Mewaspadai Produk Makanan Ilegal
Posman Sibuea ;
Guru Besar Ilmu Pangan
di
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan
|
KORAN
SINDO, 11 Juli 2015
Meningkatnya permintaan produk
pangan selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri dapat membuka peluang hadirnya
produk makanan ilegal yang berbahaya bagi kesehatan. Produk makanan ini bisa
yang sudah kedaluwarsa dan rusak sehingga konsumen harus teliti melihat
kemasan, izin edar, dan tanggal masa berlaku produk yang dibeli. Dalam upaya
mencegah beredarnya produk pangan tidak aman itu, Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) telah mengawasi 452 sarana distribusi pangan di Indonesia.
Dari pengawasan yang dilakukan
selama 25 Mei hingga 9 Juni 2015 itu, BPOM menemukan ada 11.370 kemasan dari
483 jenis produk pangan senilai Rp453,8 juta tidak memenuhi syarat (TMS)
untuk dijual dan dikonsumsi. Dari makanan TMS itu ditemukan 124 item (817
kemasan) sudah rusak (penyok, berkarat), 206 item (4.510 kemasan) yang
kedaluwarsa, dan 153 item (6.043 kemasan) tanpa izin edar.
Selain itu, dalam pemeriksaan
sejumlah sampel makanan di Pasar Cibubur, Jakarta Timur, yang dilakukan Balai
Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta ditemukan bahan berbahaya pada
makanan. Bahan berbahaya seperti pewarna dan pengawet non-food grade masih ditemukan.
Makanan yang mengandung bahan
berbahaya antara lain tahu, asinan, dan kerupuk. Hal yang sama juga ditemukan
pada pemeriksaan produk pangan olahan di wilayah lain di sejumlah daerah di
Tanah Air.
Tidak
Layak Konsumsi
Pada awal April 2015, sebelum BPOM
mengumumkan hasil pengawasannya, media massa telah gencar memberitakan
sejumlah makanan dan minuman yang tidak layak konsumsi. Pembuatan nata de coco menggunakan pupuk urea,
kikil yang diawetkan dengan formalin, es batu mengandung bakteri patogen
karena bahan bakunya berasal dari air sungai dan makanan ringan berbahan baku
pakan ternak.
Kejahatan di balik bisnis makanan
semakin kerap muncul ke permukaan. Seandainya kita lebih rajin lagi
mengelilingi sejumlah pasar tradisional, niscaya tidak sulit menemukan
makanan yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan pewarna
tekstil. Bakso, mi basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah
makanan sangat populer yang telah dicemari zat racun tersebut.
Penggunaan bahan berbahaya
sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1980-an. Ia telah masuk dan bersemayam di
dalam perut masyarakat konsumen sekitar tiga dekade. Namun, ironisnya belum
ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu.
Mungkin karena konsumen tidak
tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban serpihan bom
teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap mengonsumsi
makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan. Penyakit yang timbul
akibat makanan yang terkontaminasi (foodborne
disease) penyebab utamanya adalah mikroba patogen, mencapai sekitar 80-90%.
Disusul bahan kimia dari pestisida
atau bahan beracun yang secara alami ada dalam makanan. Bila dikelompokkan
berdasarkan sumber bahan makanan, ternyata industri jasa boga (katering dan
restoran) menempati peringkat atas sebagai sumber foodborne disease, yakni 77%.
Disusul makanan yang dimasak di
rumah sebesar 20%, dan sisanya 3% disebabkan makanan yang diproduksi industri
pangan. Meskipun kontribusi industri pangan relatif rendah, tak bisa dianggap
enteng sebab jangkauan konsumennya lebih luas. Apabila produknya menimbulkan
keracunan maka jumlah penderita per kasus akan lebih besar, seperti halnya
kasus biskuit beracun tahun 1989.
Tragedi kejahatan di balik bisnis
makanan sebagai potret buram keamanan pangan dapat terjadi mulai dari hulu
hingga di hilir industri pangan (Sibuea, 2015). Korban yang timbul bercorak
massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu makin memprihatinkan
ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian manusia yang kurang
memedulikan keselamatan konsumen.
Apalagi dengan kondisi masyarakat
saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, pembohongan publik dapat dengan
mudah dilakukan. Untuk alasan meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian
bahan tambahan makanan( BTM) yang tidak aman semakin tak terkendali.
Penambahan zat berbahaya seperti
formalin, pewarna rhodamin B, kuning metanil, pemanis buatan siklamat atau
sakarin adalahserpihan contoh yang kerap dipakai untuk makanan. Fenomena ini
ibarat bom waktu. Bahaya yang ditimbulkan amat dahsyat, yakni menyebabkan
kanker yang merampas nyawa orang.
Di sisi lain, proses pemanasan
yang tidak sesuai, penanganan under
processing, khususnya pada produk makanan kaleng berasam rendah dapat
terjadi karena kurangnya pemahaman tentang thermobakteriologi yang
dikembangkan Dr Stumbo, seorang ilmuwan di bidang teknologi pangan terkemuka
dunia.
Hal ini dapat menstimulasi
terbentuknya toksin botulin dari bakteri Clostridium
botulinum yang amat berbahaya. Sebaliknya, proses pemanasan berlebihan
pada penggunaan minyak goreng dan berulang-ulang akan menghasilkan kerusakan
produk yang memicu munculnya senyawa karsinogenik yang tidak baik bagi
konsumen.
Mengasah
Hati Nurani
Pertanyaan saat ini adalah mengapa
sulit memberi jaminan keamanan pangan di tengah masyarakat? Pemerintah belum
bisa melakukan pengawasan melekat yang tercermin dari berbagai upaya yang
dilakukan di setiap mata rantai yang diduga bisa menimbulkan masalah keamanan
pangan.
Dari wilayah produksi, pengolahan,
distribusi, hingga saat penyajian untuk konsumsi. Masyarakat berharap berbagai
instansi terkait harus terlibat dalam memeriksa keamanan pangan dan
memberdayakan petugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada
penjual makanan. Selama ini pemerintah telah abai tentang satu hal.
Undangundang yang baru tentang
pangan sudah dibuat, regulasi tata niaga bahan tambahan makanan diperketat,
dan sertifikasi mutu produk diharuskan. Namun, semuanya bisaditerabas pelaku
ekonomi demi tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Makanan
berformalin yang tetap eksis dari waktu ke waktu adalah bukti nyata
pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Tindak kejahatan di balik bisnis
makanan yang kerap berulang ini jika hendak digali secara lebih kontemplatif,
persoalannya menyangkut moralitas anak bangsa. Perdagangan produk makanan
ilegal saat masyarakat merayakan Idul Fitri dan hari-hari besar keagamaan
lainnya adalah serpihan representasi dari bangsa yang mengalami degradasi
moral.
Negeri yang warganya santun karena
taat beragama kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan orang lain
karena melakukan pembunuhan secara perlahan- lahan lewat teror formalin.
Ketika persoalan kejahatan di balik bisnis makanan merebak menjadi tragedi
kemanusiaan yang menelan korban jiwa, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan
kerap mereduksi persoalan dengan berdalih bahwa penyebabnya adalah keracunan
makanan yang dipicu cara memasak yang tidak benar.
Alasan lain disebutkan bahwa
tempat memasaknya kurang higienis atau airnya sudah terkontaminasi limbah
beracun. Pada masa datang agar kejahatan di balik bisnis makanan bisa
berkurang secara bermakna, maka sebagai umat beragama yang religius
semestinya masyarakat pedagang makanan dan korporasi patut lebih
mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai keuntungan semata.
Para pemuka agama diharapkan dapat
berperan aktif memperbaiki moral anak bangsa ini. Mereka tidak sekedar hadir
untuk mengusung ceramah agama tetapi juga memberi teladan moralitas tentang
perilaku manusia.
Sebagai sesama anak bangsa, kita
hendaknya dapat mengasah hati nurani untuk berperilaku jujur dalam berbisnis
di bidang pangan, bukan sekadar makhluk ekonomi yang menakar segala aktivitas
dari aspek untung dan rugi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar