SUDAH empat kali
Aboubacarr Drammeh datang ke Jalsah Salanah di Britania Raya. Empat kali pula
penganut Ahmadiyah asal Gambia ini menghirup atmosfer yang berbeda. Bukan
hanya bertemu dengan pengikut Ahmadiyah dari pelbagai penjuru dunia, Drammeh
merasakan pengalaman spiritual yang unik setiap kali berkunjung ke sana.
“Setiap pulang dari Jalsah
Salanah, saya memetik pelajaran,” ujar ilmuwan biomedis yang bekerja di
Champlain, Minnesota, Amerika Serikat, ini kepada Tempo, Sabtu, 29 Juli lalu.
Pengetahuan baru itu,
antara lain, ia peroleh dari khalifah kelima Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor
Ahmad. Di Jalsah Salanah, Drammeh dapat mendengarkan langsung nasihat-nasihat
Masroor Ahmad. Pengalaman dari Jalsah Salanah, Drammeh menambahkan, memberi
pengetahuan yang dapat mengangkat akhlak dan spiritualitasnya.
Sama seperti sebelumnya,
pertemuan tahunan komunitas Ahmadiyah ini juga mengundang berbagai pembicara
dari berbagai negara. Ada anggota parlemen, akademikus, aktivis buruh, tokoh
agama, dokter, dan perwakilan komunitas adat. Topik yang dibicarakan beragam,
dari kebebasan beragama, kekerasan dan persekusi, hingga pentingnya kampanye
damai Ahmadiyah.
Daya pikat itulah yang
membawa Drammeh kembali ke Jalsah Salanah. Dari Amerika Serikat, pria 40
tahun ini terbang ke tanah kelahirannya, Gambia, sebelum memboyong ibunya ke
Inggris demi menghadiri Jalsah Salanah. Bersama ribuan anggota jemaah lain,
Drammeh bermalam di tenda pria. Sementara itu, ibunya menginap di tenda
perempuan.
Menyemut di lapangan
rumput yang basah, tenda-tenda itu bertebaran di sekujur Hadeeqatul Mahdi,
Oakland Farm, Alton—satu setengah jam perjalanan naik mobil dari London. Di
area seluas 87 hektare itulah Jalsah Salanah berlangsung pada 28-30 Juli
2023.
Hujan hampir tiap hari
mengguyur Hadeeqatul Mahdi. Dari siaran radio lokal saya mendengar: inilah
musim panas paling lembap dalam beberapa tahun terakhir. Di lokasi Jalsah
Salanah, tanah berlumpur melapisi jalanan di antara tenda-tenda, menghambat
laju kerumunan manusia. Tapi kendala itu tidak menyurutkan tekad mereka antre
menuju tenda utama.
Di dalam tenda utama,
pekik "Nara-e-takbeer…Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah…." terus
bergema. Setiap hari ada sesi pembacaan Al-Quran. Doa dan salawat memuja Nabi
Muhammad dilantunkan.
Panitia mencatat
setidaknya 41.654 orang memadati Jalsah Salanah di Britania Raya 2023. Mereka
berasal dari 118 negara. Menurut Mirza Masroor Ahmad, jumlah peserta Jalsah
Salanah tahun ini naik dari tahun sebelumnya, yang mencapai 39.829 orang.
Boleh jadi inilah pertemuan terbesar komunitas Ahmadiyah di seluruh dunia sejak
mereka memindahkan pusat operasional dari Pakistan ke Inggris pada 1984.
Pengikut Ahmadiyah pada
dasarnya punya Jalsah Salanah di negara masing-masing. Di Amerika Serikat,
Jalsah Salanah berlangsung beberapa pekan sebelum pertemuan di Britania Raya.
“Tapi Jalsah Salanah di Inggris adalah pusatnya. Induk dari semua Jalsah,”
kata Faheem Younus Qureshi, ahli penyakit menular dari University of
Maryland, Amerika Serikat.
Dibanding Jalsah Salanah
pertama, perhelatan di Hadeeqatul Mahdi telah menjadi pertemuan raksasa.
Jalsah Salanah pertama digelar pada 1891, tak lama setelah Mirza Ghulam Ahmad
mendirikan Ahmadiyah di Qadian, India. Pengikut yang hadir hanya 75 orang.
Jalsah Salanah terus berkembang dan menarik perhatian. Sebelum Ahmadiyah
memindahkan pusatnya ke Rabwah, Pakistan, pada 1947, Jalsah Salanah 1946 di
Qadian pernah dihadiri 40 ribu anggota jemaah.
Di Inggris, Jalsah Salanah
pertama berlangsung di Masjid Fazl, London, pada Agustus 1964. Menteri Negara
Inggris untuk Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa Lord Tariq Ahmad punya sepotong cerita. Dia mengungkapkan, ide
penyelenggaraan Jalsah Salanah muncul ketika ayahnya, Mansoor Ahmad BT,
bertemu dengan Bashir Ahmad Rafiq Khan, Imam Masjid Fazl. Keduanya teman lama
di India sebelum Mansoor Ahmad pindah ke Skotlandia. “Mereka berpikir, kenapa
tidak menyelenggarakan Jalsah Salanah di Inggris,” ucap Tariq Ahmad. Gayung
bersambut. Pertemuan digelar di halaman masjid.
Dalam Jalsah pertama itu
ada sebuah foto yang menunjukkan Bashir Ahmad Rafiq Khan duduk di sebelah
Abdul Aziz Deen, Amir Ahmadiyah Britania Raya. Di sebelahnya, Menteri Luar
Negeri Pakistan (1947-1954) Muhammad Zafrullah Khan menyampaikan pidato.
Sementara itu, Mansoor Ahmad berdiri di belakang mereka, bertugas menjaga
keamanan. “Pertemuan itu sungguh simbolis,” tutur Tariq Ahmad kepada Tempo.
Sejak saat itu, Jalsah
Salanah di Inggris makin ramai. Tempat pertemuan pun berpindah-pindah, dari
balai kota Wandsworth ke bundaran Robin Hood di Roehampton hingga ke aula
Tolworth. Rata-rata jumlah anggota jemaah yang hadir 2.500-3.000 orang.
Memanasnya situasi politik
di Pakistan mendorong khalifah keempat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Tahir Ahmad,
hijrah ke London pada April 1984. Ketika itu rezim militer Jenderal Muhammad
Zia-ul-Haq melarang jemaah Ahmadiyah beribadah. Amendemen kedua konstitusi
Pakistan menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. Pemerintah Pakistan juga melarang
penyelenggaraan Jalsah Salanah. Padahal pada tahun sebelumnya pertemuan akbar
di Rabwah dihadiri 250 ribu Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah. Sejak
saat itu, pusat Ahmadiyah berpindah ke Masjid Fazl.
•••
MASJID putih dengan kubah
hijau itu terletak di Gressenhall Road, Southfields, London. Didesain oleh
firma arsitek TH Mawsons and Sons, bangunan itu menggabungkan gaya Mughal
klasik dan kontemporer Inggris. Di salah satu sudut tembok terpahat tulisan:
“Masjid London dibangun pada 1924 oleh gerakan Islam Ahmadiyah”. Inilah
Masjid Fazl, masjid pertama di London dan masjid kedua di Britania Raya.
Hazrat Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad, khalifah kedua Ahmadiyah, meletakkan batu pertama pada 19
Oktober 1924. Pembelian lahan dan biaya pembangunan bersumber dari donasi
umat, terutama dari Lajnah Imaillah (perempuan hamba Allah), organisasi
perempuan Ahmadiyah. Biaya akuisisi tanah dan konstruksi saat itu 6.233 pound
sterling. Mampu menampung 150 anggota jemaah, masjid ini resmi dibuka pada 23
Oktober 1926.
Tidak hanya membangun
masjid, jemaah Ahmadiyah membeli properti di sepanjang Gressenhall Road dan
Melrose Road. “Beberapa rumah di jalan ini milik warga Ahmadiyah,” ucap
Kandali Ahmad Lubis, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sambil
menunjuk deretan rumah di depan Masjid Fazl. Jejeran rumah putih itu kini
menjadi guest house. Ada juga yang menjadi kantor sekaligus tempat tinggal.
Bangunan yang banyak
menyimpan sejarah adalah Melrose Road 61 dan 63. Mereka menyebutnya Rumah
Misi. Lokasinya persis di pertigaan antara Melrose Road dan Gressenhall Road.
Dalam catatan hariannya, Bashir Ahmad Rafiq Khan menulis: “Awal-awal tiba di
London pada 1959, saya tinggal di sebuah flat dua kamar. Letaknya di lantai
empat Melrose Road 61.” Setelah diangkat menjadi imam masjid pada 1964, Rafiq
Khan pindah ke Melrose Road 63.
Salah satu satu tetangga
jauh Rafiq Khan adalah Abdus Salam. Ia tinggal 2,4 kilometer dari Masjid
Fazl. Masih menurut catatan Rafiq Khan, Abdus Salam rajin menunaikan salat di
Masjid Fazl. Profesor fisika teoretis di Imperial College London ini juga
acap mengundang Rafiq Khan bersantap sarapan di rumahnya. Belakangan, Abdus
Salam dianugerahi Nobel Fisika pada 1974.
Empat tahun setelah Jalsah
Salanah digelar pada 1964, Melrose Road 61 dan 63 dibongkar. Bangunan ini
bersalin rupa menjadi Mahmood Hall, bersebelahan dengan Masjid Fazl. Di situ
ada aula, kantor, dan apartemen kecil di lantai atas.
Menurut Amir JAI Maulana
Mirajuddin Shahid, apartemen inilah yang kemudian ditempati Mirza Tahir Ahmad
setelah hijrah pada 1984. Sejak saat itu pula Masjid Fazl menjadi pusat
koordinasi Ahmadiyah internasional.
Sejak hijrah dari
Pakistan, komunitas Ahmadiyah di Inggris makin membesar. Setahun kemudian
mereka membeli lahan seluas 10,3 hektare di Tilford, Surrey, pada April 1985.
Saat itu nilainya 80 ribu pound sterling. Di lahan ini mereka membangun sebuah
kompleks bernama Islamabad. Untuk mempertahankan sabuk hijau kawasan Tilford,
Ahmadiyah hanya boleh memanfaatkan lahan seluas 4 hektare sebagai area
pembangunan.
Pada 26 Juli 2023, saya
berkeliling di dalam Islamabad. Salah satunya ke Masjid Mubarak. Masjid ini
punya satu kubah yang dikelilingi 32 sirip. Pada siang hari, cahaya matahari
menembus kaca yang menempel di setiap sirip. Dua menara setinggi 13 meter
menancap di kedua sisi. Setiap menara memiliki finial berlapis emas. Atap
kubahnya dirancang khusus oleh firma arsitek Sutton Griffin—salah satu firma
arsitek tertua di Inggris yang didirikan pada 1910.
Adalah Osman Chou yang
meletakkan batu pertama masjid itu pada 2016. Ia adalah cendekiawan Ahmadiyah
asal Cina. Mirajuddin menerangkan, Osman Chou banyak menerjemahkan ayat
Al-Quran ke bahasa Cina. Ia belajar dan mengenal Islam di Rabwah, Pakistan.
Pembangunan masjid rampung tiga tahun kemudian.
Sejak 2019, Mirza Masroor
Ahmad pindah ke sebuah rumah di samping Masjid Mubarak. Sejak saat itu pula
pusat koordinasi Ahmadiyah global bergeser ke Masjid Mubarak di Islamabad,
setelah 35 tahun bermarkas di Fazl. Sebelumnya, Mirza Masroor Ahmad tinggal
di kompleks Fazl. Ia menjadi khalifah kelima menggantikan Mirza Tahir Ahmad
yang wafat pada 2003.
Sebenarnya Ahmadiyah
pernah menyelenggarakan Jalsah Salanah di lapangan rumput Islamabad pada
1985-2004. Bagai cendawan di musim hujan, jumlah penganut Ahmadiyah terus
berkembang. Tak hanya di Inggris, tapi juga di negara-negara Eropa, Asia,
Afrika, dan Benua Amerika. Membeludaknya jumlah pengikut membuat mereka mesti
mencari lahan baru. Pada pertengahan 2005, Ahmadiyah mengakuisisi area
pertanian yang kemudian dinamai Hadeeqatul Mahdi, lokasi Jalsah Salanah
sampai hari ini.
•••
BERKEMBANGNYA komunitas
Ahmadiyah setelah hijrah dari Rabwah ke London membetot banyak perhatian.
Sejumlah peneliti berusaha mencari jawaban. Salah satunya Kepala Organisasi
Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional,
Ahmad Najib Burhani. Najib menuturkan, setidaknya ada tiga faktor yang
membuat makin banyak orang bergabung dengan Ahmadiyah.
Pertama, ikatan yang erat
antar-anggota Ahmadiyah. Ini ditunjukkan dengan sikap saling membantu dalam
pembangunan ekonomi. Faktor kedua adalah keyakinan spiritual dan mistik,
seperti keyakinan mesianik dan keterlibatan Tuhan dalam membantu Ahmadiyah
dalam urusan duniawi. Yang ketiga adalah etika dan moralitas pengikut
Ahmadiyah. “Terlihat dari perilaku para mubalignya, terutama ketika mereka
dihina oleh lawan-lawannya,” ujar Najib yang menulis disertasi mengenai
Ahmadiyah saat menempuh studi doktoral di University of California, Santa
Barbara, Amerika Serikat.
Untuk yang pertama,
komunitas Ahmadiyah punya konsep pengorbanan harta yang disebut candah, di
luar zakat dan fitrah. Besarnya bisa 1/16, 1/10, dan 1/3 dari penghasilan
rutin Ahmadi. Pengelolaan candah dimanfaatkan untuk pembangunan masjid serta
kegiatan kemanusiaan lain.
Dari pengorbanan harta ini
pula aset Ahmadiyah bertebaran di mana-mana. Tak hanya di sekitar London,
aset properti Ahmadiyah menyebar di seantero Britania Raya. Totalnya ada 49
aset berupa tanah dan bangunan.
Secara teologis, pengikut
Ahmadiyah juga merasa punya pengalaman yang sama seperti yang dialami Nabi
Muhammad, terutama menyangkut diskriminasi atau persekusi di masa-masa awal
kenabian. “Pengikut Ahmadiyah merasakan pengalaman serupa,” kata Najib.
“Untuk menegakkan kebenaran, mereka memiliki suka-duka seperti yang dialami
oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.”
Penjelasan Najib senada
dengan Faheem Younus Qureshi. Menurut Qureshi, persekusi telah membuat banyak
pengikut Ahmadiyah di Pakistan memilih bermigrasi dengan damai, seperti yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya ketika hijrah dari Mekah menuju
Madinah. Kala itu orang-orang Mekah berusaha menghabisi Muhammad. “Apa yang
terjadi setelah itu?” ucap Qureshi. “Islam makin menyebar.”
Di Inggris, mereka hidup
nyaris tanpa persekusi. Menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan, kata
Lord Tariq Ahmad, merupakan prioritas mendasar bagi pemerintah Inggris.
“Hukum ada di tangan warga negara untuk melindungi hak-hak mereka, terlepas
dari komunitas atau keyakinan yang mereka anut,” tuturnya.
Tanpa ada persekusi di
perantauan, Ahmadiyah lebih mudah mengirim para mubalig sebagai misionaris ke
berbagai sudut belahan dunia. “Misi ini menjadi salah satu kegiatan penting
di Ahmadiyah,” ujar Najib.
Untuk menyiapkan mubalig,
Ahmadiyah punya institusi pendidikan, namanya Jamia Ahmadiyah. Sekolah
mubalig ini tersebar di banyak negara, antara lain Inggris, Indonesia,
Jerman, Kanada, dan Tanzania. Ribuan mubalig lahir dari sekolah ini. Di
Inggris, Jamia Ahmadiyah berdiri pada 2005 di Colliers Wood, sebelum pindah
ke Haslemere, Surrey, pada 2012. Di Jamia, calon mubalig menempuh pendidikan
selama empat-tujuh tahun untuk menjadi misionaris.
Sebastijan Ernst, Ahmadi
asal Slovenia, mengaku mendalami Islam setelah bertemu dengan komunitas
Ahmadiyah di London pada sekitar 2019. Kemudian, seorang mubalig di Slovenia
mengirimkan sejumlah literatur. Beberapa buku bahkan sudah diterjemahkan ke
bahasa Slovenia. Rupanya mubalig ini alumnus Jamia Ahmadiyah Inggris. Dia
dikirim ke Slovenia untuk menyebarkan Islam Ahmadiyah di sana, sekaligus
membangun komunitas.
“Ia membimbing dan
menjawab setiap pertanyaan yang ada di kepala saya,” ujar Ernst. Makin banyak
Ernst memperoleh jawaban, makin dekat ia dengan Islam. Pada usia 24 tahun,
Ernst beralih menjadi muslim Ahmadiyah pada Desember 2022. Sebelumnya,
mahasiswa University of Primorska ini beragama Kristen.
Ahmadiyah bukan tanpa
kritik. Sejumlah kalangan menyoroti kebiasaan Ahmadi yang hanya menikah
dengan sesama Ahmadi serta tidak bersedia menjadi makmum bagi komunitas lain.
Menurut seorang anggota jemaah Ahmadiyah, persoalan persekusi dan fatwa yang
menyebutkan Ahmadiyah bukan Islam adalah alasan Ahmadi hanya menunaikan salat
di masjid mereka sendiri.
Kritik lain yang paling
krusial adalah persoalan kenabian: apakah Mirza Ghulam Ahmad adalah imam
mahdi dan Almasih yang dijanjikan? Anggapan bahwa Ghulam Ahmad sebagai nabi
setelah Muhammad, kata Najib, paling sering dijadikan alat menyerang
Ahmadiyah. Perihal kontroversi tersebut, Miradjuddin menjelaskan, Mirza
Ghulam Ahmad adalah pembantu dan bayangan Muhammad. Dari ceramah selama
Jalsah Salanah, lebih dari 90 persen referensinya adalah Al-Quran dan hadis
Nabi Muhammad.
Di hari terakhir Jalsah
Salanah 2023, jemaah di dalam tenda dan luar tenda bersama-sama mengucapkan
baiat internasional. Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu jemaah
Ahmadiyah. “Telepon seluler terbaik pun baterainya perlu diisi ulang. Pada
akhirnya jiwa kita perlu diisi ulang, tidak peduli seberapa baik diri kita,”
ujar Qureshi. Penyegaran spiritual inilah yang menjadi alasan sebagian besar
anggota jemaah Ahmadiyah datang ke Jalsah Salanah.
Di ujung pertemuan,
“Nara-e-takbeer...Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah….” kembali bergema di
Hadeeqatul Mahdi. ●
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169575/ahmadiyah-inggris
|