Ihwal Hak Milik Properti untuk WNA
Jarot Widya Muliawan ;
Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;
Praktisi Agraria/Pertanahan di
Jawa Timur
|
JAWA
POS, 13 Juli 2015
KONTROVERSI mengiringi keputusan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) yang menyetujui pemberian hak milik properti untuk warga negara
asing (WNA). Kejadian itu berbanding terbalik dengan kondisi sebagian
masyarakat adat yang masih mencari keadilan mengenai status kepemilikan hak
atas tanah mereka. Kebijakan pemerintah tersebut justru akan memberikan
peluang kepada WNA untuk menguasai properti di Indonesia.
Padahal, para founding father melalui Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) sudah meletakkan asas nasionalitas sebagaimana yang tertuang
di dalam pasal 1 ayat (1), ’’Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.’’
Pasal 1 ayat (2), ’’Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.’’
Selanjutnya, pasal 9 UUPA menegaskan bahwa hanya warga
negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air,
dan ruang udara Indonesia. Pada penjelasan pasal tersebut, hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Pasal 26 ayat (2) UUPA
menegaskan bahwa hak milik kepada warga negara asing dan badan hukum asing
dilarang, dan pelanggaran terhadap pasal tersebut mengandung sanksi batal
demi hukum.
Ketentuan dalam UUPA itu juga telah menjadi landasan
pemikiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia,
yang menegaskan pemberian properti hanya dengan hak pakai. Tampaknya,
pemerintah ingin merevisi ketentuan tersebut dan menggantinya dengan hak
milik properti. Tentunya ini merupakan tindakan yang sangat bertolak belakang
dengan semangat UUPA yang mengusung asas nasionalitas.
Pemerintah dalam mengambil kebijakan harusnya tidak hanya
mempertimbangkan satu aspek ekonomi saja, namun juga lebih jauh kepada dampak
yang akan timbul setelahnya. Meskipun pada awalnya pemerintah telah melakukan
pembatasan properti yang dapat dimiliki orang asing hanya berupa apartemen
mewah lantai 2 (dua) ke atas, hal tersebut adalah celah yang sering kali
dimanfaatkan pihak tertentu yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan
rakyat. Terlebih lagi, pemerintahan Presiden Jokowi telah mengusung slogan
yang berpihak kepada rakyat kecil. Apakah kebijakan pemberian hak milik
properti kepada warga negara asing justru tidak mencederai semangat
pemerintah tersebut?
Terlepas dari kontroversi kebijakan tersebut, hal ini
terjadi karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai hak milik yang
seharusnya diwujudkan dalam sebuah undangundang sebagaimana diamanatkan pasal
50 ayat (1) UUPA yang mengatakan bahwa ’’ketentuan-ketentuan lebih lanjut
mengenai hak milik diatur dengan undang-undang.’’
Sampai sekarang, Undang-Undang Hak Milik belum terwujud.
Hal tersebut mengakibatkan pergeseran nilai tanah itu sendiri. Pergeseran
nilai tanah tersebut sangat terlihat ketika terjadi pergeseran atau perubahan
ideologi ekonomi dari populistik menuju ke paham ideologi ekonomi
kapitalistik. Kondisi ini mengakibatkan pengesampingan fungsi sosial yang
dimiliki oleh tanah sehingga dalam hal kepemilikan tanah kepentingan individu
menjadi segalanya. Unsur kebersamaan dari kepemilikan tanah juga menjadi hilang
sehingga tanah hanya dipandang sebagai sebuah komoditas dan bernilai ekonomis
serta aset produksi, serta menghilangkan nilai religio magis (filosofis) dan
sosial dari tanah itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar