|
“Ketika Hoegeng Imam Santoso diberhentikan secara mendadak oleh Soeharto
pada 2 Oktober 1971 karena dianggap sudah membahayakan kepentingan penguasa,
sejak itu tak pernah lagi ada Kapolri yang benar-benar berjiwa kesatria dan
menjunjung tinggi kejujuran serta profesionalisme Bhayangkara.”
Mencermati pelantikan Komjen Polisi Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo, 25 Oktober 2013, sejumlah pihak menaruh pesimisme dan keprihatinan. Pasalnya, Sutarman menjadi calon tunggal dari Istana. Padahal, selama memimpin Bareskrim maupun dua polda sebelumnya, tidak ada hal yang bernilai prestisius dan spektakuler. Hal ini menyiratkan kecurigaan publik bahwa pengangkatan Sutarman tersebut merupakan bagian dari mata rantai kepentingan Cikeas. Tidak salah jika majalah Tempo edisi 23 Oktober 2013 menurunkan ulasan tajam yang berjudul "Kapolri Selera Cikeas".
Hal ini semakin menebalkan keyakinan bahwa paradigma baru Polri yang menjadi jargon institusi ini pascareformasi kini semakin kabur lantaran pengangkatan Kapolri, yang menjadi lokomotif perubahan, justru dikangkangi oleh kepentingan penguasa. Ketika Hoegeng Imam Santoso diberhentikan secara mendadak oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971 karena dianggap sudah membahayakan kepentingan penguasa, sejak itu tak pernah lagi ada Kapolri yang benar-benar berjiwa kesatria dan menjunjung tinggi kejujuran serta profesionalisme Bhayangkara. Hampir semua silsilah Kapolri pasca-Hoegeng membenamkan diri dan tersandera dalam pusaran kepentingan penguasa.
Dengan konstelasi seperti itu, tantangan klasik Kapolri untuk mereformasi kultur kepolisian guna membangun kepercayaan publik sulit terwujud lantaran paradigma perubahan hanya menyentuh aspek struktural dan personal. Tengoklah citra diri polisi dewasa ini yang lekat dengan fenomena korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan aneka kriminalitas dalam menjalankan tugas. Nyaris tak ada pembenahan dari generasi ke generasi. Tak ayal lagi, sosok polisi dikesankan dalam istilah Prancis sebagai a corpse perdu, yaitu tindakan non-profesional yang terus berulang tanpa pembenahan secara nyata dan komprehensif.
Tidak mengherankan jika performa polisi dengan kualitas seperti ini mendistorsi citra konstruktif pasukan Bhayangkara ini. Padahal, sebagai institusi negara yang berfungsi sebagai pengayom dan pelindung rakyat, polisi pertama-tama harus memulai tugasnya dengan menanamkan "mencintai kemanusiaan dan menjaga kepercayaan".
Polisi memang dituntut untuk tegas dalam mengejawantahkan pemberantasan kriminalitas. Namun, dalam menghadapi kelompok teroris, apalagi pengunjuk rasa, polisi sangat tidak dikehendaki untuk selalu bertindak represif. Di sini aparat kepolisian harus mampu memilah dan memilih alasan kuat dengan pilar utama "pencegahan lebih baik daripada pengobatan".
Argumentasi sentral yang menjadi landasan terbitnya sikap apriori dan tidak simpatik publik di balik aksi berlebihan polisi adalah karena tindakan non-profesional polisi seperti itu sudah sangat sering terjadi. Padahal, bukankah Polri telah berkomitmen untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, jujur, dan profesional dalam memberikan layanan kepada masyarakat? Bahkan, sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VI dan VII/MPR/2000 dan UU Nomor 2/2002 sebagai dasar keterpisahan Polri dari TNI, korps Bhayangkara berkomitmen untuk menjauhkan diri dari kultur militeristik.
Namun tidak dapat disangkal bahwa proses keterpisahan TNI-Polri, sebagai buah reformasi, telah menimbulkan rangkaian efek destruktif. Betapa tidak, karena konsekuensi dari proses itu memposisikan TNI harus kembali ke barak untuk berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsi pertahanan negara. Akibatnya, berbagai aktivitas bisnis yang pernah dikelola TNI juga harus dilepas dan diserahkan kepada kalangan sipil demi memenuhi tuntutan publik yang mengharamkan TNI terlibat dalam kegiatan bisnis apa pun.
Maka, ruang-ruang kosong yang ditinggalkan TNI tersebut dijamah oleh berbagai kalangan, termasuk Polri sendiri. Sebutlah tugas pengamanan sentra-sentra usaha atau pengawalan mobilitas kepentingan bisnis, yang dulu dapat diperankan oleh anggota TNI dengan gaji yang cukup menggiurkan, kini lahan tersebut hampir dimonopoli oleh oknum Bhayangkara. Tak hanya itu, dengan kewenangan Polri sebagai penegak hukum, sejumlah oknum personel Bhayangkara dari semua tingkatan dikabarkan mempunyai rekening "gendut".
Sebagian kekayaan itu diperoleh murni dari aktivitas bisnis, seperti Aiptu Labora Sitorus dengan rekening mencapai Rp 1 triliun lebih, sebagian lagi dicaplok dari hasil korupsi dan gratifikasi, seperti Irjen Joko Susilo dan Komjen Suyitno Landung. Bukan hanya itu, wewenang Polri sebagai aparat penegak hukum juga sering dieksploitasi oleh mereka sendiri dengan berbagai modus. Banyak kasus sengaja dikriminalkan secara paksa atau, sebaliknya, lebih karena ketidakcermatan atau terserempet mafia hukum. Malah belakangan ini makin menggejala sikap arogansi dari oknum anggota Polri yang dengan mudahnya mengintimidasi orang lain.
Tak pelak lagi, selain warga masyarakat menjadi korban penganiayaan hak dan kehormatannya, oknum polisi juga tiba-tiba merasa paling berkuasa untuk melakukan penggeledahan, penahanan, penyitaan, bahkan perusakan barang milik warga dengan dalih penegakan hukum. Semua ini merupakan potret buram yang dicitrakan pasukan Bhayangkara pascareformasi.
Tragisnya, meski terjadi resistansi publik dalam bentuk serangan secara sporadis kepada prajurit Polri belakangan ini, tak sedikit pun hal itu mengilhami petinggi Polri untuk menjadikannya sebagai momentum introspeksi dengan mempermantap paradigma baru Polri dengan mengintensifkan proses pembenahan secara menyeluruh demi mewujudkan profesionalisme Polri yang lebih nyata. Presiden pun, sebagai atasan langsung Kapolri beserta segenap elite penyelenggara negara lainnya, justru memprovokasi Polri dengan berbagai ide yang berbau konfrontatif.
Semua itu terkesan memelihara, bahkan mensponsori, keberlanjutan konflik, tanpa sedikit pun melihat endapan borok Polri yang justru menjadi pemicu utama meningkatnya resistansi terhadap Polri. Perhatikan saja strategi penanganan Kantibmas dan penegakan hukum yang dilakukan Polri, baik dalam kasus terorisme maupun terhadap sejumlah konflik sosial masyarakat versus kaum kapitalis, Polri cenderung memihak kaum pemodal dengan tindakan represif terhadap masyarakat.
Namun borok Polri yang sangat menyengat dan menyakiti perasaan keadilan rakyat adalah fenomena indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak kriminal yang melibatkan sejumlah oknum anggota Bhayangkara ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa beberapa tempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba justru di-backing, bahkan dilakukan, oleh oknum polisi yang tega menjual barang sitaan. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sogok-menyogok dan lain-lain. Sampai di sini, kita patut menggugat janji tentang paradigma baru Polri yang semakin kehilangan arah dan tujuan. ●
Mencermati pelantikan Komjen Polisi Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo, 25 Oktober 2013, sejumlah pihak menaruh pesimisme dan keprihatinan. Pasalnya, Sutarman menjadi calon tunggal dari Istana. Padahal, selama memimpin Bareskrim maupun dua polda sebelumnya, tidak ada hal yang bernilai prestisius dan spektakuler. Hal ini menyiratkan kecurigaan publik bahwa pengangkatan Sutarman tersebut merupakan bagian dari mata rantai kepentingan Cikeas. Tidak salah jika majalah Tempo edisi 23 Oktober 2013 menurunkan ulasan tajam yang berjudul "Kapolri Selera Cikeas".
Hal ini semakin menebalkan keyakinan bahwa paradigma baru Polri yang menjadi jargon institusi ini pascareformasi kini semakin kabur lantaran pengangkatan Kapolri, yang menjadi lokomotif perubahan, justru dikangkangi oleh kepentingan penguasa. Ketika Hoegeng Imam Santoso diberhentikan secara mendadak oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971 karena dianggap sudah membahayakan kepentingan penguasa, sejak itu tak pernah lagi ada Kapolri yang benar-benar berjiwa kesatria dan menjunjung tinggi kejujuran serta profesionalisme Bhayangkara. Hampir semua silsilah Kapolri pasca-Hoegeng membenamkan diri dan tersandera dalam pusaran kepentingan penguasa.
Dengan konstelasi seperti itu, tantangan klasik Kapolri untuk mereformasi kultur kepolisian guna membangun kepercayaan publik sulit terwujud lantaran paradigma perubahan hanya menyentuh aspek struktural dan personal. Tengoklah citra diri polisi dewasa ini yang lekat dengan fenomena korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan aneka kriminalitas dalam menjalankan tugas. Nyaris tak ada pembenahan dari generasi ke generasi. Tak ayal lagi, sosok polisi dikesankan dalam istilah Prancis sebagai a corpse perdu, yaitu tindakan non-profesional yang terus berulang tanpa pembenahan secara nyata dan komprehensif.
Tidak mengherankan jika performa polisi dengan kualitas seperti ini mendistorsi citra konstruktif pasukan Bhayangkara ini. Padahal, sebagai institusi negara yang berfungsi sebagai pengayom dan pelindung rakyat, polisi pertama-tama harus memulai tugasnya dengan menanamkan "mencintai kemanusiaan dan menjaga kepercayaan".
Polisi memang dituntut untuk tegas dalam mengejawantahkan pemberantasan kriminalitas. Namun, dalam menghadapi kelompok teroris, apalagi pengunjuk rasa, polisi sangat tidak dikehendaki untuk selalu bertindak represif. Di sini aparat kepolisian harus mampu memilah dan memilih alasan kuat dengan pilar utama "pencegahan lebih baik daripada pengobatan".
Argumentasi sentral yang menjadi landasan terbitnya sikap apriori dan tidak simpatik publik di balik aksi berlebihan polisi adalah karena tindakan non-profesional polisi seperti itu sudah sangat sering terjadi. Padahal, bukankah Polri telah berkomitmen untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, jujur, dan profesional dalam memberikan layanan kepada masyarakat? Bahkan, sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VI dan VII/MPR/2000 dan UU Nomor 2/2002 sebagai dasar keterpisahan Polri dari TNI, korps Bhayangkara berkomitmen untuk menjauhkan diri dari kultur militeristik.
Namun tidak dapat disangkal bahwa proses keterpisahan TNI-Polri, sebagai buah reformasi, telah menimbulkan rangkaian efek destruktif. Betapa tidak, karena konsekuensi dari proses itu memposisikan TNI harus kembali ke barak untuk berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsi pertahanan negara. Akibatnya, berbagai aktivitas bisnis yang pernah dikelola TNI juga harus dilepas dan diserahkan kepada kalangan sipil demi memenuhi tuntutan publik yang mengharamkan TNI terlibat dalam kegiatan bisnis apa pun.
Maka, ruang-ruang kosong yang ditinggalkan TNI tersebut dijamah oleh berbagai kalangan, termasuk Polri sendiri. Sebutlah tugas pengamanan sentra-sentra usaha atau pengawalan mobilitas kepentingan bisnis, yang dulu dapat diperankan oleh anggota TNI dengan gaji yang cukup menggiurkan, kini lahan tersebut hampir dimonopoli oleh oknum Bhayangkara. Tak hanya itu, dengan kewenangan Polri sebagai penegak hukum, sejumlah oknum personel Bhayangkara dari semua tingkatan dikabarkan mempunyai rekening "gendut".
Sebagian kekayaan itu diperoleh murni dari aktivitas bisnis, seperti Aiptu Labora Sitorus dengan rekening mencapai Rp 1 triliun lebih, sebagian lagi dicaplok dari hasil korupsi dan gratifikasi, seperti Irjen Joko Susilo dan Komjen Suyitno Landung. Bukan hanya itu, wewenang Polri sebagai aparat penegak hukum juga sering dieksploitasi oleh mereka sendiri dengan berbagai modus. Banyak kasus sengaja dikriminalkan secara paksa atau, sebaliknya, lebih karena ketidakcermatan atau terserempet mafia hukum. Malah belakangan ini makin menggejala sikap arogansi dari oknum anggota Polri yang dengan mudahnya mengintimidasi orang lain.
Tak pelak lagi, selain warga masyarakat menjadi korban penganiayaan hak dan kehormatannya, oknum polisi juga tiba-tiba merasa paling berkuasa untuk melakukan penggeledahan, penahanan, penyitaan, bahkan perusakan barang milik warga dengan dalih penegakan hukum. Semua ini merupakan potret buram yang dicitrakan pasukan Bhayangkara pascareformasi.
Tragisnya, meski terjadi resistansi publik dalam bentuk serangan secara sporadis kepada prajurit Polri belakangan ini, tak sedikit pun hal itu mengilhami petinggi Polri untuk menjadikannya sebagai momentum introspeksi dengan mempermantap paradigma baru Polri dengan mengintensifkan proses pembenahan secara menyeluruh demi mewujudkan profesionalisme Polri yang lebih nyata. Presiden pun, sebagai atasan langsung Kapolri beserta segenap elite penyelenggara negara lainnya, justru memprovokasi Polri dengan berbagai ide yang berbau konfrontatif.
Semua itu terkesan memelihara, bahkan mensponsori, keberlanjutan konflik, tanpa sedikit pun melihat endapan borok Polri yang justru menjadi pemicu utama meningkatnya resistansi terhadap Polri. Perhatikan saja strategi penanganan Kantibmas dan penegakan hukum yang dilakukan Polri, baik dalam kasus terorisme maupun terhadap sejumlah konflik sosial masyarakat versus kaum kapitalis, Polri cenderung memihak kaum pemodal dengan tindakan represif terhadap masyarakat.
Namun borok Polri yang sangat menyengat dan menyakiti perasaan keadilan rakyat adalah fenomena indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak kriminal yang melibatkan sejumlah oknum anggota Bhayangkara ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa beberapa tempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba justru di-backing, bahkan dilakukan, oleh oknum polisi yang tega menjual barang sitaan. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sogok-menyogok dan lain-lain. Sampai di sini, kita patut menggugat janji tentang paradigma baru Polri yang semakin kehilangan arah dan tujuan. ●