Psikopat
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 12 Juli 2015
Baru-baru ini, masih di bulan Juni
2015 ini, diberitakan tentang tewasnya seorang bocah cantik berumur 8 tahun
bernama Engeline di rumah sendiri di Denpasar, Bali.
Engeline konon meninggal di tangan
AT, pegawai mama angkatnya. Konon si pegawai itu, selain membunuh, juga
melecehkan Engeline secara seksual dan menguburkan jenazah Engeline di
halaman belakang rumah, dekat kandang ayam. Yang menarik dari kasus ini
adalah bahwa polisi baru bisa menemukan jenazah Engeline sekitar tiga minggu
setelah Engeline dilaporkan hilang oleh mama angkat sendiri yang bernama M.
Kasus ini kemudian berkembang di
media sosial dan naik ke media massa (TV) sehingga menarik perhatian dua
menteri (Yohana Susana Yembise, Menteri Pemberdayaan perempuan dan
Perlindungan Anak serta Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara) dan kedua menteri itu pun berkunjung ke TKP (tempat kejadian perkara,
yaitu rumah korban) sebelum makam korban ditemukan. Anehnya M tidak menerima
kedua menteri itu dengan baik.
Demikian pula ketika Ketua Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menemui mama M,
ia pun pernah menerima kata-kata kasar. Karena kasar, marah-marah, curiga,
mengusir tamunya, dan tertutup, maka mama M yang kemudian dijadikan tersangka
juga (karena diduga bersekongkol dengan AT untuk membunuh korban)
disebut-sebut sebagai penderita psikopat.
Wah, apa itu psikopat? Banyak
disebut, tetapi tidak banyak yang tahu artinya. Yang diketahui umum pokoknya
psikopat itu berbahaya. Kalau psikopat itu bersembunyi di suatu tempat sunyi
dan kita kebetulan melewati tempat itu sendirian, tahu-tahu kita bisa
diserang atau diperkosa. Psikopat sering kali diasosiasikan dengan kekerasan,
seks, dan sadisme.
Yang lebih mengerikan lagi, ada
anggapan bahwa psikopat adalah penyakit kejiwaan dan jika seorang didiagnosis
psikopat, otomatis dia tergolong sakit dan orang sakit tempatnya bukan di
penjara, melainkan di rumah sakit agar sembuh. Kalau sudah dinyatakan sembuh
si psikopat ini akan berkeliaran di tempat-tempat umum dan tiba-tiba sudah makan
korban lagi... hiiiiii .
Tapi keadaan yang sebenarnya tidak
seperti itu. Dalam menegakkan diagnosis, dokter spesialis jiwa (psikiater)
dan psikolog spesialis gangguan jiwa (psikolog klinis) biasanya mengacu pada
buku panduan gangguan mental yang diterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika
(APA) berjudul ”DSM IVTR 1974” (Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder, edisi IV, 1974).
Versi terbaru, yaitu DSM V 2013,
sudah digunakan para psikiater di AS, tetapi belum oleh kalangan psikolog di
sana (Asosiasi Psikologi Amerika, disingkat APA juga) karena masih ada
perdebatan tentang kesahihan diagnostik antarkedua organisasi profesi itu.
Psikolog klinis Indonesia pada umumnya masih mengacu ke versi 1974 karena
belum familier dengan yang versi 2013 (banyak perubahan prinsipil).
Terlepas dari kontroversi tentang
DSM itu, yang pertama mesti diklarifikasi adalah bahwa sejak 1974 (DSM IV)
sampai hari ini (DSM V), status psikopat sudah berubah. Dalam DSM I-III
namanya memang masih psikopat yang artinya adalah sakit (pathology) jiwa (psyche).
Tapi sejak DSM IV dan masih
digunakan dalam DSM V, atas usul seorang psikiater Amerika bernama Hervey
Cleckley, namanya sudah berubah menjadi kepribadian antisosial (antisocial
personality disorder/ ASPD). Alasannya adalah bahwa belum ada satu penelitian
pun yang membuktikan bahwa psikopat adalah penyakit dan sampai hari ini untuk
psikopat belum ada obatnya.
Lain halnya dengan skizofrenia,
suatu gangguan kejiwaan lain yang makin jelas faktor-faktor penyebabnya dan
sudah ditemukan obatnya, bahkan dengan obat-obatan seorang penderita
skizofrenia bisa berprestasi luar biasa (contoh yang amat masyhur sehingga kisahnya
diabadikan dalam film Beautiful Mind adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi
1994 John Nash, penderita skizofrenia yang berhasil sembuh berkat dukungan
istrinya).
Karena itu penderita skizofrenia
dibebaskan dari hukuman kalau melanggar pidana, sedangkan penyandang ASPD
tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Yang juga perlu
diluruskan adalah gambaran perilaku psikopat yang seakan-akan hanya terkait
dengan kekejaman dan seks.
Seorang psikiater Kanada bernama
Robert Hare, pada 1993 pernah melaporkan 20 ciri ASPD (Hare masih lebih
senang menyebutnya psikopat) sebagai berikut: (1) meyakinkan dan menarik yang
dibuat-buat, (2) menghargai diri berlebihan (lebay), (3) selalu butuh
stimulasi, cepat bosan, (4) gaya hidup patologis, (5) manipulatif dan jahat,
(6) tidak merasa menyesal/ bersalah, (7) perasaan dangkal, (8) tak
berperasaan dan tak berempati,
(9) gaya hidup parasit, (10) sulit
kendalikan perilaku sendiri, (11) perilaku seks serbaboleh, (12) mengalami
masalah perilaku sejak dini, (13) tidak punya tujuan jangka panjang yang
realistis, (14) impulsif, (15) tak bertanggung jawab, (16) tidak bisa
mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, (17) berkali-kali perkawinan jangka
pendek, (18) kenakalan anak, (19) pembatalan situasi yang melegakan, dan (20)
mudah terlibat berbagai kriminalitas.
Laporan ini, yang dikukuhkan oleh
peneliti Amerika, Skeem dkk (2011), menyatakan bahwa cukup lima ciri saja
terpenuhi dari daftar yang 20 itu sudah cukup mengindikasikan adanya gangguan
kepribadian ASPD atau psikopat.
Jadi seseorang yang sering
meminjam duit tetangga tanpa menghiraukan perasaan tetangga yang dipinjami
itu, tanpa merasa bersalah, tidak bisa mempertimbangkan perilakunya sendiri,
dan melanggar hukum bisa diduga ASPD atau psikopat, sama halnya dengan
pembunuh berdarah tinggi atau penjahat seks yang masuk dalam DPO kepolisian.
Mereka sama-sama ASPD, hanya beda
kadar saja. Sebaliknya M, mama angkat Engeline, belum bisa dikategorikan
psikopat, justru karena dia sering marah-marah, curiga, menolak menteri, dan
mengusir tamu pulang.
Reaksireaksi seperti itu hanyalah
reaksi panik dari seseorang yang merasa bersalah, tetapi ingin menutupi
kesalahannya sehingga membuatnya berperilaku marah- marah dan curiga dan
sebagainya agar ia bisa cepat terhindar atau menyingkir dari situasi yang
tidak disukainya itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar