Senin, 01 Agustus 2022

 

Rudapaksa dan Perkosa

Nazarudin: Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

KOMPAS, 26 Juli 2022

 

                                                

 

Belakangan ini di media sosial ramai diperbincangkan penggunaan kata rudapaksa sebagai padanan perkosa. Kata rudapaksa sendiri pada awalnya diusulkan Prof Dr Prijana pada sidang Komisi Istilah sebagai padanan atas istilah hukum gewelddadig, pada istilah gewelddadige aanslag ’makar rudapaksa’ dan gewelddadige dood ’mati rudapaksa, mati karena kekerasan’.

 

Dalam konteks itu, kata rudapaksa lebih identik dengan makna ’kekerasan’. Makna ini kemudian digunakan dan diperkuat pula pada bidang lain, misalnya kedokteran. Selain makna ’kekerasan’, pada bidang ini berkembang pula makna ’trauma’. Hal ini terlihat dari bentuk penggunaan rudapaksa pada kepala yang berarti ’trauma capitis’.

 

Berdasarkan hal ini, medan makna yang berkembang untuk kata rudapaksa adalah ’kekerasan’ dan ’trauma’. Makna ini paling tidak bertahan di KBBI I (terbit 1988) dan KBBI II (1991). Lalu, dalam Edisi Ketiga (2001), definisi rudapaksa berubah menjadi ’paksa; perkosa’ dan bertahan hingga saat ini dalam KBBI V.

 

Namun, jika kita lihat penggunaan rudapaksa dalam data Leipzig Corpora, kata ini masih berkisar pada makna ’kekerasan’ dan ’trauma’, bukan bermakna ’perkosa’. Kalaupun ada, kemunculannya masih sedikit sehingga belum tercatat.

 

Di sisi lain, masih belum jelas sebenarnya alasan perubahan definisi tersebut di KBBI. Saya meyakini, ada alasan yang kuat kenapa definisi tersebut kemudian menambah definisi ’perkosa’ di dalam definisi kata tersebut.

 

Dalam KBBI V, kata perkosa dimaknai sebagai ’menundukkan dengan kekerasan; memaksa dengan kekerasan; menggagahi; merogol’. Sementara jika kita merujuk pada data di Leipzig Corpora, kata ini sangat erat kaitannya dengan tindakan ’pemaksaan untuk bersetubuh’.

 

Di dalam data tersebut, kata perkosa juga lebih banyak berdampingan dengan kata korban, anak, gadis, dan wanita. Jadi, cukup terlihat adanya hubungan relasi kuasa pada kata perkosa.

 

Hal ini juga sejalan dengan definisi perkosaan yang tertera pada Pasal 285 KUHP: ”Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

 

Patut diakui ada keterkaitan makna ’paksaan’ antara rudapaksa dan perkosa. Namun, kedua kata tersebut tidak 100 persen bersinonim. Keduanya tidak bisa saling menggantikan dan berdistribusi secara bebas.

 

Ada unsur makna yang sebenarnya sejak awal tidak terdapat pada kata rudapaksa, yaitu unsur makna ’hubungan seksual’ atau ’bersetubuh’. Sementara unsur makna tersebut melekat erat pada kata perkosa. Dengan kata lain, ada unsur rudapaksa dalam sebuah pemerkosaan, tetapi belum tentu terdapat unsur makna ’hubungan seksual’ dalam rudapaksa.

 

Merujuk pada awal pengusulan kata rudapaksa, dapat pula dikatakan bahwa pemerkosa bisa disebut sebagai perudapaksa, tetapi perudapaksa belum tentu pemerkosa.

 

Bagaimana jika kita menggunakan rudapaksa sebagai sinonim kata perkosa? Saya kurang sependapat karena ada salah satu bagian unsur makna utama yang terdapat pada kata perkosa yang tidak ada pada kata rudapaksa.

 

Tentunya, harus diakui bahwa pada awalnya rudapaksa diusulkan bukan untuk menjadi sinonim perkosa. Perlu pula kita perhatikan bersama bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar secara penuh bersinonim satu sama lain. Penggunaan kata rudapaksa sebagai sinonim perkosa malah dapat memperhalus makna yang sudah ada.

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/22/rudapaksa-dan-perkosa

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar