Tampilkan postingan dengan label Indonesia 2045. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia 2045. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 April 2018

Indonesia 2045

Indonesia 2045
Salahuddin Wahid  ;   Pengasuh Pesantren Tebuireng
                                                         KOMPAS, 07 April 2018



                                                           
Media sosial menyebarluaskan potongan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan para ahli di luar negeri memperkira -kan Indonesia mungkin bubar pada 2030.  Apa yang dikemukakan Prabowo itu berdasar novel berjudul Ghost Fleet karya Peter Warren Singer dan August Cole.

Langsung saja, masyarakat menanggapi pidato itu, yang umumnya bersifat negatif. Mereka mengatakan Prabowo adalah pemimpin yang pesimistis, bertolak belakang dengan Joko Widodo (Jokowi) yang optimistis. Pendukung Prabowo dan sejumlah pihak netral menyatakan bahwa pidato Prabowo itu adalah peringatan supaya kita waspada terhadap potensi negatif itu.

Mau tak mau kita teringat pada situasi 1998 ketika kita dilanda krisis multidimensi. Saat itu warga Aceh dan Papua amat kuat memperjuangkan supaya dua wilayah itu lepas dari Republik Indonesia (RI). Warga Riau  juga menyuarakan aspirasi sama. Saat itu banyak orang menduga Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara. Alhamdulillah kini kita masih tetap bersatu sebagai bangsa, dengan Timor Timur kembali di luar RI.  Masalah Aceh sudah diselesaikan pada 2005 lewat Perjanjian Helsinki. Papua masih penuh masalah, Alhamdulillah diberi perhatian penuh Presiden Jokowi.

Berkaca pada negara lain

Pada abad XX, disintegrasi terjadi di sejumlah negara yaitu Swedia-Norwegia (1905), Inggris-Irlandia (1922), Otoman -Turki (1923), Denmark-Eslandia (1944), Korea Utara-Korea Selatan (1950), Jerman Barat-Jerman Timur (1945), Mali-Senegal (1960), Malaysia-Singapura (1965), Pakistan-Bangladesh (1971), Uni Soviet (1990), Yugoslavia (1991), Ethiopia- Eritrea (1993), dan Cekoslowakia (1993).  Pemisahan Sudan Selatan dari Sudan adalah kasus pertama pada abad XXI.

Ada kasus yang menarik yaitu penggabungan Mesir dan Suriah dengan nama Republik Persatuan Arab pada 1958, lalu diikuti Yaman,  tetapi tidak berhasil. Yang paling menarik adalah unifikasi atau penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi Jerman pada 1989 dan kini menjadi negara terkuat di Eropa. Saat ini di dunia tak banyak negara yang berusia di atas 100 tahun, sekitar 40-an. Negara yang mencapai usia 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnis tinggi (51-100 persen) dan tingkat homogenitas agama tinggi (51-100 persen) yaitu Portugal, Jepang, Haiti, Dominika, Italia, Kolombia, Brasil, Kostarika, Yunani, Hongaria, Venezuela, Cile, Paraguay, Luksemburg, Honduras, El Salvador, Nikaragua, Uruguay, Rumania, Perancis, Panama, Meksiko, Argentina, Swedia, Denmark, Spanyol.

Ada sembilan negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50 persen tetapi homogenitas agamanya lebih dari 50 persen, yaitu Belgia, Peru, Guatemala, Ekuador, Thailand, Bolivia, Nepal, Amerika Serikat (AS), dan Liberia. Kalau berusia 100 tahun, Indonesia akan berada di dalam kelompok ini, dengan tingkat homogenitas etnis sekitar 30 persen dan tingkat homogenitas agama 88 persen. Negara berusia lebih dari 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik lebih dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Belanda dan Inggris. Negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Swiss.

Mencapai usia 100 tahun bagi suatu negara bukanlah hal mudah. Banyak yang usianya mencapai 100 tahun tetapi rakyatnya tak sejahtera dan negaranya tak demokratis. Contohnya Haiti dan Nepal. Yang betul-betul sejahtera, maju dan menjadi kekuatan terbesar dunia ialah AS yang selama beberapa belas tahun terakhir mengalami kesulitan dan kemunduran.

Kekuatan besar ekonomi

PricewaterhouseCoopers (PwC) membuat proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) sejumlah negara pada 2030. Urutan 10 besar adalah China (38 triliun dollar AS), AS (23,5 triliun dollar AS); India (19,5 triliun dollar AS); Jepang (5,6 triliun dollar AS); Indonesia (5,4 triliun dollar AS); Rusia (4,7 triliun dollar AS); Brasil (4,4 triliun dollar AS); Jerman (4,7 triliun dollar AS); Meksiko (3,7 triliun dollar AS) dan Inggris (3,6 triliun dollar AS).

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyampaikan pengumuman tentang proyeksi Mc Kinsey yang mendekati proyeksi PwC. Ada sejumlah lembaga lain yang melakukan kegiatan serupa. Untuk Indonesia, ada yang hasilnya mendekati hasil PwC di atas, tetapi ada yang tidak. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) di Wikipedia, mengungkap, pada 2030 PDB Indonesia berada pada posisi kesembilan dengan angka 2,45 triliun dollar AS, tetapi pada 2050 berada pada posisi keempat dengan angka 7,3 triliun dollar AS.

Dari besaran ekonomi, jelas Indonesia mengalami peningkatan berarti, dan itu adalah potensi  pasar yang amat menjanjikan bagi pengusaha dari negara lain. Tetapi yang menjadi masalah sejak awal adalah bahwa jumlah uang beredar di Indonesia, 70 persen beredar di Jakarta.

Kesenjangan antara segelintir orang dengan jumlah terbesar penduduk Indonesia masih jauh. Jumlah uang beredar di Indonesia tidak banyak berbeda dengan di Malaysia dan Singapura, padahal jumlah penduduk kita berkali-kali lipat. Jumlah uang beredar per kapita di Indonesia amat kecil dibanding kedua negara itu.

Adanya sejumlah perusahaan menguasai jutaan hektar lahan perkebunan, menurut saya bertentangan dengan sila keadilan sosial. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Pemerintah menyelesaikan masalah itu. Pemerintah pernah berjanji mewujudkan gagasan reforma agraria yang sudah dilontarkan oleh Presiden SBY. Kita berharap pemerintah segera melakukannya. Penerbitan sertifikat tanah rakyat oleh pemerintahan Jokowi amat berarti bagi masyarakat.

Generasi emas

Kita mendengar ada tokoh/pemimpin mengemukakan istilah “generasi emas”. Kalau tujuannya untuk membangkitkan semangat, tidak jadi masalah tetapi harus berpijak pada kenyataan.  Perlu disadari bahwa banyak tantangan yang harus kita atasi untuk bisa memanfaatkan bonus demografi untuk bisa mewujudkan  “generasi emas”. Sejumlah tantangan bisa kita sebutkan yaitu gizi buruk, narkoba, rokok, pendidikan yang buruk akibat mutu guru yang kurang baik, karakter bangsa yang kurang mendukung,  minimnya kejujuran di kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan terhadap anak, pernikahan dini.

Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting (sekitar 35,6 persen). Sebanyak 18,5 persen termasuk bertubuh sangat pendek dan 17,1 persen termasuk anak pendek. Batas tolerasi stunting menurut WHO adalah 20 persen. Anak yang mengalami gizi buruk sampai 1.000 hari pertama kehidupannya akan menjadi anak yang fisiknya lemah dan otaknya kosong. Tidak diketahui pasti seberapa banyak jumlah penderita gizi buruk di Indonesia seperti yang dialami di Asmat beberapa bulan lalu. World Nutrition Report 2014 menyatakan, 5 persen rakyat menderita gizi buruk. Di sekitar Tebuireng angkanya jauh di bawah itu.

Ancaman narkoba makin hari makin meningkat. Jumlah korban juga makin banyak. Penyelundupan narkoba dari China makin menggila dan tampaknya kita kurang siap menghadapinya. Kondisinya betul-betul sudah darurat. Kita seperti sudah kehilangan akal untuk menghadapi ancaman narkoba. Jumlah perokok di Indonesia adalah yang ketiga terbesar setelah China dan India, mencapai 35 persen dari jumlah penduduk. Perokok muda semakin bertambah, usia mulai merokok makin muda. Masyarakat ekonomi lemah menyisihkan dana yang cukup besar untuk membeli rokok sehingga gizi keluarga terabaikan. Legislatif dan eksekutif  kita ramah terhadap industri rokok.

Pendidikan yang menjadi dasar dari semua kegiatan bangsa di masa depan, ternyata tidak menggembirakan. Mutu pendidikan kita secara internasional amat rendah, bahkan untuk ASEAN kita ada di peringkat tengah sudah terbalap oleh Vietnam. Angka rata-rata secara nasional untuk matematika, di bawah angka 50. Dalam sebuah tes, sekitar separuh siswa tidak bisa menangkap dengan baik isi naskah bahasa Indonesia. Guru mata pelajaran tidak menguasai dengan baik materi mata pelajaran itu dan kurang menguasai cara mengajar yang baik. Sekitar sepertiga guru tidak memenuhi syarat. Pendidikan agama lebih merupakan transfer ilmu agama dari pada pembentukan sikap keberagamaan.

Sebuah survei Kompas pada 2017 mengungkap, menurut 42,8 persen responden masalah terbesar bangsa Indonesia ialah korupsi, 17,7 persen responden penegakan hukum, 12,9% responden kemiskinan dan 10 persen responden ialah masalah SARA. Survei lain oleh Kompasmengungkap perilaku bohong seperti plagiat, korupsi, suap dalam masyarakat dianggap sangat parah oleh 50,7 persen responden dan dianggap parah oleh 43,1 persen. Dalam survei yang sama, 74,9 persen responden menganggap korupsi dan suap dipicu oleh kebiasaan berbohong. Survei lain oleh Kompas pada 2017 menyatakan pelajar/mahasiswa yang selalu jujur mencapai 2,3 persen, sering jujur 7,5 persen, kadang jujur 50,5 persen, sering bohong 30,8 persen, dan selalu bohong 5,8 persen.

Dengan sekian hambatan di atas, kita memahami, mewujudkan 100 tahun kemerdekaan yang kita impikan sebagai seabad keemasan bukanlah hal mudah. Insya Allah kita masih akan tetap menjadi satu bangsa Indonesia, tetapi masyarakat adil makmur untuk seluruh rakyat Indonesia belum tentu bisa kita wujudkan. Perlu keberanian dan keteguhan sikap pemimpin untuk memperbaiki banyak kebijakan  yang tak sesuai dengan Pancasila dan juga mewujudkan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Hak-hak dasar rakyat harus dijamin pemerintah.

Jumat, 10 Maret 2017

2045

2045
Bambang Kesowo  ;    Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas
                                                        KOMPAS, 10 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika tiga atau empat tahun lalu ada buaian tentang Indonesia 2030, muncul gagasan tentang batu penjuru (milestone) lain: mengapa tidak wajah Indonesia di 2045 nanti? Bagai terbangunkan, semua menangkap kita diajak membayangkan dan menorehkan harapan, bagaimana kehidupan bangsa dan negara ini di usia 100 tahun tersebut.

Sudah pasti bukanlah kejahatan untuk membangun impian: di tahun 2045, pendapatan per kapita tiap warga telah dapat mencapai setidaknya setara 10.000 dollar AS per tahun; rakyat dapat hidup dalam perumahan dengan lingkungan yang tertata baik, dengan dua mobil di garasinya. Pokoknya seperti orang Amerika Serikat dengan American dream-nya.

Tidak pula salah bermimpi di 2045 negara kita telah kuat secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer (ipoleksosbudmil), berdasar Pancasila yang terejawantah dalam semua sendi dan napas kehidupan. Juga mimpi tentang kehidupan politik nasional berkeadaban dan tanpa ada lagi korupsi. Mimpi betapa rakyat hidup tenteram dengan disiplin sosial yang tinggi, sedangkan kekuatan militernya "nggegirisi". Indonesia tumbuh sebagai penjuru geopolitik dunia.

Namun, bukan pula tidak mungkin apabila impian tadi terusik oleh interupsi jahil. Karena 2045 baru hadir 28 tahun mendatang, jangan-jangan generasi di lintasan kurun waktu itu mempunyai gambaran yang lain tentang wajah kehidupan tadi. Dengan persepsi tentang masalah dan tantangan di masanya, bukankah mereka juga berhak punya jawab dan impian sendiri? Kalau keusilan tadi tak terlalu salah, lantas apa relevansinya dengan angan generasi saat ini, yang juga menggantang wujud negara dan bangsa Indonesia di tahun 2045, tetapi menurut persepsi tentang cita yang mereka pahami?

Tujuan nasional dan kelembagaan negara

Layaknya generasi pengait antara masa lalu dan sekarang, memang wajar saja apabila kita mengenalkan dan menanamkan pemahaman tentang cita-cita kemerdekaan, berbangsa dan bernegara yang dahulu diuntai para pendahulu, para pendiri negara. Memberikan landasan dan sekaligus bingkai agar apa pun corak dan wujud kehidupan nasional di tahun 2045, tetaplah semua itu bersumbu pada cita-cita yang dalam bahasa UUD 1945 dikenal sebagai Tujuan Nasional: ".membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."

Mengingatkan cita-cita, jelas baik dan perlu. Namun, lebih bertanggung jawab lagi apabila kita juga dengan jelas menunjukkan arah dan mewariskan sarana dan pranata yang memudahkan mereka bekerja dengan baik. Karena itu, memadaikah apa yang kita miliki saat ini?

Menyangkut elemen pertama dalam tujuan nasional tadi, yaitu membentuk pemerintah negara Indonesia, memadaikah bangun dan tatanan kelembagaan negara setelah empat kali perubahan UUD sekarang ini? Banyak yang melihat tujuan nasional sekadar rincian empat tujuan, tetapi justru abai terhadap instrumen yang mesti mewujudkannya. Lantas bagaimana dapat sampai ke tujuan tersebut? Bagaimana mungkin cita akan digapai kalau tidak ada alat yang bernama pemerintah negara Indonesia sebagai alatnya. Awal uraian tentang tujuan nasional bermula dengan soal kelembagaan tadi. Pertanyaannya, dengan bangun dan tatanan kelembagaan pemerintahan negara sekarang ini, sudahkah kebutuhan untuk menghadirkan stabilitas pemerintahan dan kebijakan terpenuhi dengan baik?

Sistem presidensial dalam pemerintahan yang semula ingin diteguhkan saat ini malah bagai terbelenggu oleh pengaturan sistem kepartaian dan pemilihan presiden, dan pada gilirannya hanya menyisakan kesibukan yang menghabiskan energi sekadar untuk menghadirkan stabilitas yang dirasa semu. Demikian pula hadirnya ragam dan tatanan tentang badan permusyawaratan dan perwakilan yang bukan saja remang secara konseptual, tetapi senyatanya tidak efektif. Di tengah kian maraknya radikalisme, serta bayang-bayang sekitar hantu komunisme, upaya untuk memperteguh dan membumikan Pancasila sebagai ideologi, sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup bangsa justru tidak tampak (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Yang namanya dinamika juga tinggi. Ya politik, ya ideologi. Tetapi, siapa yang mesti mengelola?

Persoalan juga masih menggelayut di sekitar elemen kedua dalam tujuan nasional, yaitu empat tujuan yang menjadi tugas pemerintah negara Indonesia tadi. Ketika proses besar untuk mewujudkan empat tujuan tersebut berkaitan dengan aspek komprehensivitas dan kesinambungan dalam perencanaan, satu pertanyaan telah lama menggantung.

Tanpa adanya instrumen yang dulu bernama GBHN, bagaimana kini mesti menjamin bahwa yang namanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang lazim menyertai tak akan selalu berubah UU-nya setiap lima tahun? Di tengah mekanisme pemilihan presiden yang bertumpu pada janji program selama pilpres, yang namanya perubahan (penyesuaian, penyempurnaan, atau dengan kata lain apa pun) RPJP, dan dengan begitu juga RPJM, bukanlah tidak mungkin.

Waktu memang berjalan. Tantangan juga selalu berbeda. Karena itu, apabila ada perbedaan cara pandang tentang prioritas dan penahapan dalam gerak pembangunan, jelas bukanlah masalah. Tetapi, yang namanya alur besar dalam sebuah peta jalan (roadmap), yang diperlukan agar apa yang perlu dilakukan atau dikerjakan dapat dengan jelas dilihat dan diketahui, kapan capaian sesuatu dapat diwujudkan di tiap tahapan, akan sangat membantu terjaganya kesinambungan arah dan gerak pembangunan. Lebih dari sekadar jaminan, transparansi soal tersebut juga memudahkan mobilisasi dan meningkatkan partisipasi kekuatan nasional.

Ataukah mungkin pola pikir lain yang ingin dikembangkan? Faktor kesinambungan dianggap tidak penting. Yang lebih utama adalah wujud dan taraf kehidupan yang lebih maju dan lebih tinggi. Setiap dari empat dalam tujuan nasional tetap dijadikan penjuru, tetapi soal perwujudan, sekali lagi, mesti dianggap sebagai sekadar persepsi dan tafsir. Bukankah setiap waktu membawa nilai dan tantangan yang berbeda? Mungkinkah ini yang sekarang merasuk sebagai pola pikir baru?

Perlu perubahan UUD?

Telah banyak wacana soal ini. Mengapa seolah tiada gereget untuk menanggapi, mungkin soal lain. Bukan mustahil hal itu antara lain terkait dengan semacam sangkaan yang berkembang dalam masyarakat, tentang adanya kelompok yang masih enggan menerima perubahan. Sangkaan serupa itu mungkin benar juga adanya. Namun, pengabaian terhadap keberanian untuk melihat dan memperbaiki kekurangan pastilah lebih tidak menguntungkan. Terlebih lagi kalau sikap pengabaian timbul karena orientasi lain, bahwa kepemimpinan pemerintahan hanya berkisar pada pemenuhan janji selama pilpres, dan terpasung dalam siklus lima tahunan.

Jika demikian, soal 2045 benar-benar sekadar angka penanda 100 tahun kemerdekaan. Tidak lebih, dan tidak kurang. Impian dan harapan akan adanya kehidupan yang maju dan modern pasti tetap ada, tetapi tidak terlalu relevan dikaitkan dengan cita-cita awal.

Ujung dari pertanyaan tentang memadai atau belum memadai sekitar dua elemen tadi sudah sering terdengar walau hal itu dirasa tidak nyaman di sementara kalangan. Pemikiran sekitar kesiapan sarana dan pranata tadi akhirnya berujung pada pertanyaan: perlu perubahan UUD 1945 lagikah? Sudah jadi pengetahuan umum adanya silang pandang tentang dampak empat kali perubahan UUD 1945. Ada yang menolak, ada pula yang hanya menginginkan perubahan yang sekadar untuk mengakomodasi kepentingannya. Ada yang ingin perombakan total, tetapi ada pula yang menginginkan agar dikembalikan saja pada UUD 1945 sebelum perubahan. Semuanya dengan alasan masing-masing. Sudah barang tentu, bukan saja kerja besar yang akan muncul, melainkan juga risiko kehebohan baru.

Namun, sekiranya kebutuhan untuk menata kembali bentuk dan tatanan kelembagaan negara sebagai penyelenggara pemerintah negara (dalam arti luas) memang dinilai perlu, bagaimana sebaiknya harus dicari penyelesaiannya? Bilamana menyentuh kembali UUD 1945 karena berbagai pertimbangan tidak diambil sebagai opsi, mungkinkah presiden mengambil pendekatan instrumental, dengan mengambil inisiatif perbaikan UU yang antara lain dan utamanya menyangkut soal kepartaian, pemilu dan pilkada, badan permusyawaratan dan perwakilan, pemerintahan daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah?

Tabir "negatif" yang seakan menyelimuti hubungan presiden dengan partai-partai politik yang mendukungnya bisa sejenak dikesampingkan. Ditimbang saja sisi positifnya, bahwa dengan dukungan yang besar dari banyak partai politik, mestinya presiden tidak mengalami kesulitan dalam perjuangan politik untuk melakukan penataan ulang kelembagaan negara melalui perubahan UU yang selama ini mengaturnya. Adanya kesamaan pandang antara presiden dan partai politik pendukung tentang perlunya kesiapan dan penataan kembali kelembagaan negara (terutama yang berkaitan dengan fungsi dan kewenangannya), dan tentang tanggung jawab bersama terhadap masa depan, semestinya memungkinkan hal tersebut dapat berlangsung.

Namun, sebaliknya juga bukan tidak mungkin hal tersebut tidak mudah terwujud apabila dukungan partai politik sekadar karena orientasi kekuasaan, dan bukan pada kerja presiden dan masa depan. Kalau bagi partai-partai politik pendukung tadi berlaku "hukum Ligna: kalau sudah duduk, enggan berdiri", akan sempurnalah kesulitan tersebut. Repotnya, apabila yang terakhir ini yang terjadi, yang ada tinggallah benarnya penilaian bahwa tatanan sekitar kelembagaan negara memang tidak menguntungkan dan perlu ditata ulang.

Lantas bagaimana prospek penyelesaian persoalan tadi? Wallahualam. Apa pun, bagi generasi yang hidup dan berperan saat ini, 2045 mungkin dirasa masih lama. Tetapi, untuk pergulatan hidup sebuah bangsa, jangka 28 tahun pasti akan sangat cepat berjalan.

Selasa, 28 Juni 2016

Indonesia 2045

Indonesia 2045

Susilo Bambang Yudhoyono ;   Presiden Republik Indonesia 2004-2014
                                                         KOMPAS, 28 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah menjadi hukum sejarah, dunia berikut tatanan kehidupannya akan terus berevolusi. Demikian juga perjalanan suatu bangsa jika bangsa itu lulus menjaga eksistensinya.

Agustus 2015, dalam acara seminar internasional di Universitas Indonesia, saya menyampaikan refleksi kesejarahan "70 Tahun Indonesia Merdeka". Saya kedepankan dinamika dan pasang surut perjalanan bangsa Indonesia sejak 1945, kemudian apa tantangan dan pekerjaan rumah 70 tahun ke depan.

Di awal 2016, saya juga diminta Universitas Udayana, Bali, untuk memberikan kuliah umum "Indonesia 2045" atau "Satu Abad Indonesia Merdeka". Di hadapan segenap sivitas akademika, saya sampaikan bahwa tahun 2045 Indonesia bisa menjadi negara yang lebih maju, kuat, dan sejahtera. Dengan kerja keras dan pertolongan Tuhan, insya Allah Indonesia bisa. Tentu ini tidak datang dari langit dan jalan yang ditempuh tak selalu lunak.

Indonesia 2045, tinggal tiga dekade lagi. Sebagai warga bangsa yang bertanggung jawab kita berkewajiban mewujudkan impian indah itu. Seorang guru manajemen tersohor, Peter Drucker, pernah mengatakan, "The best way to predict the future is to create it". Ia benar.

Maka melalui artikel ini saya ingin mengajak kita semua, bangsa Indonesia, bersatu dan bekerja keras mewujudkan "Indonesia Sukses" tahun 2045.

Transformasi besar bangsa

Sejak 1998, sesungguhnya bangsa Indonesia bukan sekadar melakukan reformasi, melainkan juga transformasi besar dan mendasar. Transformasi ini masih berlangsung dan menurut perkiraan saya masih berlanjut 20-30 tahun ke depan.

Saya mencatat ada lima transformasi besar yang tengah kita lakukan. Pertama, dalam dunia politik, kita bertransformasi dari sistem otoritarian menuju demokrasi. Kedua, di bidang pemerintahan dari sistem yang sentralistik menuju desentralistik. Ketiga, dari ekonomi yang didominasi sumber daya alam menuju yang lebih berbasis industri, jasa, teknologi, dan sumber daya manusia. Keempat, dalam hubungan internasional kita tengah melengkapi cara pandang dari inward looking dan terlalu nasionalistik menuju wawasan yang lebih seimbang: inward and outward looking, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kelima, terkait stabilitas politik dan keamanan publik, kita berubah dari pendekatan keamanan menuju ke penegakan hukum.

Layaknya perubahan besar, selalu ada tantangan dan resistensinya. Perubahan juga menghadirkan instabilitas dan rasa tidak nyaman bagi sebagian kalangan. Itu sebabnya tak sedikit reformasi dan transformasi gagal mencapai tujuan karena para pelakunya menyerah. Atau kaum yang menentang berhasil mengalahkan kaum reformis. Kalau ini terjadi, bangsa yang bersangkutan bukan hanya kembali ke posisi awal, melainkan bisa mengalami disorientasi dan lebih buruk kondisinya.

Sebagai contoh, tak mudah mendidik dan mentransformasi alam pikir dan perilaku politik kita, orang seorang, yang selama lebih dari 30 tahun menjalankan sistem otoritarian, menjadi demokratis. Termasuk alam pikiran para pemimpin di negeri ini. Ekonomi dan bisnis Indonesia yang dimanjakan oleh keberlimpahan sumber daya alam juga tidak mudah hijrah ke ekonomi jasa, sumber daya manusia, dan penguasaan iptek. Para pelaku ekonomi di comfort zone enggan berubah. Tentu masih banyak tantangan lain. Peran para pemimpin menjadi penting untuk menjaga semangat perubahan ini.

Urusan transformasi sengaja saya angkat karena ada kaitannya dengan pekerjaan besar yang hendak kita lakukan untuk mewujudkan Indonesia Sukses di ulang tahunnya yang keseratus.

Pekerjaan rumah ke depan

Menurut saya, ada tiga tujuan besar yang mesti kita capai di satu abad kemerdekaan nanti, yaitu (1) demokrasi yang kuat, stabil, dan berkualitas; (2) ekonomi yang kuat, adil, dan berkelanjutan; dan (3) peradaban bangsa yang lebih unggul menuju negara maju (developed country) akhir abad XXI.

Banyak hal harus kita lakukan untuk tujuan pertama. Para pemimpin-negara, pemerintah, dan tokoh politik-harus berdiri di depan dan menjadi contoh.

Mari kita didik masyarakat dan diri kita, bahwa demokrasi tidak sekadar pemilihan umum dan kebebasan. Juga bukan hanya hak sipil dan hak politik warga negara. Demokrasi juga tentang konstitusionalisme dan kepatuhan kita terhadap sistem dan perundang-undangan, sekaligus etika dan aturan main. Juga tentang kepatuhan pada pranata hukum (rule of law) dan penegakan hukum. Juga tentang akuntabilitas para penyelenggara negara, termasuk bebasnya mereka dari penyimpangan dan tindak pidana korupsi. Juga tentang checks and balances di antara para pemegang kekuasaan, termasuk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Juga tentang penggunaan kekuasaan (the exercise of power)-apakah kekuasaan digunakan secara tepat atau melampaui batasnya.

Demokrasi juga berkaitan dengan etika para wakil rakyat dan semua pejabat yang mendapat mandat rakyat. Di sini termasuk presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Juga para anggota DPR, DPD, dan MPR. Yang mereka lakukan dan perjuangkan harus benar-benar yang menjadi harapan dan aspirasi rakyat.

Yang terakhir dari domain demokrasi adalah menghadirkan demokrasi yang tertib. Demokrasi yang matang ditandai oleh politik yang tertib dan stabil. Maka untuk menjaga stabilitas politik dan ketertiban publik harus dipilih cara-cara yang tidak merusak sendi-sendi demokrasi. Cara-cara represif dan keluar dari pranata hukum harus menjadi milik masa lampau. Membikin rakyat tidak berani bicara karena takut divonis mengganggu stabilitas politik dan jalannya pemerintahan adalah bentuk represi di era modern ini.

Tujuan besar kedua berupa ekonomi yang kuat, adil, dan berkelanjutan, berarti upaya agar ekonomi terus tumbuh dan pendapatan nasional juga semakin besar; ekonomi makro terjaga baik, termasuk terciptanya lapangan pekerjaan dan harga-harga yang stabil dan terjangkau; serta ketahanan dan fundamental ekonomi. Antara 2004-2014 pertumbuhan kita rata-rata hampir 6 persen, tertinggi kedua atau ketiga di antara negara-negara G-20.

Ekonomi yang berkeadilan menjadi tantangan besar Indonesia dan dunia. Meskipun secara global jumlah orang miskin berkurang, ketimpangan sosial-ekonomi makin besar. Meskipun belum sempurna, apa yang kami doktrinkan dulu dalam pembangunan ekonomi, yaitu "pertumbuhan disertai pemerataan" atau growth with equity akan bijak jika tidak ditinggalkan. Alangkah tidak indahnya jika negara kita dipenuhi bangunan megah serta proyek-proyek mercu suar lainnya, sementara masyarakat hidup miskin.

Kita harus kembali mengejawantahkan kearifan para pendiri republik bahwa Indonesia yang kita tuju adalah Indonesia yang adil dan makmur. Keduanya harus tumbuh bersama, jangan dipisahkan dan jangan sampai keadilan dikorbankan lantaran yang ingin kita tampilkan adalah gemerlapnya wajah kemakmuran.

Dunia abad XXI juga menghadirkan semangat tinggi bagi terpeliharanya lingkungan alam dan sumber-sumber kehidupan di Bumi. Konferensi PBB di Paris, Desember 2015, yang berhasil menghadirkan dokumen bersejarah untuk memerangi pemanasan global dan perubahan iklim, adalah tonggak baru yang patut kita rayakan. Dunia sepakat bahwa pembangunan yang kita jalankan adalah pembangunan berkelanjutan dan ekonomi yang kita anut adalah ekonomi hijau.

Semoga strategi pembangunan ekonomi yang saya tawarkan (juga kita laksanakan dalam 10 tahun masa kepresidenan saya), yaitu "4 Track Strategy", bisa diposisikan sebagai alternatif. Alhamdulillah, tema besar kita "sustainable growth with equity" dan juga "4 Track Strategy" yang mencakup pembangunan ekonomi yang pro-pertumbuhan, pro-lapangan pekerjaan, pro-pengurangan kemiskinan, dan pro-kelestarian lingkungan juga menjadi masukan penyusunan SDGs (Sustainable Development Goals) yang secara pribadi saya ikut menyumbang.

Indonesia maju, kuat, dan sejahtera tahun 2045 dapat kita wujudkan jika peradaban terus kita majukan. Kemajuan peradaban sebuah bangsa ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, daya saing dan kemandirian yang kuat, serta karakter yang kokoh dan unggul. Dengan itu semua, bangsa akan lebih tahan guncangan. Artinya, jika harus mengalami krisis yang berat sekalipun, bangsa itu akan tetap survive.

Pengertian peradaban (civilization) luas dan beragam. Sungguh pun demikian, saya berpikir peradaban, ketahanan, dan keunggulan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh tingkat pendidikan. Manusia dan bangsa Indonesia harus berkarakter kuat di atas jati dirinya yang telah lulus dari berbagai ujian sejarah. Masyarakat Indonesia juga harus menjadi masyarakat yang rasional dan bertanggung jawab. Teknologi harus dikuasai, apalagi kita hidup dalam era digital dan juga revolusi industri gelombang keempat. Sebagai bangsa majemuk, peradaban bangsa kita juga mesti ditandai dengan toleransi dan kerukunan, sekaligus mencintai perdamaian. Sebagai bagian dari the good society, masyarakat Indonesia juga harus kepatuhan terhadap pranata sosial dan pranata hukum.

Peluang, tantangan, dan imperatif

Bisakah Indonesia menjadi negara yang lebih maju, kuat, dan sejahtera 2045? Tak ada seorang pun bisa menjamin. Namun, berangkat dari keyakinan dan akal sehat, saya memberanikan diri bahwa kita bisa.

Ada lima alasan yang dapat saya sampaikan. Pertama, Indonesia berusia muda~ young country. Masih ada peluang untuk tumbuh dan maju. Kedua, kita selalu bisa keluar dari krisis. Beberapa kali Indonesia diramalkan ambruk, tetapi tidak terjadi. Ketiga, potensi dan sumber daya kita besar. Ini modal pembangunan yang berharga jika negara diawaki oleh manusia yang cakap, inovatif, dan unggul. Keempat, kita masih terus bertransformasi. Maka, transformasi dan reformasi tidak boleh terhenti. Apalagi gagal. Kelima, untuk menambah keyakinan bahwa Indonesia bisa maju, ada banyak kisah sukses.

Meskipun 10 tahun masa pemerintahan saya amat berat kondisinya serta tak semua bisa kita capai, dalam kurun waktu itu pendapatan per kapita rakyat naik hampir 350 persen. Ingat, sejak Indonesia merdeka hingga 60 tahun kemudian, pendapatan per kapita kita 1.100 dollar AS. Dalam 10 tahun, angka itu menjadi 3.700 dollar AS. Ternyata bangsa kita bisa.

Ke depan, tantangan dan permasalahan yang kita hadapi semakin berat. Dunia dan kawasan Asia juga tidak selalu kondusif. Perjalanan bangsa kita pun penuh dengan masa pasang dan surut. Oleh karena itu, untuk sukses kita harus bekerja sangat keras disertai pikiran yang cerdas. Kalau hal ini saya tuangkan dalam bentuk imperatif, ada 3 hal yang harus kita penuhi.

Pertama, bangsa ini harus punya visi. Visi ini produk dari pemikiran besar berlandaskan realitas dan telaah logis dan rasional atas apa yang bisa dan tidak bisa dicapai Indonesia ke depan, serta pengalaman panjang kita semua dalam membangun negara. Dalam arti luas visi berkaitan dengan grand strategy, perencanaan jangka panjang dan haluan pembangunan yang kita jalankan.

Pemimpin pada tingkat puncak beserta jajaran penyelenggara negara serta lembaga think tank berkewajiban merumuskan visi bangsa dan kemudian menjadikannya sebagai kompas dan haluan kehidupan bernegara kita ke depan.

Kedua, diperlukan kepemimpinan yang visioner, cakap, dan kuat. Kepemimpinan ini tidak hanya berkaitan dengan presiden sebagai pemimpin puncak, tetapi juga kepemimpinan di semua lini dan tingkatan. Dalam konteks menuju Indonesia 2045, tugas penting pemimpin adalah menyatukan dan mengarahkan (aligning) rakyat untuk bekerja dan bergerak menuju masa depan itu. Para pemimpin tingkat nasional secara moral dan politik bertanggung jawab membawa bangsa ini terus bergerak ke depan. Inilah yang disebut pragmatisme dengan visi. Pragmatisme tanpa visi bisa membuat perjalanan Indonesia menuju ke arah yang keliru.

Ketiga, ketika Indonesia telah memiliki visi besar dan juga dipimpin oleh para pemimpin yang cakap, seluruh komponen bangsa harus bekerja dan memberikan sumbangsihnya.

Indonesia 2045 tinggal 30 tahun kurang. Seraya memberikan kesempatan dan dukungan kepada negara dan pemerintah untuk memimpin kita semua, ada tugas sejarah yang harus kita tunaikan. Semua mesti ikut berkarya hari ini dan berupaya agar karya kita sukses dalam arahan para pemimpin yang cakap dan bertanggung jawab dalam visi besar bangsa.

Selasa, 05 Maret 2013

Indonesia 2045


Indonesia 2045
Hendra Gunawan  ;  Guru Besar Matematika FMIPA ITB
KOMPAS, 05 Maret 2013



Seperti apa sosok Indonesia pada 2045, saat berusia seabad?
Dalam salah satu pernyataannya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengungkapkan, pada milenium pertama leluhur kita bisa membangun Candi Borobudur yang merupakan candi terbesar di dunia, dan pada milenium kedua Kerajaan Majapahit merupakan pelaku penting dalam percaturan dunia. Memasuki milenium ketiga, apa yang bisa diperbuat Indonesia?
Apakah Indonesia akan dilirik negara lain hanya sebagai negara yang kaya sumber daya alam untuk dieksploitasi, atau sebagai negara berpenduduk banyak dan merupakan pasar potensial bagi produk-produk mereka?
Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) susunan Menko Per- ekonomian dicanangkan, pada 2025 Indonesia menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur berpendapatan per kapita sekitar 15.000 dollar AS. Saat itu, Indonesia diharapkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Lebih jauh, pada 2045 Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi di dunia dengan pendapatan per kapita 47.000 dollar AS!
Namun, yang dimaksud negara maju dalam dokumen MP3EI adalah negara yang pertumbuhan ekonominya positif dan tingkat inflasinya menurun. Apakah masyarakat dan kehidupannya juga maju atau beradab sama sekali tak disinggung.
Akan Sangat Ideal
Salah satu argumen yang digunakan dalam perumusan MP3EI itu adalah statistik penduduk kita. Konon dalam kurun 2015-2045 piramida penduduk Indonesia akan sangat ideal dengan penduduk mayoritas berusia 25-45 tahun, usia produktif. Indonesia saat itu akan menikmati apa yang disebut bonus demography. Masalahnya, seperti apa kualitas mereka, penduduk usia produktif itu, kelak?
Sebagai ilustrasi, memasuki AFTA 2016, para insinyur perlu mengantongi sertifikasi untuk dapat melaksanakan tugas keinsinyurannya di wilayah Asia. Berapa banyak insinyur kita yang telah tersertifikasi saat ini? Tidak lebih dari 100 orang! Pada saat yang sama, jumlah insinyur Singapura yang telah tersertifikasi mencapai ribuan. Dalam situasi seperti ini, para insinyur kita hanya akan menjadi operator atau asisten insinyur asing yang kelak beroperasi di Indonesia. Jadi, bila demikian, pembangunan oleh siapa dan untuk siapa?
Kita tentu tak ingin jadi pembantu di rumah sendiri. Namun, kita lihat banyak kasus yang terjadi saat ini di negara kita (perpajakan, politik uang, permainan APBN, dan lain-lain) dengan pelakunya masih berusia 30-45 tahun. Kita bertanya, dapatkah kita mengelola negara sendiri? Kita juga menyaksikan masyarakat kita yang suka menerabas, tidak peduli lingkungan, bekerja asal-asalan, berpikir jangka pendek, dan seterusnya. Pendidikan macam apa yang mereka dapat sebelumnya? Singkat kata, di era kehidupan modern ini, intelektualitas dan budaya masyarakat kita masih terbelakang.
Bila kita ingin jadi negara maju dan beradab, banyak pekerjaan rumah yang perlu kita garap, terutama mencerdaskan kehidupan bangsa yang hingga kini belum terwujud. Kuncinya, pendidikan, pendidikan, dan pendidikan! Bila kita tak menggarapnya dengan baik, kita akan tenggelam—bukan sekadar tertinggal!
Sistem dan Kepemimpinan
Di Kompas, 20 Januari 2013, Jusuf Kalla di hadapan Forum Rektor menyatakan, Indonesia bangsa yang besar dan memiliki kekayaan luar biasa. Bangsa ini lambat kemajuannya bukan karena sistemnya. Negara boleh berbeda atau sama sistemnya, tetapi yang paling penting (adalah) soal kepemimpinan. Ketika pemimpin bangsa ini bertekad memerangi korupsi, mestinya dia menjadi teladan. Memberikan sumbangan atau melahirkan pemimpin yang memiliki teladan itulah tugas perguruan tinggi supaya Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Teringat masa mahasiswa, senior saya mengatakan, ”A leader is one who knows the way, shows the way, and goes the way.” Pertanyaannya, dari mana pemimpin seperti itu kita dapat? Pemimpin panutan mestinya dibesarkan, bila tak dilahirkan, di perguruan tinggi. Jadi, perguruan tinggi memainkan peran penting bagi bangsa dalam mendidik calon pemimpin bangsa, dari presiden hingga kepala rumah tangga. Kontribusi perguruan tinggi yang dominan selama ini memang alumni yang menggerakkan bangsa ini, khususnya dalam ekonomi dan politik. Namun, kualitas dan kiprah mereka belum memadai menjadikan Indonesia maju dan beradab.
Saat ini terdapat 3.200 lebih perguruan tinggi di Indonesia. Namun, tidak lebih dari 20 perguruan tinggi yang berkualitas. Bahkan, 20 perguruan tinggi terbaik kita pun masih tertinggal dari sejumlah perguruan tinggi di negeri tetangga, khususnya dalam pengembangan iptek yang jadi faktor penting pembangunan ekonomi saat ini dan ke depan.
Bila demikian halnya, bagaimanakah Indonesia bisa tetap eksis dan bersaing di masa mendatang? Di era pengetahuan dewasa ini, hanya bangsa yang menguasai iptek dan memiliki budaya yang tangguhlah yang dapat bersaing dan menjadi bangsa besar dengan peradaban maju.
Indonesia 2045 masih 32 tahun lagi, so what? Saat itu, sebagian dari kita, khususnya yang berusia separuh baya, mungkin sudah tiada. Namun, sesungguhnya, Indonesia 2045 ada di depan mata kita sekarang! Anak-anak berusia balita hingga remaja tersebar di sekitar kita. Ada yang sedang belajar, ada yang asyik bermain, ada pula yang mengamen di perempatan jalan. Merekalah bonus demography itu dan memimpin bangsa ini kelak!
Indonesia 2045 ada di depan mata, jangan disia-siakan! Pendidikan di sekolah, rumah, dan di luar rumah akan sangat menentukan. Peran kita semua diperlukan mendidik dan mengarahkan mereka guna mewujudkan Indonesia 2045, milenium ketiga, yang kita idamkan. ●