Agar
Anak Miskin Terus Sekolah
Dianing Widya ; Pegiat Sosial di Spirit Kita
|
KORAN TEMPO, 12 Mei 2015
Nelson Mandela berujar
bahwa pendidikan adalah senjata ampuh untuk menguasai dunia. Kata-kata mantan
Presiden Afrika Selatan itu menegaskan betapa pentingnya pendidikan dalam
mengubah hidup manusia, bahkan bangsa. Bangsa yang maju menandakan setiap
warganya bisa mengakses pendidikan dengan baik, termasuk anak miskin sekali
pun.
Di Indonesia, setiap
orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti digariskan dalam
Pasal 31 UUD 1945. Tapi, masalahnya, apakah semua anak di Indonesia sudah
bisa mengakses pendidikan? Di atas kertas, sekolah memang gratis, tapi di
lapangan masih banyak ditemukan "iuran" yang harus dibayar oleh siswa
kepada sekolah. Dari uang masuk sekolah, uang seragam, buku, uang ujian,
hingga iuran-iuran "bernilai kecil" yang sering kali membuat orang
tua miskin terpaksa menyuruh anaknya berhenti sekolah.
Sebentar lagi,
misalnya, setelah ujian nasional SMP ini, orang tua para siswa akan
dihadapkan oleh beragam keperluan, dari perpisahan hingga pendaftaran ke
sekolah lanjutan. Semua itu adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan oleh
siswa. Itu belum lagi bagi mereka yang lulus SMA, biaya yang dikeluarkan oleh
orang tua siswa untuk masuk perguruan tinggi biayanya lebih besar.
Bagi orang tua siswa
yang mampu, tentu saja biaya-biaya itu tak menjadi masalah. Bahkan mereka
rela mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendapatkan pendidikan terbaik
untuk anaknya. Masalahnya akan mengganjal bagi orang tua tak mampu alias
miskin. Akhirnya, tak sedikit dari anak-anak miskin menjadi putus sekolah.
Sekolah seolah merasa
sah saja mengutip ini-itu dari orang tua siswa, dengan berbagai alasan,
seperti terlambatnya pencairan dana bantuan operasional sekolah (BOS),
kecilnya dana BOS, dan sebagainya. Bahkan, untuk pembangunan fisik pun,
sekolah menarik iuran dari siswa, misalnya untuk membikin pagar, musala,
taman, bahkan ruang kelas. Padahal seharusnya itu semua tanggung jawab
pemerintah. Lain halnya kalau sekolah swasta.
Sekolah swasta pun,
seharusnya, juga memberi perhatian terhadap anak-anak miskin. Negara tetap
hadir di sana, misalnya, dengan membuat aturan setiap sekolah swasta wajib
menyediakan 20 persen bangku untuk anak-anak miskin dengan biaya murah,
bahkan gratis. Sekolah swasta bisa menerapkan subsidi silang untuk bisa
menampung anak-anak miskin.
Tak hanya itu, negara
perlu berperan untuk mengawasi agar sekolah tidak melanggar hak-hak anak
dalam memperoleh pendidikan. Misalnya, melakukan pengawasan yang cukup
terhadap kebijakan sekolah, terutama yang berkaitan dengan biaya, agar tidak
membebani siswa yang tak mampu. Setiap pungutan jangan dilepas secara sepihak
kepada sekolah, melainkan harus mendapat izin dari pemimpin daerah dan
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain itu, aparat
pemerintah perlu turun ke kampung-kampung miskin dan mencari anak-anak miskin
yang putus sekolah. Jangan sampai ada di antara mereka yang karena tidak ada
biaya lalu tidak bisa sekolah.
Negara harus hadir dan
memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anak miskin. Sebab,
sekolahlah harapan satu-satunya agar mereka bisa mengubah nasib dan keluar
dari jebakan kemiskinan. Dengan bersekolah—seperti kata Nelson Mandela di
atas—mereka memiliki senjata untuk menguasai dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar