JUDUL
di atas dipakai Kuntowijoyo untuk menggambarkan fenomena kebangkitan generasi
muslim perkotaan yang memiliki perhatian terhadap agamanya, tapi tidak sempat
mempelajari Islam secara utuh (kafah). Mereka belajar Islam tidak lewat jalur
konvensional, semisal, surau, madrasah, atau perguruan tinggi Islam. Namun,
melalui media sosial yang serbaselintas, tergesa-gesa, dan cenderung
reduktif, mendiskusikan tema-tema keagamaan bukan melalui kitab kuning dan
pengkajian memadai, tapi cukup lewat status seorang ‘tokoh’ yang kemudian saling
dikomentari satu dan lainnya.
Muslim
tanpa masjid tidak lagi menganggap penting hadirnya seorang guru, tapi siapa
pun yang dipandang cakap menjelaskan agama ala kadarnya ditunjang kemampuan
retorika dan merangkai kata, sudah bisa ditahbiskan sebagai ‘ulama’.
Kehebatan
guru tidak diletakkan pada keberkahan dan karamah yang memancar dari wajah
karismatiknya atau aktivisme sosialnya, tapi sejauh mana sosok itu memiliki
followers yang banyak. Seberapa hebat statusnya tampil menjadi viral disebar
ke banyak orang. Konsep jemaah digeser menjadi idola dan fan. Boleh jadi
tradisi ‘cium tangan’ murid terhadap gurunya diganti dengan memijit tanda
like dan kesediaan men-share ke banyak kawan.
Tidak
sampai di sana, ‘pengajian’ di dunia maya juga menghasilkan followers dengan
fanatisme yang garang karena dialog nyaris tertutup dan tidak ada kesempatan
melakukan pelacakan terhadap genealogi tradisi keagamaan (turats). Biasanya
cara pandang keagamaannya serbadikotomi, bipolar, hitam putih, dan penuh
pendakian. Siapa pun yang tidak sepaham pemikirannya dengan mudahnya dianggap
kafir, sesat, dan bidah.
Sesuai
dengan karakteristik media sosial, ‘pengajian’ itu dilakukan secara
meloncat-loncat, bahkan nyaris setiap peristiwa yang berlangsung dikomentari.
Termasuk, kejadian politik, sosial, ekonomi, resep makanan, bintang film
porno, sinetron terbaru, atau perilaku rujuk dan cerai seorang artis.
Layaknya
tema keagamaan, dalam domain politik, sosial, dan ekonomi pun tidak lagi
dibutuhkan keahlian. Apalagi, ditopang akurasi data dan kajian ilmiah, yang
terjadi lebih kepada gosip dan sisanya ialah hoaks lengkap dengan
foto-fotonya yang sudah diedit dan diimani sebagai kebenaran.
Itulah
fakta mengkhawatirkan semangat beragama tanpa diimbangi ilmu. Semacam Islam
ideologis minus epistemologi. Beragama yang riuh dengan pekik provokasi, tapi
miskin refleksi, gemuruh pengajiannya lebih kuat ketimbang ikhtiar
pengkajiannya. Beragama yang semakin menghasilkan militansi saling menghujat (hujatan) bukan
membangun argumentasi diskursif yang kuat (hujah).
Islam tanpa masjid
Kuntowijoyo
ketika menulis buku Muslim tanpa Masjid, belum dilengkapi data semarak
penggunaan media sosial seperti sekarang, akan menjadi menarik lagi kalau
potret hari ini yang diteropong. Mungkin bukan lagi muslim tanpa masjid, tapi
Islam tanpa masjid. Kalau muslim tanpa masjid bisa jadi dari dahulu dengan
intensitas berbeda sudah terjadi. Kelompok priayi dan abangan, dalam telaah
trikotomi Geertz, sering kali ditandai sebagai kelompok beragama yang tidak
ramah dengan rumah ibadat sebagai pembeda rumpun santri.
Tentu
dalam nomenklatur Islam tanpa masjid, tidak merujuk kepada makna punahnya
masjid. Tidak mustahil bangunan fisik masjid semakin banyak dan megah, tapi
spirit kemasjidan yang hilang. Bahkan, fungsinya sudah melenceng dari garis
roh kenabian. Hari ini kita menyaksikan, minimal terbaca melalui peristiwa
pemilihan Gubernur Jakarta dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada
pemilihan lainnya. Bagaimana masjid menjadi ajang mempropagandakan politik
identitas yang sempit, eksklusif, dan diskriminatif. Naifnya lagi mendapatkan
pembenaran dari konsultan politiknya.
Masjid
menjadi mimbar untuk memobilisasi massa guna menentukan garis politik yang
sesungguhnya bersifat jangka pendek dan transaksional. Bahkan, sengaja
demo-demo yang dilakukan mengambil momentum selepas salat Jumat saat jemaah
berkumpul menunaikan ibadah.
Kalau
muslim tanpa masjid mencerminkan kebangkitan generasi muslim yang mempelajari
ajaran agamanya serbatanggung, susulannya Islam tanpa masjid melambangkan
keislaman yang terlepas dari spirit gen masjid. Islam yang telah dibajak
untuk kepentingan politik.
Semacam
‘islamisme’ yang tak pernah lelah mengimajinasikan tatanan utopis politik
Islam tanpa jelas formulasi, strategi, dan wujud eksistensialnya, kecuali
sekadar semangat menghantam kelompok dan ideologi berbeda yang sejak awal
telah dipandang tagut dan sisanya ialah fantasi menerapkan dongengan kejayaan
khilafah masa silam.
Alih-alih
mengembangkan konsep kewargaan multikultural yang inklusif, bahkan yang
seagama karena berbeda mazhabnya juga dianggap umat munafik.
Dalam
telaah Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan orang-orang buangan
dari modernisme yang gagal, dengan penggalangannya berdasarkan mitos kembali
ke otentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah ada.
Sebuah
gerakan yang digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang khas dan
konkret, kecuali sekadar jargon untuk menerapkan ‘syariat’ tanpa penjelasan
utuh bagaimana syariat itu dioperasionalkan secara teknis-sosiologis dalam
birokrasi, industri perbankan, kepartaian, dan lain sebagainya.
Sebuah model politik yang menuntut ketakwaan para
anggotanya, tapi ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat mimpi bila
masyarakatnya benar-benar islami. Sementara itu, persoalan laten kemiskinan,
sistem ekonomi, krisis nilai, kemerosotan mutu pendidikan tidak pernah
tersentuh dan tentu hal ini semakin memperjelas ilusi ‘negara islam’
tersebut.
Ijtmak ulama dan post-islamisme
Baik
muslim tanpa masjid maupun Islam tanpa masjid, sebenarnya semakin membenarkan
isyarat kebenaran yang dengan menarik ditulis sastrawan AA Navis dalam
Robohnya Surau Kami. Tentang orang beragama yang lebih mendahulukan aspek
kesalehan individual ketimbang kebajikan sosial. Lebih memprioritaskan
moralitas personal daripada struktural, ihwal ‘abu Islam’ yang mengalahkan
‘apinya’. Beragama yang didominasi ajaran bayangan metafisika surga-neraka,
tapi defisit imajinasi cara mengelola negara yang akuntabel dan bertanggung
jawab.
Mengembalikan
Islam, muslim, dan masjid kepada khitahnya inilah yang selekasnya harus
dilakukan sebelum terlalu jauh terombang-ambing badai politik yang tidak
jelas. Sebelum konsep ‘umat’ tergerus masa mengambang followers lewat
‘ijtimak ulama’ ke-1 dan ke-2 yang tak
karuan. Ijtimak yang isinya tak lebih hanya pelintiran ayat-ayat Tuhan dan
hadis Nabi untuk mendukung capresnya.
Langkah
awal tentu saja belajar agama secara tenang. Tidak cukup hafiz Alquran, tapi
juga harus ada penguasaan memadai ilmu-ilmu lainnya. Ulama-ulama pesantren
yang tersebar di berbagai pelosok yang mengajar dengan ikhlas harus banyak
dijadikan guru untuk menyerap keberkahan agar bisa belajar ‘pintar merasa’ bukan ‘merasa
pintar’.
Gerak
seperti ini yang disebut Asef Bayat (2011) sebagai upaya menghidupkan spirit
post-islamisme, sebuah upaya sadar membangun konsep rasionalitas dan
moralitas secara strategis untuk membatasi gerakan islamisme di area sosial,
politik, dan intelektual.
Post-islamisme
mewakili upaya meleburkan keagamaan dan hak, iman dan pembebasan. Menegaskan
kesejarahan kitab suci, menjunjung pluralitas dari dera suara otoritatif
tunggal. Kebebasan individu, pengakuan akan yang sekuler, pembebasan dari
rigiditas dan penghapusan monopoli kebenaran, penyatuan agama dan tanggung
jawab.
Baik
muslim maupun Islam tanpa masjid, kedua-duanya kurang bagus bagi masa depan
agama itu sendiri atau hubungannya Islam dengan umat lain. Kurang sehat juga
bagi pertumbuhan tubuh ke-Indonesiaan yang multikultural. ●
|