Nihilisme
Moralitas Bermedia
Agus Sudibyo ; Pendiri Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS, 27 Maret 2017
Hari ini kian jarang orang mempermasalahkan pemilik media
yang berpolitik atau menggunakan medianya untuk tujuan-tujuan politik. Barangkali
orang sudah lelah mempersoalkannya dan ternyata tak ada perubahan signifikan.
Bisa jadi standar moral menilai praktik itu telah berubah
sehingga semua orang makin permisif dan menganggapnya sebagai kewajaran,
sebagaimana dewasa ini orang makin toleran terhadap praktik jurnalisme
amplop.
Pada aras ini cukup beralasan menyatakan bahwa dunia media
kita sedang mengarah pada nihilisme, suatu keadaan ketika tiada lagi standar
etika dan moralitas yang otoritatif mampu tegak-berdiri sebagai sandaran bagi
kehidupan bermedia secara keseluruhan. Nihilisme yang ditandai dengan
repetisipelanggaran etika atau hukum media yang, alih-alih ditangani dengan
konsekuen, justru semakin dianggap sebagai kewajaran, bahkan jadi pola
perilaku bersama.
Pertanda lain adalah semakin banalnya pelanggaran etika
jurnalistik dalam pemberitaan media. Hari ini begitu mudah menemukan berita
yang tak berimbang, tanpa verifikasi, atau melanggar asas praduga tak
bersalah. Begitu mudah pula kita menemukan berita dengan judul yang tidak
menggambarkan isi, bombastis, atau menghakimi. Begitu mudah orang mendirikan
media atau menjadi wartawan tanpa pemahaman komprehensif tentang jurnalisme
dan bagaimana jurnalisme mesti dijalankan.
Jurnalisme seperti berhenti sebagai disiplin yang menuntut
ortodoksi, konsistensi, serta distingsi diri dalam penerapan metode kerja dan
standar moral. Jurnalisme hari ini juga semakin kurang membuat orang segan
dan menaruh respek karena begitu lazim dipraktikkan secara main-main.
Akibatnya, orang semakin sulit membedakan berita,
informasi, dan spekulasi. Yang gosip dianggap berita, yang berita justru
dianggap gosip. Orang juga sulit membedakan mana media yang kredibel,
independen, profesional, dan mana yang sebaliknya. Istilah hoax yang sering
diterjemahkan sebagai berita bohong dan fakenews yang dimengerti sebagai
berita palsu semakin memperparah kekaburan.
Bagaimana kita memahami istilah berita bohong atau berita
palsu jika di dalam pengertian berita secara epistemologis selalu tertanam
pengandaian tentang check and recheck, uji kebenaran informasi,disiplin
verifikasi? Logikanya, yang masih mengandung kebohongan atau kepalsuan jelas
belum layak disebut berita.
Tugas jurnalisme adalah menyeleksi, mengolah, dan
memfalsifikasi informasi, data, gosip, desas-desus sedemikian rupa sehingga
menghasilkan formula yang layak dikonsumsi publik, yakni berita. Jurnalisme
menjadi terhormat dan menyandang status ”isme” karena kemampuannya
memilah-milah mana yang bohong mana yang jujur, mana yang palsu mana yang
asli.
Mewabah
Celakanya, kekaburan dan kebingungan ini mewabah. Bukan
hanya orang awam, melainkan juga kaum terdidik, kelas menengah, kalangan
pemerintahan, bahkan pelaku media sendiri mengalami kekaburan batas-batas
antara yang berita dan bukan berita. Beberapa media bahkan konon mendasarkan
pemberitaannya pada hoax dan fakenews.
Dalam situasi yang nihilistis seperti ini, siapa yang
diuntungkan? Pelaku media sepertinya diuntungkan. Mendirikan media semakin
mudah, menjadi wartawan juga semakin mudah. Pelanggaran hukum dan etika media
terjadi begitu bebas tanpa ada konsekuensi serius bagi pelakunya. Para
pengambil kebijakan, penegak aturan, masyarakat, dan pelaku media semakin toleran
terhadap pelanggaran tersebut.
Akan tetapi, dengan menurunkan standar moralitas dan
profesionalismenya, media konvensional sebenarnya justru sedang memasuki
perangkap kompetitor barunya: media sosial. Seperti digambarkan David Levy,
Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism, Universitas
Oxford, media konvensional terpacu menjalankan genre jurnalisme yang mengejar
kecepatan, aktualitas, sensasionalitas, dan interaktivitas dalam arena pacuan
yang sedemikian dikuasai media sosial. Media konvensional terpancing
menurunkan standar etika dan profesionalisme sebagai strategi mempertahankan
hidup di dalam lanskap komunikasi-informasi baru yang sesungguhnya merupakan
habitat alami dari kompetitornya.
Sekali lagi perlu ditegaskan, ruang bermedia yang
melonggarkan etika berkomunikasi dan moralitas ruang publik adalah ruang
hidup media sosial.Jenis media baru yang tak terdefinisikan menurut etika dan
regulasi media komunikasi, tetapi hadir sebagai kekuatan raksasa digital yang
mengubahlanskap ekonomi-politik media global ataupun nasional.
Semua aturan dan norma media komunikasi seperti tak
berlaku untuk mereka. Mereka tak membayar pajak seperti media konvensional
harus membayar pajak untuk pendapatan iklan yang diterima. Mereka turut
menyebarluaskan hoax dan memonetisasi penyebarluasan hoax, tetapi tidak harus
bertanggung jawab terhadap dampak negatif hoax. Bandingkan dengan setiap
berita media konvensional yang harus dipertanggungjawabkan secara etis atau
hukum jika mengandung kesalahan!
Media sosial juga tak mengenal ideologi apa pun kecuali
kapitalisme. Seperti digambarkan Evgeny Morozov dalam tulisan berjudul ”Moral
panic over fake news hides the real enemy—the digital giants” (The Guardian,
8/1/2017), untuk media sosial, tak penting siapa yang menjadi Presiden
Amerika Serikat dan apa dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Bagi media
sosial, yang penting adalah kontroversi-kontroversi politik meningkatkan
akses dan diskusi di media sosial sedemikian rupa sehingga berkorelasi dengan
peningkatan harga saham dan pendapatan perusahaan media sosial.
Kembali ke esensi
Menghadapi media sosial dengan karakter tak terperikan
itu, media konvensional semestinya kembali kepada ciri distingtifnya:
kemampuan menyajikan informasi yang berkualitas dan mencerahkan. Masyarakat
yang jengah dengan diskusi di media sosial yang konfliktual dan memecah-belah
sebagian akan kembali ke media konvensional.
Di AS dan beberapa negara Eropa, gejala ini sudah mulai
mengemuka. Persoalannya, bagaimana kita membayangkan terjadinya media
consumption reborn ini jika media konvensional ternyata tak jauh beda dengan
media sosial, sama-sama konfliktual dan memecah belah. Bagaimana bisa menarik
kembali minat masyarakat jika media konvensional cenderung menjadi follower
media sosial dalam menyajikan kebohongan dan kepalsuan?
Gejala media consumption reborn menunjukkan masyarakat
masih butuhinformasi atau berita berkualitas. Yang perlu dilakukan media
konvensionaljelas bukan mengikuti arus dan kecenderungan media sosial,
melainkan sebaliknya: menampilkan hal yang lebih baik, mendalam, dan
substansial. Seperti yang telah dikatakan para pakar, strategi untuk
mempertahankan diri di era nihilisme moralitas bermedia dewasa ini adalah
kembali pada esensi jurnalisme yang bermutu dan mencerahkan masyarakat. ●
|