Menambah Daya Gedor KPPU
Nailul
Huda ; Peneliti Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Dalam sejarahnya, persaingan usaha
berlandaskan pada teori klasik Adam Smith. Adam Smith mengajukan teori
klasiknya, invisible hand, ketika
suatu perekonomian akan mencapai titik keseimbangan dengan mekanisme pasar
atau tanpa intervensi pemerintah.
Dalam persaingan usaha pun sama,
harga akan berada pada titik keseimbangannya sendiri tanpa harus ada
intervensi pemerintah.
Sempat hancur karena adanya
kegagalan pasar (market failure),
yang ditandai dengan pemunculan teori ekonomi Keynes, teori persaingan usaha
mulai menggeliat lagi setelah teori Keynes dan turunannya juga gagal: government failure, kegagalan
pemerintah/negara. Negara-negara berkembang kembali lebih memilih memakai
sistem persaingan atau mekanisme pasar dalam pembangunan ekonominya. Hal ini
disebabkan sistem ekonomi perencanaan terlalu memberatkan pemerintah sehingga
yang terjadi adalah kegagalan perencanaan seperti yang terjadi pada India di
akhir 1980-an.
Dalam perkembangannya, terjadi
pergeseran praktik dalam sistem persaingan usaha. Terjadi praktik-praktik
yang dapat merusak pasar persaingan sehingga pasar tidak berjalan semestinya.
Invisible hand yang diagungkan
dalam sistem persaingan tidak bekerja secara sempurna. Akibatnya, terjadi
pemusatan modal dan penentuan harga, dalam hal ini dipunyai penguasa modal,
bahkan dikuasai penguasa negara. Dapat dikatakan invisible hand dimiliki
penguasa modal atau penguasa negara.
Praktik tersebut berdampak negatif
bagi konsumen: harga yang dibayar konsumen lebih tinggi daripada harga
keseimbangan pasar. Padahal, menurut teori persaingan usaha yang sempurna,
hal itu akan memberi keuntungan bagi konsumen, baik dari segi harga maupun
segi kualitas produk. Untuk menangkal maraknya praktik persaingan tak
sempurna itu, negara-negara yang menganut persaingan usaha membuat peraturan
atau perundangan yang mengatur persaingan usaha. Hingga 2009 sudah 80 negara
lebih yang mempunyai undang-undang persaingan usaha, termasuk salah satunya
Indonesia.
Ihwal persaingan usaha di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Produk dari UU ini adalah
kelahiran Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tugas komite ini mengawasi
dan memberi sanksi kepada pelaku praktik monopoli dan persaingan tak sehat.
Pada awal berdirinya, peran KPPU
berjalan sebagaimana mestinya. Banyak kasus terselesaikan. Rupanya banyaknya
kasus yang ditangani KPPU membuat perusahaan-perusahaan mencari beribu cara
untuk dapat menguasai pasar. Jika dahulu praktik monopoli dilakukan secara
tradisional, saat ini praktik monopoli banyak dilakukan dengan cara lebih
modern. Dunia usaha semakin fleksibel dan semakin banyak celah melakukan
praktik curang. Semakin dinamis dunia usaha, strategi-strategi baru dapat
mengakali praktik persaingan usaha. Contohnya, kerja sama dengan perusahaan
lain untuk menutup akses konsumen ke perusahaan lain. Praktik-praktik seperti
itu harus dapat dipecahkan KPPU untuk dapat terus mengawasi persaingan usaha.
KPPU harus mengikuti dinamika dunia usaha.
Tambahan
vitamin
Dalam menangani kasus kartel yang
semakin banyak dan dinamis, KPPU memerlukan tambahan vitamin untuk menambah
daya gedor dalam mengungkap praktik kartel. UU saat ini dirasa sangat tidak
relevan dengan kondisi usaha sekarang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
hal. Pertama, kewenangan dalam pengusutan perusahaan yang mempunyai basis di
luar negeri, tetapi bermain di pasar domestik atau mempunyai dampak ke pasar
domestik. Sebuah perusahaan yang bermarkas di luar negeri, tetapi menjual
barang di Indonesia pasti berpengaruh terhadap pasar domestik. Jika terjadi
kecurangan yang dibuat perusahaan tersebut, KPPU tidak mempunyai hak
mengusutnya. Hal ini yang sering jadi kelemahan KPPU. Dampaknya akan sangat
terasa, terutama ketika memasuki praktik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Hal yang penting untuk dipikirkan
KPPU adalah kerja sama antarlembaga pengawas negara asal. Sebab, pasti setiap
negara mempunyai peraturan persaingan yang beda-beda. Contohnya adalah syarat
merger di Singapura yang tidak mengharuskan perusahaan melapor ketika
melakukan merger (baik sebelum maupun sesudah), sedangkan di Indonesia wajib
melaporkannya walaupun setelah adanya merger. Selain itu, peraturan
persaingan di tingkat regional ataupun internasional juga belum ada.
Kedua, kewenangan dalam mencari
bukti-bukti langsung praktik monopoli masih terbatas. KPPU tidak boleh
menyadap ataupun menggeledah kantor perusahaan. Hal ini disebabkan masalah
kerahasiaan data. Namun, yang jadi persoalan adalah praktik kecurangan mana
yang dilakukan dengan terbuka, pasti semuanya rahasia. Padahal, dalam
pengadilan diperlukan minimal dua bukti. Namun, tampaknya hal ini sangat
berat diwujudkan karena dinilai akan terlalu banyak risiko dunia usaha yang
dikorbankan. Perusahaan pasti tidak ingin data rahasianya dimiliki lembaga
lain, terlebih jika data tersebut jatuh ke pesaingnya.
Selain itu, metode pembuktian
dengan menggunakan analisis ekonomi KPPU saat ini juga masih minim. Saat ini
hanya ada bukti tidak langsung, seperti dengan analisis ekonomi yang
digunakan oleh KPPU, tetapi hal tersebut belum kuat. Harus ada inovasi dalam
pembuktian ekonomi lainnya, misalnya menggunakan metode game theory yang mampu menganalisis perilaku antar-perusahaan, di
mana dapat menganalisis apakah ada kecenderungan melakukan kerja sama dalam
menentukan strategi. Selain itu, dapat pula menggunakan penghitungan kekuatan
monopoli suatu perusahaan.
Saat ini sudah ada rancangan
revisi UU No 5/1999, tetapi yang sangat di-push oleh KPPU adalah pengumpulan
alat bukti, baik penyadapan maupun penggeledahan. Menurut hemat penulis,
seyogianya yang harus ditingkatkan adalah bukan penyadapan atau
penggeledahan, melainkan pengumpulan alat bukti untuk analisis bukti tidak
langsung. Untuk menunjang itu sangat dibutuhkan kewenangan KPPU untuk
permintaan data yang valid sebagai dasar analisis. Selain itu, inovasi dalam
metode bukti tak langsung juga harus fleksibel dan dapat bervariasi
tergantung produknya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik pasar
yang akan berdampak pada perilaku perusahaan.
Ketiga, pemberian sanksi yang
dinilai kecil hingga saat ini, maksimal hanya 25 miliar rupiah. Sanksi ini
dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan keuntungan melakukan monopoli
yang diperkirakan bisa menambah keuntungan sebesar 100 miliar rupiah,
terutama untuk bisnis berskala besar. Besaran sanksi ini harus mengikuti
perekonomian terakhir.
Kekurangan-kekurangan tersebut
mesti diperbaiki dalam revisi UU. Namun, harus ada catatan, yaitu jangan
sampai kepentingan KPPU dimasuki kepentingan perusahaan atau golongan
tertentu. Kepentingan yang dianut KPPU harus merupakan kepentingan untuk
penciptaan persaingan yang sehat, penumbuhan iklim industri, dan perlindungan
bagi konsumen. Jika ada kepentingan tertentu, sistem persaingan usaha akan
kembali gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar