Senin, 01 Agustus 2022

 

Di Balik Turunnya Angka Kemiskinan

Tita Rosy: Fungsional Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kalimantan Selatan

KOMPAS, 28 Juli 2022

 

                                                

 

 Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan periode Maret 2022 sebesar 9,54 persen. Angka kemiskinan ini mengalami penurunan dibandingkan angka rilis pada periode sebelumnya, yaitu September 2021, yang mencapai 9,71 persen.

 

Bahkan penurunan ini menjadi penurunan yang kedua kalinya pada masa pandemi. Pada periode September 2021 juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dibandingkan kemiskinan periode Maret 2021 yang masih double digit (persentase penduduk miskin Maret 2021 sebesar 10,14 persen).

 

Sebuah kisah keberhasilan

 

Angka kemiskinan periode Maret 2022 ini merupakan prestasi pemerintah yang patut diapresiasi mengingat angka kemiskinan saat ini masih berada pada posisi satu digit.

 

Pandemi Covid-19 pernah membuat angka kemiskinan nasional naik lagi ke dua digit setelah pada periode sebelum pandemi melanda berhasil ditekan menjadi satu digit.

 

Pandemi juga telah membuat ekonomi nasional mengalami kontraksi, bahkan resesi. Penurunan angka kemiskinan ini mengiringi pemulihan ekonomi nasional yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen secara year-on-year (yoy) pada kuartal I-2022.

 

Pertumbuhan ekonomi 5,01 persen itu hampir menyamai performa ekonomi sebelum pandemi melanda negeri ini. Selama lima tahun terakhir sebelum pandemi, secara rata-rata ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen.

 

Bersamaan dengan turunnya angka kemiskinan, BPS juga merilis tingkat pengangguran terbuka (TPT) periode Februari 2022 mencapai 8,4 juta orang atau 5,83 persen dari angkatan kerja. Angka ini turun dibandingkan Februari 2021 yang 8,75 juta orang atau 6,26 persen dari angkatan kerja. Turunnya angka pengangguran turut menorehkan kisah sukses di masa pandemi yang belum berakhir.

 

Inflasi membayangi kemiskinan

 

Serangkaian peristiwa domestik yang mewarnai perekonomian nasional di antaranya adalah penerapan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang dikeluarkan pada 1 Februari 2022. Kebijakan ini diterapkan pemerintah dengan harapan dapat meredam gonjang-ganjing harga komoditas bahan pokok yang polemiknya dikhawatirkan dapat memantik inflasi pada saat itu. Inflasi pada Januari 2022 telah mencapai 0,56 persen secara month-to-month atau 2,18 persen year-on-year.

 

Inflasi periode Januari 2022 ini lebih tinggi daripada inflasi pada Ramadhan dan Idul Fitri 2021. Biasanya inflasi akan meningkat ketika berada pada kedua momen tersebut. Alhasil, dengan adanya kebijakan HET minyak goreng pada Februari 2022, terjadi deflasi sebesar 0,02 persen yang disumbang oleh andil deflasi minyak goreng sebesar 0,11 persen.

 

Meskipun demikian, pada bulan tersebut minyak goreng justru langka di pasaran. Kebijakan HET memicu terjadinya masalah distribusi minyak goreng di lapangan. Oleh karena itu, pada 16 Maret 2022 pemerintah mencabut kebijakan HET yang berdampak pada munculnya kembali minyak goreng di pasaran dengan jumlah yang meningkat, tetapi diikuti pula oleh kenaikan harga yang signifikan. Tercatat inflasi Maret 2022 mencapai 0,66 persen secara month-to-month dan 2,64 persen secara year-on-year.

 

Inflasi erat kaitannya dengan kemiskinan. Hingga saat ini inflasi merupakan komponen yang diikutkan dalam formula penghitungan garis kemiskinan secara linier. Apabila inflasi meningkat, garis kemiskinan juga meningkat, demikian juga sebaliknya. Garis kemiskinan yang meningkat akan semakin banyak menjaring penduduk yang daya belinya relatif stagnan untuk masuk ke dalam jurang kemiskinan.

 

Faktanya, pada periode Maret 2022, angka kemiskinan nasional masih pada level satu digit. Kondisi ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan memperhatikan indikator-indikator dan fenomena-fenomena yang membersamainya.

 

Tantangan tersisa: ketimpangan

 

Bersamaan dengan angka kemiskinan sebesar 9,54 persen, telah dirilis juga angka rasio gini yang merupakan ukuran kesenjangan pengeluaran penduduk. Pada Maret 2022, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini adalah sebesar 0,384. Angka ini meningkat 0,003 poin jika dibandingkan dengan rasio gini September 2021 yang 0,381.

 

Bahasa sederhananya, apabila rasio gini meningkat, maka yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

 

Berdasarkan kriteria Bank Dunia yang membagi kelompok pengeluaran penduduk menjadi tiga kluster, yaitu pada penduduk 40 persen terbawah, penduduk 40 persen menengah, dan penduduk 20 persen teratas, terdapat juga informasi yang patut untuk diperhatikan.

 

Terjadi peningkatan persentase pengeluaran pada penduduk yang menempati 40 persen terbawah dan sekaligus juga terjadi peningkatan pada penduduk yang menempati 20 persen teratas. Pada Maret 2022, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 18,06 persen. Posisinya meningkat dibandingkan kondisi September 2021 yang 17,97 persen dan Maret 2021 sebesar 17,76 persen.

 

Pada periode yang sama pada penduduk 20 persen teratas persentase pengeluaran mencapai 46,2 persen, meningkat dibandingkan periode September ataupun Maret 2021 yang masing-masing sebesar 45,71 persen dan 45,87 persen.

 

Selain masalah ketimpangan yang makin melebar, penurunan angka kemiskinan kali ini juga masih mengandung disparitas antarwilayah. Hingga saat ini, persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan dengan besaran 5,82 persen dan yang tertinggi di Pulau Maluku dan Papua sebesar 19,89 persen.

 

Kesenjangan antara yang tertinggi dan yang terendah mencapai dua digit. Hal ini perlu dibenahi mengingat amanat UUD 1945, khususnya pada Pasal 34 Ayat 1, menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Pemerintah harus memfasilitasi interaksi ekonomi antarwilayah yang diharapkan dapat menaikkan output ekonomi di tiap-tiap pulau secara berkeadilan.

 

Konektivitas antarpulau sangat diperlukan karena masih terdapat sekitar 26,16 juta penduduk Indonesia yang pengeluarannya masih di bawah garis kemiskinan, sebesar Rp 505.469 per bulan.

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/dibalik-turunnya-angka-kemiskinan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar