Kembalinya Keluarga Besar dari Rantau
Achmad
Jainuri ; Guru
besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel;
Wakil
Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 09 Juli 2015
MINGGU, 5 Juni yang baru lalu, Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Din Syamsuddin mengundang sekitar empat ratus intelektual
Muhammadiyah berkumpul dalam acara ’’Silaturahmi Intelektual Muhammadiyah’’
di Hotel Sahid, Jakarta. Sebagian besar di antara mereka adalah warga
Muhammadiyah ’’kultural’’ dengan berbagai maknanya, yang berada secara
diaspora di luar struktur organisasi Muhammadiyah.
Mereka berasal dari pejabat
tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dari perguruan tinggi, pemerhati, dan
politikus. Tujuannya adalah meng himpun masukan bagi muktamar Muhammadiyah
yang digelar di Makassar pada 3–7 Agustus mendatang.
Kegiatan itu merupakan
rangkaian seminar pramuktamar yang telah dilaksanakan di berbagai perguruan
tinggi Muhammadiyah di Malang, Jogjakarta, Jakarta, Medan, Makassar,
Surabaya, dan Tangerang. Berbagai ungkapan yang disampaikan 20 perwakilan
peserta yang duduk di panggung depan memberikan testimoni pengalaman diri
masingmasing, kritik, saran, dan harapan terhadap Muhammadiyah.
Secara ideologis, mereka bisa
dikelompokkan sebagai Muhammadiyah kultural, Muhammadiyah akomodatif,
Muhammadiyah apresiatif, dan Muhammadiyah sosial. Yang pertama adalah mereka
yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah, yang
pandangan dan perilaku kesehariannya didasarkan pada nilai serta etika yang
ditanamkan Muhammadiyah. Mereka yang termasuk dalam kelompok itu adalah
Badrodin Haiti, Irman Gusman, Dewi Fortuna Anwar, Zulkifli Hasan, Hajriyanto
Thohari, Komaruddin Hidayat, Andrianof Chaniago, dan Siti Nurbaya.
Kedua, mereka yang lahir dari
keluarga Muhammadiyah, tetapi juga terbiasa melakukan ritus sosial
sebagaimana yang dilakukan kaum nahdliyin karena faktor lingkungan. Yang
termasuk dalam kelompok itu adalah Salim Said. Ketiga, mereka yang lahir dari
keluarga Muhammadiyah dan mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Dalam hidup
berkeluarga sekarang, kelompok tersebut berbeda secara ideologis dengan
pasangan hidup mereka. Istri Muhammadiyah, suami nahdliyin; suami
Muhammadiyah, istri nahdliyin. Namun, keduanya saling memahami pilihan
masing-masing. Bahkan dalam banyak hal, mereka saling memberi dan mengambil
pelajaran dari pasangannya. Hal itu, antara lain, dialami Siti Zuhro,
pemerhati dan peneliti LIPI, yang mencontohkan wirid maksimalis yang
dilakukan suaminya setelah salat rawatib.
Keempat, mereka yang
dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga bukan Muhammadiyah, namun lingkungan
sosialnya orang-orang Muhammadiyah. Karena seharihari selalu bergaul dengan
orang Muhammadiyah, mereka terbiasa berpandangan dan beribadah ala
Muhammadiyah. Mereka itu berkeinginan kuat untuk diakui sebagai warga
Muhammadiyah. Yang termasuk kelompok itu adalah Jimly Asshiddiqie. Secara
kelakar, berkali-kali dia meminta diakui sebagai anggota Muhammadiyah, tetapi
tidak ada respons pasti dari Muhammadiyah.
Secara ideologis, kelompok
itu juga bisa dikatakan sebagai Muhammadiyah konversi. Jimly sendiri,
sebagaimana yang dikatakannya, akan mendirikan ranting Muhammadiyah di tempat
tinggalnya sekarang bersama dengan Din Syamsuddin apabila yang disebut
terakhir itu selesai mengemban amanah kepemimpinan Muhammadiyah Agustus
mendatang.
Pengalaman mereka semua
selama berada di luar struktur organisasi Muhammadiyah diungkapkan dalam
kritik serta harapan terhadap Muhammadiyah. Jenderal Badrodin Haiti, yang
tugas kesehariannya berkaitan dengan keamanan masyarakat, mengkritisi
kecenderungan radikalisme sebagian kalangan muslim sementara ini yang
dikaitkan dengan Muhammadiyah. Setidaknya, kaum radikalis itu memiliki
kesamaan ideologis, walaupun mereka beraktivitas di luar organisasi
Muhammadiyah.
Kritik Pak Jenderal tersebut
bukannya tidak disadari pimpinan Muhammadiyah. Memang, indikasi tindakan
radikal itu tidak ditemukan pada anggota pimpinan struktural organisasi
Muhammadiyah. Namun, dalam beberapa kasus, sebagian pelaku teridentifikasi
berasal dari keluarga Muhammadiyah. Amrozi adalah salah satu contohnya.
Kritik yang tidak kalah
penting juga ditujukan terhadap program Muhammadiyah melalui amal usaha
pendidikan dan rumah sakit, yang tampak hanya bisa dimanfaatkan kalangan
kelas menengah. Dalam kaitan itu, Muhammadiyah dinilai belum bisa memberikan
layanan sosial bagi masyarakat bawah.
Lembaga pendidikan dan rumah
sakit yang dimiliki organisasi seakan berlomba menjadi sekolah dan pusat
pengobatan elite dengan biaya yang tidak terjangkau rakyat kecil. Terhadap lembaga
perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang jumlahnya sekitar 196 di seluruh
Indonesia, kritik disampaikan karena belum satu pun PTM, termasuk 8 PTM
besar, yang kualitasnya bisa disejajarkan dengan lembaga pendidikan tinggi
dunia, dilihat dari lulusan serta hasil kajian ilmiah.
Sederet amal usaha seperti
yang sudah berlangsung selama ini memang tidak harus diganti dengan yang
baru, tetapi lebih pada pemberian makna bagi semua lapisan masyarakat tanpa
menghilangkan lembaga sosial yang ada. Demikian pula, pemahaman agama yang
berorientasi pada filsafat keterbukaan, toleran, dan pluralis yang telah lama
dilakukan Muhammadiyah tetap menjadi acuan sikap keberagamaan warga anggota
Muhammadiyah.
Pandangan dasar keagamaan
seperti itu memang bisa diterima kalangan menengah terdidik, tetapi mungkin
tidak bagi masyarakat bawah. Terhadap kelompok masyarakat kecil itu,
Muhammadiyah mengalami kesulitan karena minimnya media serta bahasa dakwah
yang bisa sampai kepada mereka.
Meskipun, benar sebagian
besar di antara mereka telah memanfaatkan amal usaha sosial Muhammadiyah dan
merasakan hangatnya interaksi dengan orang Muhammadiyah melalui kebaikan
pelayanannya. Namun, kata mereka, ’’sayang, orang yang baik seperti itu kok
Muhammadiyah.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar