Keluarga,
Fondasi Membangun Pluralisme
Yulianti
Muthmainah ; Aktivis Perempuan;
Sekretaris LPPA Aisyiyah DKI Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2012
PLURALISME
bukanlah sesuatu yang mengerikan. Ia justru lentera bagi kehidupan. Mewariskan
asimilasi tidak menghasilkan kebahagiaan. Itu justru menumbuhkan benih-benih
permusuhan dan kebencian. Nilai-nilai seperti kejujuran, pluralisme, toleransi
harus dibangun sedari awal.
Setiap
29 Juni kita akan memperingati Hari Keluarga. Keluarga merupakan miniatur
terkecil dari sebuah negara. Di lingkungan keluarga, setiap individu
mendapatkan pendidikan untuk kali pertama. Kesadaran Indonesia akan pentingnya
peranan sebuah keluarga mengilhami lahirnya Hari Keluarga.
Awalnya
itu ditujukan sebagai pucuk kristalisasi perluasan program keluarga berencana
(KB) pada 29 Juni 1993; terlepas dari pro dan kontra program KB yang
berorientasi pada pembangunan, tetapi berakibat pada pelanggaran hak-hak
kesehatan reproduksi perempuan semasa periode 19701990-an. Hingga kini,
peringatan tetap dilakukan dengan beragam acara, antara lain donor darah,
sunatan massal, bazar murah, dan perlombaan. Pertanyaannya, apakah dengan
peringatan tersebut kita telah memberikan aspek terpenting yang dibutuhkan
anggota keluarga?
Enam
bulan lalu di akhir tahun pada sebuah perayaan ulang tahun di sebuah restoran
siap saji, saya melihat kejadian tak terlupakan. Tiba-tiba seorang gadis kecil
keluar dari kerumunan anak-anak seusianya, menghampiri ibunya, dan berkata,
“Mama, cuma Dinda yang enggak dikasih rotinya. Kata Titin orang Islam enggak
boleh makan, haram.“
Dengan
lincah tanpa henti, ia lalu meluncurkan pertanyaan tentang apa itu haram, roti
apa yang dimaksud Titin, mengapa hanya ia yang tak boleh makan, dan terus
mengapa. Sang ibu tampak cukup kewalahan menjawab pertanyaan gadis kecilnya.
Baru-baru
ini, bidadariku angkat bicara soal `anak saleh itu anak yang tiap sore rajin
mengaji' ketika arisan antarteman. Rangga, temannya, menjawab, “Emang kalau
enggak mengaji gimana?“ Malaikatku menjawab, “Kata pak guru, dosa. Ntar enggak
disayang Allah, lo.“ Seketika lututku terasa lemas.
Kedua
kejadian itu merefleksikan bagaimana membangun fondasi kukuh tentang nilainilai
pluralisme. Seketika saya merasa ada banyak pekerjaan rumah dalam sistem
pendidikan kita yang bisa jadi gagal menanamkan makna agama yang sesungguhnya.
Apakah orangtua juga berkontribusi soal itu? Apakah karena interaksinya dengan
sang guru terlalu rutin ketimbang orangtua yang keluar rumah hampir 15 jam
sehari? Memang tak mudah bicara pluralisme kepada anak. Belajar menulis dan
membaca saja ia lebih percaya bagaimana gurunya mengajari daripada cara yang
orangtua ajarkan.
Harus
diakui, pendidikan dasar kita menganut sistem pendidikan yang seragam,
menciptakan asimilasi, dan persaingan. Mau bukti? Bagikan satu kertas dan
pensil warna. Minta anak-anak dari beragam sekolah untuk menggambar
pemandangan, maka pasti akan dua gunung, matahari, laut dan perahunya, rumah
penduduk, serta sawah. Demikian pula membuat pesawat terbang. Hasilnya pun
sama. Anak tidak diajarkan berpikir kritis dan memahami apa yang mereka
bayangkan tentang pemandangan dan pesawat.
Selain
itu, persaingan pun diciptakan dengan cara rangking dan juara umum misalnya.
Anak yang tak mendapatkan rangking akan tersisih secara sosial di sekolahnya. Peserta
didik juga cenderung diajarkan untuk menghindari konflik. Konflik ditanamkan
sebagai sesuatu yang harus dihindari karena akan merusak situasi harmonis yang
diidamidamkan. Akibatnya ketika dewasa menghadapi perbedaan, kita mengalami
kegagapan bahkan ketika berhadapan dengan konflik dan tidak mampu mengelolanya
dengan baik. Demikian pula halnya dengan pluralisme.
Banyak
dari kita menganggap pluralisme sebagai produk barat, tidak islami, dan
mengingkari ketentuan agama. Pluralisme bukanlah sinkretisme. Pada intinya,
pluralisme ialah pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan terhadap
orang lain, dan membuka diri terhadap warna-warni keyakinan. Dalam konteks
keagamaan, pluralisme kita letakkan sebagai sikap yang menghargai keyakinan
keagamaan orang lain sebagai bagian hak asasi dan inheren dalam diri manusia.
Islam,
tidak Islam, haram, mengaji, dan dosa kadang kala disampaikan tanpa ada
informasi yang jelas dan detail tentang bagaimana kata-kata itu tepatnya
digunakan. Pada gilirannya, ia menciptakan dikotomi dalam kelompok masyarakat,
bahkan dimulai sejak anak-anak. Alhasil, bila ada perbedaan pendapat dan
pemahaman, kita tidak mendialogkan hal tersebut, tetapi malah melakukan upaya
kekerasan. Kasus yang menimpa kelompok Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan HKBP Filadelfia
merupakan contoh bagaimana pluralisme absen dari ketiganya.
KH
Husein Muhammad dalam Mengaji Pluralisme
kepada Mahaguru Pencerahan mengajak kita memikirkan makna pluralisme.
Baginya, ulama sarjana muslim seperti Imam Abu Hamid al-Gazali, Ibn Rusyd
al-Hafid, Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi, Husein Manshur al-Hallaj, dan Imam
al-Hallaj, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi telah menggabungkan teologi (kalam),
hukum (fikih), dan mistisisme (tasawuf ) untuk menggali subtansi tafsir. KH
Husein selanjutnya menggarisbawahi bahwa tafsir Alquran sejatinya berbunyi pada
kesalehan sosial yang menolak tindakan kekerasan bila terjadi perbedaan
pendapat (QS al-`Ankabut: 46) dan
menghormati sepenuhnya para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad (QS Ali-Imran: 64 dan QS al-Shaffat: 181-182).
Dengan begitu, Islam sesungguhnya berada di garis tentang bagaimana berelasi
pada ajaran agama sebelumnya.
Pada
poin tersebut saya sepakat bahwa sekolah (madrasah) pertama tidak hanya ibu
(ummun), tetapi juga keluarga. Pendidikan keluarga menjadi fondasi kukuh bagi
sang anak. Pada peringatan Hari Keluarga tahun ini, ada baiknya kita
merenungkan pesan Ilahi bahwa pluralisme merupakan keniscayaan dan
kehendak-Nya. Sebagaimana firman-Nya, `Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada
Allah-lah kamu semua kembali. Lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu' (QS al-Maidah: 48).
Untuk itu, melalui keluarga, fondasi pluralisme hendaknya dibangun dan
dikukuhkan. ●