memberi akses luas bagi anak-anak marginal untuk menggapai pendidikan sangat penting. Penduduk marginal harus mendapat prioritas dari pemerintah. Dalam potret lebih luas, gizi dan kesehatan anak miskin perlu diperhatikan.

 

Merujuk Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Gizi dan Masyarakat Tahun 2020-2025, terdapat perbaikan beberapa indikator gizi, tetapi ternyata Indonesia masih mengalami persoalan beban gizi ganda karena tingginya prevalensi kurang gizi dan kelebihan gizi saat bersamaan.

 

Berkaca pada negara-negara maju, prioritas pendidikan menjadi sangat utama. Kesadaran utama mengkreasi penduduk yang cerdas untuk masa depan bangsa, sangat dominan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk pencerdasan anak bangsa. ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/30271/pengorbanan-untuk-pendidikan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar