Senin, 03 Juli 2006

Pelangi Dalam Bencana


Tulisan Riswandha Imawan di harian ini “Itu Pun Saya Pikirkan” (Kompas, 2 Juni 2006) sungguh luar biasa.  Lihatlah beberapa cuplikan dari tulisannya tentang musibah gempa di Yogya dan sekitarnya.  “..koordinasi penanganan korban..kacau balau…Kehadiran banyak pejabat negara seolah hanya rombongan manusia yang memberi hiburan, bukan solusi terhadap penderitaan warga…Warga Yogyakarta..disuguhi politik "Tebar Pesona" dengan janji-janji ala kampanye..keputusan pemerintah menyediakan jatah hidup 60 kg beras dan uang tunai Rp 1 juta per bulan untuk tiap kepala keluarga korban bencana…berbaur dengan korban sambil berdendang..hanya mengingatkan rakyat pada legenda Kaisar Nero yang memainkan biola sambil melihat Roma dibakar…mengapa Presiden berkantor di Yogyakarta?..Manfaatnya..dipertanyakan..Kecuali menjaga citra popularitas pribadi juga untuk kepentingan menjaga kekuasaan politik”.

Nampak jelas sekali isi tulisan Riswandha tersebut memperlihatkan kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah, terutama kepada Presiden SBY. Kekecewaan yang luar biasa tersebut menyiratkan keyakinannya bahwa semestinya penderitaan warga Yogya dapat jauh lebih diringankan apabila Presiden memahami dan melakukan sejumlah langkah tanggap darurat sebagaimana yang seharusnya dilakukan dalam menangani bencana.

Namun sayang sekali kekecewaan tersebut juga dinyatakan dalam suatu ungkapan politis, yang memandang semua bantuan dan perhatian yang diberikan oleh Presiden dan Pemerintah hanyalah untuk tujuan politis (baca: citra dan kekuasaan) dan bukan untuk tujuan kemanusiaan. Barangkali cara pandang politis inilah yang menyebabkan kekecewaan Riswandha juga diungkapkan dalam gaya teatrikal Romawi, dan pandangannya secara keseluruhan pada pelaksanaan penanganan bencana gempa di Yogya bernada sangat pesimistis.   

Perbedaan Gaya dan Cara Pandang

Yang menarik adalah kita juga mencatat adanya pendapat dengan nada dan gaya yang berbeda dari Riswandha, sebagaimana telah dikemukakan oleh Baskara T Wardaya dalam “Solidaritas di Tengah Bencana” (Kompas, 29 Mei 2006).  Di tengah bencana gempa yang terjadi di Yogya, Baskara menyaksikan betapa besar solidaritas dari berbagai pihak dalam menangani korban gempa, tanpa melihat pandangan politik dan agama yang dianut oleh warga yang mengalami bencana.  Bahkan ia juga memuji Presiden SBY yang pada hari terjadinya gempa bersedia datang menjenguk para korban dan rela tidur di tenda seperti mereka.       

Keseriusan pemerintah dalam upaya mengatasi bencana gempa di Yogya juga dikemukakan oleh St Sunardi (“Dari Mana Bangkit?”, Kompas 3 Juni 2006), “Kalau melihat derasnya bantuan, ketersediaan manusia, dan banyaknya lembaga, serta keseriusan pemerintah, penderitaan masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya bisa akan lekas teratasi”.  Selain itu, ia juga menambahkan bahwa “lambatnya bantuan ke tangan korban bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga lembaga-lembaga yang sudah sanggup menjadi penyalur bantuan”.

Tentu saja bukan hanya Riswandha yang kecewa terhadap negara.  Afnan Malay, aktivis mahasiswa tahun 1980-an, bahkan tidak habis pikir mengapa bantuan pemerintah tak kunjung datang, padahal Bantul dan Klaten hanya “beberapa senti” saja dari pusat kekuasaan yang sudah pindah di Gedung Agung, dan menurutnya “medannya tanpa rintangan sama sekali, tidak ada yang terisolasi” (Kompas 4 Juni 2006).  Kenyataan yang pahit tersebut membuat Afnan cemas hal tersebut akan berujung pada robohnya Rumah Kita (baca: Republik Indonesia).

Kalau Afnan Malay tidak habis pikir mengapa bantuan pemerintah lamban, Imam Prasodjo yang dikenal sebagai sosiolog merasa yakin bahwa masalah utama pemerintah adalah karena penanganan bencana yang diatur dalam Perpres No.83/2005 tidak diserahkan kepada mereka yang ahli di bidangnya seperti Tim SAR atau anggota TNI yang sudah berpengalaman dalam penanganan bencana (Kompas 4 Juni 2006).

Modal Sosial dan Bantuan yang Tidak Merata

Imam Prasodjo benar bahwa penanganan bencana harus diserahkan kepada ahlinya.  Untuk penanganan bencana tersebut diperlukan beberapa kelompok tim ahli dan petugas lapangan, antara lain untuk melakukan pendataan korban dan lokasi bencana, mengevakuasi korban tewas atau luka, mendistribusikan bantuan makanan dan obat-obatan, merawat korban yang luka berat dan luka ringan, dan melaksanakan pembangunan kembali infrastruktur publik dan  rumah-rumah penduduk yang tertimpa bencana. Sarana dan peralatan yang memadai dan kerjasama antar tim ahli dan petugas di lapangan sangat diperlukan, khususnya pada saat pelaksanaan operasi tanggap darurat. Selain itu, semangat solidaritas masyarakat yang notabene sebagian besar tidak memiliki keahlian khusus juga telah terbukti merupakan modal sosial yang tak ternilai dan dapat kita banggakan dalam menangani berbagai peristiwa bencana yang terjadi di negeri ini.

Pengalaman peristiwa tsunami di Aceh dan gempa di Yogya telah memperlihatkan kepada kita bahwa masa tanggap darurat adalah masa yang sangat kritis, lebih banyak diperlukan respon bantuan yang spontan, dan rawan terhadap konflik kepentingan. Masalah bantuan yang tak kunjung tiba sudah merupakan hal biasa yang terjadi di hampir setiap peristiwa bencana alam yang sangat besar.

Hal lain yang perlu dicatat bahwa solidaritas masyarakat di sekitar lokasi bencana yang sangat besar dan bantuan yang mengalir deras dari berbagai pihak belum tentu dapat menjamin terlaksananya distribusi bantuan ke seluruh titik lokasi korban dalam waktu yang relatif singkat.  Situasi panik dan kondisi yang serba darurat seringkali memaksa kita untuk mengabaikan kenyataan bahwa target korban atau lokasi korban yang kita beri bantuan sebenarnya telah menerima bantuan dari pihak lain.  Akibatnya, seringkali kita dengar  korban di sejumlah lokasi telah menerima bantuan yang berlimpah.  Sementara itu, pada saat yang sama kita juga menemukan sejumlah korban di lokasi lain yang hanya menerima bantuan yang sangat minim atau bahkan mungkin belum menerimanya sama sekali.
Peran Media

Satu hal yang perlu kita ingatkan di sini adalah belum dilibatkannya secara penuh peran media cetak dan elektronik dalam membantu penyampaian informasi kepada masyarakat dan para relawan yang sedang melaksanakan tugas di lapangan.  Dalam hal ini kerjasama antara media cetak dan elektronik dengan pemerintah dan semua posko-posko bantuan dari berbagai kelompok masyarakat sebenarnya dapat dirintis dan dimanfaatkan agar informasi yang akurat dapat diterima oleh masyarakat. Pendistribusian media cetak khusus informasi tentang bencana secara gratis kepada masyarakat dan para relawan di sekitar lokasi bencana akan membantu kelancaran proses penanganan bencana secara keseluruhan.

Melihat penanganan bencana gempa di Yogya dan berbagai peristiwa bencana nasional sebelumnya, peran media sebagai sumber data dan informasi tentang peta lokasi dan korban gempa, terutama yang belum terjangkau oleh bantuan masyarakat maupun pemerintah, masih sangat minim.  Sebagian besar peran media kita masih sebatas sebagai pengumpul sumbangan dari berbagai kelompok masyarakat.  Bahkan yang lebih menyedihkan, beberapa media telah memberikan informasi yang bukan saja tidak akurat, tetapi justru dapat membingungkan dan menyesatkan masyarakat di sekitar Yogya yang sedang membutuhkan bantuan dan mencari perlindungan.

Belajar Dari Bencana

Terlepas dari duka mendalam yang dialami oleh para korban dan rasa kecewa kita pada upaya penanganan bencana, kita masih bisa memperoleh beberapa pelajaran penting dari peristiwa bencana gempa di Yogya dan sekitarnya yang seharusnya membuat kita semakin bijak dan dewasa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa bencana yang pasti akan terjadi di masa mendatang.

Pertama, solidaritas berbagai kelompok masyarakat yang sangat besar dalam membantu para korban bencana gempa tanpa memandang suku, agama dan pandangan politiknya merupakan modal sosial yang tak ternilai yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang sangat memprihatinkan di negeri ini.   Kedua, pemerintah harus belajar dari pengalaman penanganan bencana selama ini dan harus mampu mengatasi semua kelemahan dalam masalah koordinasi penanganan bencana secara keseluruhan dan masalah distribusi bantuan pemerintah kepada para korban bencana yang membutuhkannya, khususnya pada hari-hari pertama terjadinya bencana.  Ketiga, kita tidak perlu berdebat lagi  tentang apakah peristiwa bencana tersebut merupakan hukuman, peringatan atau ujian dari Tuhan yang Maha Kuasa.  Karena apapun niat Tuhan di balik bencana yang kita alami, kita harus selalu memanfaatkannya sebagai momentum untuk memperbaiki diri dengan tujuan agar hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Apabila di suatu saat nanti bangsa kita berhasil mengubah musibah menjadi berkah, seperti halnya Bencana Tsunami menjadi Damai di Aceh, mungkin setiap terjadi bencana di negeri ini nanti, kita akan selalu melihat pelangi di atas langit Indonesia yang mungkin merupakan senyuman Tuhan yang merasa bangga karena manusia ciptaanNya telah berhasil belajar dari berbagai peristiwa bencana sebelumnya, yang notabene merupakan sebagian dari ayat-ayat yang Ia turunkan ke dunia.

Namun, pertanyaan kita adalah mungkinkah itu akan terjadi?