Ke Jakarta Aku Kan Kembali
Mohamad Sobary ;
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 28 Juli 2015
Akhirnya para pemudik itu di kampung
halaman masing-masing juga sudah capek. Mereka telah mengurus segenap urusan
penting yang mereka rencanakan sejak masih di Jakarta.
Boleh jadi juga di kota- kota
besar lain di mana mereka merantau. Sesudah segenap urusan itu selesai, lalu
apa? Rasanya tak ada lagi yang harus mereka kerjakan. Di Jakarta sekali lagi
atau di kota besar lainnya pekerjaan sudah menanti.
Mereka sudah dinantikan oleh
sebuah rutinitas. Untuk sekadar dibayangkan saja rutinitas itu sudah mencekam
dan menimbulkan kejenuhan. Kecuali bagi mereka yang sungguh kreatif dan
pandai melawan segenap kejenuhan itu dengan kapasitas pribadi yang tak bisa
dipahami orang lain.
Jangan salah, di antara para
pemudik tadi boleh jadi ada yang bukan kembali ke rutinitas kerja, melainkan
kembali ke suasana tidak bekerja. Dengan begitu, bagi mereka kembali ke
Jakarta juga ke kota-kota lain bukan kembali pada pekerjaan, melainkan
kembali mencari pekerjaan.
Semangat mereka tak pernah patah.
Kali ini mereka bicara tentang ”kemungkinan” yang kaya, yang tak bisa dijajaki
dengan perhitungan rasional kita. Juga tentang ”nasib baik” yang tak pernah
teraba sehingga kalkulasi hidup didasarkan pada sikap yang seolah menyerah
seperti setengah menyerah: ”siapa tahu”.
Memang. Kata ”siapa tahu” itu
gambaran lautan kehidupan yang dalamnya bahkan tak bisa sekadar dibandingkan
dengan palung Mariana di dekat Filipina yang dianggap laut yang paling dalam
di dunia.
Mereka yang sudah sampai ada
perhitungan ”siapa tahu” seperti ini tak mungkin patah. Semangat hidupnya
akan tetap tegak. Dia tak terkalahkan. Bagi mereka kelihatannya hidup bukan
untuk dikalkulasi secara cermat dan dalam, dengan rumus-rumus yang mungkin
bisa ditemukannya.
Bagi mereka hidup untuk dijalani.
Selesai. Ada yang bilang untuk ”dinikmati”. Belum tentu. Mampukahkita
menikmati nasib yang sama sekali tidak nikmat? Bisakah kita menjalani dengan
sikap ”nrimo” apa yang sungguh tidak enak. Lebih khusus bisakah kita
”menikmati” apa yang sama sekali tidak nikmat? Anggapan bahwa hidup, apa pun
wujudnya, kita nikmati agaknya akan terasa berlebihan.
Hidup bukan tak selalu untuk dinikmati,
tapi sudah pasti untuk dijalani. Menghadapi suatu keadaan tertentu mungkin
kita pun tak bisa menerimanya dengan baik. Jadi, hidup yang sering tidak
nikmat itu yang selalu kita jalani. Hidup yang tak selamanya bisa kita terima
itulah yang kita jalani.
Mungkin ada rasa frustrasi yang
kita sembunyikan dari mata orang lain. Mungkin ada yang kita hadapi dengan sikap
tidak bisa tidak diterima. Tapi, apa boleh buat. Hidup harus berlangsung.
Boleh jadi kita tertekan. Boleh jadi hidup ini membuat kita menderita. Bahkan
di rantau, di ”rumah” yang kita huni berpuluh- puluh tahun tetap tak terasa
adanya jaminan masa depan. Itu yang sudah lewat. Di masa depan? Kita, sekali
lagi, bicara tentang ”siapa tahu” tadi.
”Siapa tahu” itu terasa seperti
sikap skeptis. Tapi, salahkah bisa kita menganggapnya sebuah optimisme?
Mungkin optimisme itu sendiri tak harus punya landasan. Kalau segala hal ada
alasannya dan rasionalitas kita bisa mengalkulasinya dengan baik, itu perkara
biasa.
Ibaratnya, kalau kita bicara bahwa
esok pagi matahari pasti terbit, kita tak bisa menyebutnya optimisme karena
itu sudah terlalu pasti. Sekadar contoh, sikap optimistis itu dimiliki
seorang pemudik yang dalam kelelahannya menghadapi kemacetan dan rasa lapar,
tapi wajahnya tetap ceria.
Di dalam hatinya lirik-lirik lagu
Koes Ploes itu bergema. Lalu keluarlah dari lisannya yang fasih berucap.
Terampil pula diamdiam ”menertawakan” nasibnya sendiri tanpa luka di hati.
Di sana rumahku Dalam kabut biru
Hatiku sedih Di hari minggu Di sana kasihku Berdiri menunggu Di batas waktu
Yang telah tertentu Kemudian inilah tekadnya yang paling menggetarkan jiwa,
yang paling penuh optimisme: ‘Ke jakarta aku kan kembali Walaupunapayang
kanterjadi’ Kita membayangkan seleret cahaya kegetiran yang sejenak melintas
di wajahnya.
Tapi, hanya sejenak. Sejenak
kemudian kegetiran itu telah ditelannya dengan segenap optimisme tadi.
Segenap kegetiran dikunyah-kunyah habis sampai tuntas, menjadi sesuatu yang
lebih punya nuansa sedikit ”manis” dan ”bersahabat”. Segenap kecemasan
diganyang mentah-mentah menjadi sesuatu yang punya makna sedikit ”harapan”.
Tiap jenis ketakutan dihantam
tanpa ampun menjadi sesuatu yang tak harus menakutkan. Kata ”takut” tak
pernah ada lagi di dalam kamus hidupnya. Dia menjadi sang penakluk. Segala
rintangan ditaklukkannya. Pemudik seperti inilah petarung sejati. Kalau kita
bicara tentang mereka yang sudah sukses dan mapan hidupnya, kita jenuh karena
orang sukses punya banyak rumus dan dalil kehidupan yang begitu tegas dan
baku. Apa yang baku kelihatannya membosankan. Lagipula dalil suksesnya tak
berlaku bagi orang lain. Bagi pemudik optimistis, yang akan kembali ke
Jakarta, apa pun yang akan terjadi, dalil sukses tadi tak bisa di-copy paste. Dalil itu tak berarti
baginya.
Bagi dia, hidup tak ada dalilnya.
Hidup itu sebuah percobaan yang harus dilalui dalam gelap. Tak pernah ada
kepastian. Tak pernah ada jaminan. Dalil sukses akan datang kelak, sesudah
dia ”mengalami” segenap pahit getirnya perjuangan hidup ini. Dia baru akan
bisa bicara tentang hidup sesudah dia pernah ”hidup” dalam makna sejatinya.
Di bumi ini dia merasa tidak ada
tempat baginya. Di kampung halamannya sendiri bahkan sebenarnya tidak ada
pula tempat yang menggembirakan. Tapi, dia tak berkecil hati. Dia merasa
punya tempat di Jakarta.
Maka, berdendanglah dia: ”Ke
Jakarta aku ‘kan kembali.” Tak peduli akan apa yang terjadi. Pokoknya, ‘ke
Jakarta, dan bukan ke kota lain, aku ‘kan kembali’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar