Pendidikan
Gaya Katak
Arifin Nugroho ; Guru SMA Kolese De Britto,
Yogyakarta
SUMBER : KORAN
TEMPO, 31 Mei 2012
Pendidik
dan mendidik bagaikan dua sisi mata uang, proses yang tidak dapat dipisahkan.
Situasi ini mengindikasikan bahwa seo rang pendidik berada dalam sebuah sistem
mendidik yang ia buat sendiri maupun dibuat oleh orang lain, yang lazim disebut
kurikulum pemerintah. Dari sini terlihat bahwa ada tiga matra utama dalam
pendidikan formal, yaitu peserta didik, guru, dan sistem pendidikan.
Dalam
situasi saat ini, hierarki ketiga komponen tersebut mengalami kegamangan
interaksi. Pemerintah pusat berada pada puncak tertinggi dalam sebuah hierarki
piramida pendidikan. Di bawahnya ada pemerintah daerah sampai tingkat satuan
pendidikan terendah, yaitu sekolah. Kemudian para peserta didik dengan jumlah
terbesar di alas piramida. Dengan situasi semacam ini, dinamika pendidikan
sering mengalami karut-marut kepentingan. Demi menjaga prestise kastanya, komunitas
di puncak tertinggi terlalu sering menginjak komunitas strata di bawahnya. Akibatnya,
siswa sebagai hierarki terbawah merupakan komunitas yang paling banyak
dikorbankan.
UN dan Sertifikasi
Dalam
sekumpulan populasi katak, manakala ada seekor katak yang akan menghirup udara
segar di daratan, ia tidak segan melompat dari air dengan cara menginjak katak
yang lain. Celakanya, gaya katak ini telah menjadi tradisi pendidikan yang
dianggap biasa dan wajar.
Kita
bisa melihat gaya katak sistem ujian nasional (UN) yang baru saja selesai
digelar. Lepas dari silang pendapat perlu tidaknya UN, aturan kelulusan telah
menjadi komoditas pencitraan belaka. Formulasi nilai kelulusan tahun ini adalah
(0,6 x UN)+(0,4 x nilai sekolah) = tidak kurang dari 4. Jika peserta didik
memiliki nilai sekolah (NS) = 9,0; ia hanya butuh nilai UN = 0,67; atau jika
mau aman dengan syarat rata-rata semua pelajaran UN = 5,5 maka cukup butuh
nilai UN = 3,2 (jawaban benar 13 dari 40 soal yang dikerjakan).
Dengan
formulasi ini, pencitraan menggunakan gaya katak pun dilakukan.
Pemerintah pusat akan “menginjak“ pemerintah daerah agar “kualitas pendidikan“di daerah bermutu tinggi. Jika “kualitas pendidikan“tidak sesuai dengan harapan, jelas hal itu akan menurunkan pencitraan politis jabatan. Pemerintah daerah pun akan melakukan hal yang sama terhadap lembaga di bawahnya. Bahkan ada pemerintah daerah yang secara tegas menginstruksikan agar NS yang disetor ke Dinas Pendidikan memiliki nilai lebih dari 5. Jika ada sekolah yang menyerahkan NS kurang dari 5, daftar nilai tersebut akan ditolak dan dikembalikan. Akibatnya, sekolah akan mengubah nilai sesungguhnya dan bahkan mengubah nilai rapor yang telah dibagikan di semester III, IV, dan V.
Pemerintah pusat akan “menginjak“ pemerintah daerah agar “kualitas pendidikan“di daerah bermutu tinggi. Jika “kualitas pendidikan“tidak sesuai dengan harapan, jelas hal itu akan menurunkan pencitraan politis jabatan. Pemerintah daerah pun akan melakukan hal yang sama terhadap lembaga di bawahnya. Bahkan ada pemerintah daerah yang secara tegas menginstruksikan agar NS yang disetor ke Dinas Pendidikan memiliki nilai lebih dari 5. Jika ada sekolah yang menyerahkan NS kurang dari 5, daftar nilai tersebut akan ditolak dan dikembalikan. Akibatnya, sekolah akan mengubah nilai sesungguhnya dan bahkan mengubah nilai rapor yang telah dibagikan di semester III, IV, dan V.
Selain
itu, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa di daerah-daerah tertentu, “main
mata“antarpemegang kebijakan telah banyak dilakukan demi kelulusan siswa 100
persen. Tujuan sebenarnya yang dilakukan bukan lagi demi prestasi siswa,
melainkan hanya untuk menyelamatkan jabatan semata karena bisa dianggap tidak
becus memajukan pendidikan. Lalu, inikah kualitas pendidikan yang dikehendaki?
Siapa yang menjadi korban? Tentu, peserta didik! Peserta didik tidak lagi
diberi teladan kejujuran.
Selain
UN, ada lagi gaya katak dalam pendidikan dan bahkan dilakukan oleh beberapa
pendidik. Jika UN ingin meningkatkan prestasi peserta didik, lain halnya dengan
sertifikasi yang ingin meningkatkan prestasi para guru. Aturan sertifikasi yang
serba berubah membuat para guru pontang-panting. Akibatnya, banyak guru
meninggalkan kelas demi mengurus sertifikasi. Banyak guru yang harus
bernegosiasi dengan kepala sekolah untuk memanipulasi jumlah jam tatap muka
sebagai salah satu syarat menerima finansial sertifikasi. Bahkan banyak guru
kasta senior “berperang“dengan guru kasta yunior yang merasa diinjak karena
direbut jatah jam mengajarnya.
Hasil
akhir yang didapat bukan lagi profesionalisme, melainkan sekadar perubahan gaya
hidup borjuasi belaka. Kompetensi guru yang tetap saja stagnan, bahkan merosot,
karena sibuk melengkapi berkas sertifikasi, mengakibatkan banyak peserta didik
telantar. Jika nilai para siswanya jeblok, guru tidak akan menyalahkan diri
sendiri, melainkan memberi stigma peserta didik yang bodoh. Lalu, sekali lagi,
siapa yang dikorbankan? Jawabannya tetap sama, peserta didik!
Belajar dari Jurnalis
Jika
kita melihat kerja jurnalis, guru bisa belajar darinya. Jurnalis tidak sekadar
memaparkan ilmu pengetahuan baru kepada pembaca. Namun, lebih dari itu, ia
mampu menajamkan dan bahkan mengarahkan sudut berpikir seseorang.
Kenaikan harga BBM yang secara kalkulasi matematis sangat wajar bisa menjadi tidak logis manakala ada pesan politis tersirat dan ranah humanistik yang diungkap para jurnalis.
Kenaikan harga BBM yang secara kalkulasi matematis sangat wajar bisa menjadi tidak logis manakala ada pesan politis tersirat dan ranah humanistik yang diungkap para jurnalis.
Sistem
jurnalistik yang dibangun media juga patut dicontoh dengan adanya kejujuran dan
manajemen yang cantik. Tercela, saat sajian media bersifat manipulatif demi
pencitraan semata dan sekadar untuk kepentingan politik tertentu. Seorang guru
seharusnya otentik dan jujur dalam melayani peserta didik. Sistem pendidikan
yang dibangun bukan untuk kepentingan kastanya, melainkan mutlak untuk melayani
peserta didik. Selain dibekali ilmu pengetahuan, peserta didik juga dibekali
cara merasakan dari sisi hati nurani dan keberpihakan kepada sesama.
Hierarki piramida pendidikan harus dibalik
180 derajat menjadi model pelayanan utuh (dux
servus est). Peserta didik dengan jumlah paling besar harus menjadi bos.
Guru, lembaga sekolah, dan pemerintah dengan jumlah lebih sedikit harus menjadi
pelayan yang memfasilitasi. Semoga... ●