Senin, 01 Agustus 2022

 

Sukarno-Natsir, Parkindo-Masyumi-Soekiman: Hari-hari indah Persatuan Nasional

Lukman Hakiem :  Penulis Soal Sejarah Tokoh Islam dan Mantan Anggota DPR RI

REPUBLIKA, 27 Juli 2022

 

 

                                                           

Setelah diinterupsi oleh stroke yang menyebabkan saya harus beristirahat total selama tiga bulan, alhamdulillah buku ini selesai ditulis dan sekarang sudah dihadapkan pada pembaca yang Budiman.

 

Ketika tangan kiri tidak bisa digerakkan, saya sudah pesimis apakah penulisan buku ini dapat diselesaikan. Untuk hal ini saya harus menyebut sebuah nama, kawan karib : Dr. Ir. Sabar Sitanggang. Suatu senja, Bung Sitanggang menelepon saya, bertanya kabar dan perkembangan Kesehatan saya, “Alhamdulillah”, jawab saya. “Berangsur pulih hanya tangan kiri belum bisa digerakkan. Padahal saya masih punya PR menyelesaikan Biografi Dr. Soekiman Wirjosandjojo”, ujar saya pesimis.

 

Dengan semangat seperi biasanya, Bung Sitanggang menyemangati dan membesarkan hati saya. “Abang” demikian Bung Sitanggang menyapa saya. “Jangan berkecil hati. Abang masih ingat senior kita Dr. Kuntowijoyo? Beliau sakit hingga tidak menggerakkan seluruh tubuhnya. Tapi, dalam ketidakberdayaannya pak Kuntowijoyo makin produktif, tulisan-tulisannya makin jernih dan bermutu. Saya do’akan abang bisa mengikuti jejak Dr. Kuntowijoyo. Nasihat Bung Sitanggang sungguh-sungguh membangkitkan semangat saya.

 

Segera saya kumpulkan buku-buku yang beberapa saya tulis, lalu saya minta anak-anak saya untuk membaca bahan-bahan itu dan mengetik. Tidak Cuma anak, cucu sekaligus asisten kecil saya, Alizha Wardatunnisa Hakiem (13 tahun) kebagian tugas. Cucu pertama yang secara otodidak relatif bisa berbahasa Inggris lisan dan tulisan, saya minta menerjemahkan penggalan pendapat Dr. Abu Hanifah. Hasilnya dapat dibaca ditulisan pertama buku ini pada bagian kedua : Seranai Apresiasi.

 

Mohon do’a agar Alizha yang pada 22 Juli 2022 mulai memasuki jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di Pondok Pesantren Darul Ulum Lido mendapat ridho, bimbingan dan perlindungan Allah SWT dalam meraih cita-citanya.

 

Mengapa Soekiman?

 

Soekiman adalah fenomena. Mersipun tidak mengkategorikan aktivis Partai Syarikat Islam sebagai santri, tetapi peserta Kongres Ummat Islam Indonesia pada awal November 1945 dengan bersemangat menaruh Soekiman dengan mendudukkannya di kursi Ketua Umum Pengurus Besar Masyumi. Partai yang mewarisi perjuangan ummat Islam Indonesia.

 

Soekiman yang dikategorikan sebagai priyayi ternyata sukses memimpin Masyumi. Dibawah kepemimpinannya, Masyumi bukan saja bertambah besar secara kuantitatif, tetapi juga disegani lawan dan dihormati lawan lantaran sikap politiknya yang tegas menolak berunding dengan Belanda dalam hal dasar pengakuan Kedaulatan RI.

 

Soekiman yang priyayi tetapi sangat prokepentingan nasional ini yang pada saatnya kelak mendapat dukungan dari hampir seluruh tokoh politik di tanah air, kecuali PKI dan golongan kiri untuk menjadi Perdana Menteri NKRI (berdaulat).

 

Soekiman menjadi Perdana Menteri NKRI tidak hanya didukung oleh Masyumi, tetapi juga oleh PNI yang dengan menjadikan Ketua Umumnya, Mr. Soewirjo untuk menjadi Wakil Perdana Menteri mendampingi Perdana Menteri Soekiman.

 

Selain itu, Soekiman didukung oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik dan Fraksi Demokrat.

 

Ini jelas fenomena politik yang sangat menarik. Seorang pemimpin Partai Islam ideologis didukung oleh hampir semua kekuatan politik di Indonesia.

 

Yang lebih menarik, Soekiman mampu mempertahankan dukungan dengan keutuhan kabinetnya hingga akhir masa jabatan. Kemampuan Soekiman menjaga keutuhan pemerintahannya menjadi penting, karena kelak Soekiman mampu menjadikan soliditas itu sebagai modal untuk menyatukan sikap politik yang apa adanya.

 

Ketika pecah pergolakan daerah, Soekiman mampu menyatukan pendapat para pemimpin Partai Politik bahwa “PRRI inkonstitusional, pembentukan Kabinet Djuanda oleh Dr. Ir. Soekarno juga inkonstitusional.”

 

Hanya mereka yang telah selesai dengan dirinya mampu berkata jujur didepan penguasa yang sedang sedang sangat kuat.

 

Tokoh yang sudah selesai dengan dirinya yang dengan tegar menolak penunjukkan dirinya menjadi Anggota DPR Gotong Royong atas dasar solidaritas yang perwira.

 

Bagaimana Dengan Natsir?

 

Membicarakan Soekiman, tentu tidak lengkap jika tidak menyinggung M. Natsir, Ketua Umum Masyumi sesudah Soekiman. Jika Soekiman surplus dukungan dari berbagai kekuatan politik, Natsir justru surplus dukungan dari kekuatan politik utama Tanah Air, yaitu Presiden Soekarno.

 

Ketika ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi formatur kabinet, Natsir berpendapat jika ingin kuat, kabinetnya harus didukung oleh Masyumi dan PNI. Saat Natsir sulit mendapat dukungan PNI, dia menganggap tugasnya sudah gagal. Karena itu dia menghadap Presiden Soekarno untuk mengembalikan mandat. 

 

Dua kali Natsir menghadap Presiden, dua kali pula Presiden menolak pengembalian mandate : “terus saja,” kata Bung Karno. “Tanpa PNI?” tanya Natsir. “Ya, tanpa PNI,” jawab Presiden tegas. Itulah untuk pertama kalinya Bung Karno meninggalkan PNI yang didirikannya pada 1927.

 

Kepada juru bicara Masyumi, Anwar Harjono, Natsir mengeluh : “apa dosa saya kepada PNI, hingga mereka tidak mau mendukung saya?”

 

Keluhan yang wajar, karena dibujuk dan diyakinkan oleh Presiden Soekarnopun, PNI dan partai-partai lain tetap tidak mau mendukung Natsir. Keluhan Natsir adalah misteri sejarah yang suatu saat harus dikenang untuk diambil pelajaran darinya.

 

Terbitnya buku ini melengkapi dua karya saya sebelumnya tentang M. Natsir dan Prawoto Mangkusasmito.

 

Dengan buku ini, tuntaslah “tugas” saya menulis dan menyunting biografi tiga Ketua Umum Masyumi – Partai Poiltik yang hanya berusia 15 tahun, yang keharumannya melampaui usianya.

 

Insya Allah buku ini bermanfaat untuk menjadi modal mewujudkan sila “Persatuan Indonesia.” ●

 

Sumber :  https://www.republika.co.id/berita/rfo8su385/sukarnonatsir-parkindomasyumisoekiman-harihari-indah-persatuan-nasional

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar