THR
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 27 Juli 2014
Saya
dan istri saya punya beberapa pegawai: dua PRT, dua sopir, dan saya punya
staf pribadi (spri). Semua mau Lebaran masing-masing (mau beli baju
anak-anak, mau ke Kebun Binatang sama keluarga, mau mudik, dan sebagainya),
tetapi ongkosnya dibebankan ke kami, bos nya.
Padahal
mereka cuti sampai 2-3 minggu, kami harus bayar full gajinya plus THR (satu
bulan gaji full juga). Padahal di mana-mana, orang cuti melebihi jatah,
dipotong gaji, minimal dapat SP (surat peringatan), tetapi saya malah harus
tambah satu bulan gaji. Tambah celaka lagi spri saya yang nonmuslim pun
ikut-ikutan minta THR. Alasannya keluarganya banyak yang muslim. Lah ,
keluarganya yang muslim, kok saya yang menanggung Lebaran-nya? Ini dari mana logikanya?
Padahal dari uang pensiun PNS, saya enggak ada THR.
Saya
kerja di PTS (perguruan tinggi swasta) juga enggak ada THR dalam kontrak
saya. Honor sebagai konsultan dan penasihat di sana-sini juga enggak ada
THR-THR-an. Jadi tiap Lebaran yang ada saya dan istri pusing saja berduaan
urus RAPBRTR (Rencana Anggaran dan Belanja Rumah Tangga Ramadan) yang
awut-awutan. Untung, anak-anak semua sudah mandiri, jadi enggak usah
dipikirkan lagi. Tetapi, THR itu sudah telanjur jadi kebiasaan, bahkan adat,
bahkan sudah jadi budaya. Budaya yang salah kaprah. Artinya yang benar jadi
salah (enggak kasih THR) dan yang salah jadi benar (harus memberi THR).
Lebaran
yang jor-joran hanya khas Indonesia. Di negara-negara lain orang Lebaran
biasa-biasa saja. Agama pun menganjurkan puasa dan Idul Fitri diisi dengan memperbanyak
ibadah, bukan dengan makan-makan, baju baru, Kebun Binatang, dan mudik.
Kebiasaan ini justru sering menimbulkan masalah bagi pihak-pihak tertentu.
Sebagai contoh seorang kapolsek (kepala polisi sektor, setingkat kecamatan)
mengeluh karena ia bersama rekan-rekan kapolsek lain barusan menerima
perintah dari kapolres (kepala kepolisian resor, setingkat kabupaten) untuk
memberi THR kepada anak buah masing-masing.
THR
itu hanya Rp100.000 per anggota (relatif rendah dibandingkan dengan gaji polisi
yang minimal sekitar Rp2.500.000). Tetapi, karena di polseknya ada 60
anggota, kapolsek harus menyiapkan dana sebesar Rp6.000.000. Padahal dana THR
tidak disiapkan dalam anggaran Polri, baik dalam PGPol (peraturan gaji
polisi) maupun dalam dana operasional. Maka itu, kapolsek yang rata-rata
hanya berpangkat AKP (ajun komisaris polisi, setingkat kapten) atau kompol
(komisaris polisi, setingkat mayor) pusing sendiri karena perintah kapolres
harus ditanggungnya sendiri, padahal gaji penuhnya sendiri sebagai polisi
lebih rendah dari dana THR yang harus disiapkannya.
Maka
itu, dibutuhkan kreativitas yang luar biasa tinggi dari kapolsek untuk keluar
dari masalah ini. Ada kapolsek yang bisa melakukannya, tetapi lebih banyak
yang kena migran. Lagi pula tugas siaga I menjelang pilpres yang lalu membuat
kapolsek harus fokus kepada tugasnya. Tetapi, itulah faktanya, THR sudah
telanjur jadi adat, malah sudah jadi budaya. Kesalahannya di sini adalah
kapolres perintahkan kapolsek yang tanggung. Terang saja kapolsek kelimpungan.
Memangnya
kapolsek pabrik uang? Ini pola pikir Orde Baru, di mana para kasatwil
dianggap take it for granted bisa
memanfaatkan jabatannya untuk berbagai keperluan (di zaman KPK kok masih ada
pikiran begini, ya ?). Sementara itu, para kapolsek (dan bawahan umumnya)
juga rata-rata enggak punya nyali untuk bertanya kepada kapolres (atasan), ”Izin, mohon petunjuk, sumber dana bisa
diperoleh dari mana saja, ndan ?” Biar kapolresnya yang pusing untuk
menjawab pertanyaan yang mengandung kontradiksi itu.
Tetapi,
kalau sudah jadi budaya, mau tidak mau harus diadakan. Ibaratnya adat
pengantin Jawa, air siraman harus dari tujuh sumber dan kembang setaman harus
tujuh rupa. Tidak masuk akal sama sekali. Tetapi, itulah tuntutan adat
budaya, jadi harus dipenuhi. Kalau tidak, kualat . Begitu juga THR.
Dari
sudut ilmu manajemen maupun dari sudut agama, sangat dianjurkan untuk memberi
imbalan yang sangat layak kepada orang-orang yang sudah bekerja dengan baik.
Negara dan bangsa dibangun dengan bekerja, kata orang bijak. Bahkan ada Hadis
Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang sudah bekerja wajib dibayar
upahnya sebelum keringatnya kering. Di perusahaan swasta ada bonus, di
perkebunan ada tantiem, yang
besarnya bergantung pada besar-kecil laba perusahaan. Di lingkungan PNS
(pegawai negeri sipil) ada gaji ke- 13.
Itulah
sistem imbalan yang benar yang bergantung pada sistem merit , bukan pada
adat, apalagi agama. Kalau memakai kriteria agama, malah rancu. Muslim enggak
muslim sama-sama dapat THR karena terlalu ribet untuk menciptakan sistem THNt
(tunjangan hari Natal), THNy (tunjangan hari Nyepi), THW (tunjangan hari
Waisak), dan THI (tunjangan hari Imlek) yang terpisah-pisah. Belum kalau ada
pegawai-pegawai yang gonta-ganti agama. Tentu saja saya tidak bisa ikut-ikut
mencarikan jalan keluar karena saya bukan ulama, pejabat publik, atau
komandan. Tetapi, semangatnya adalah marilah kita kembali ke khitah Idul
Fitri yang aslinya tidak ada satu pun ayat dan hadis tentang THR.
Jadi
mari kita ber-Idul Fitri tanpa THR. Mau belanja baju buat anak-anak, mau
mudik, mau bagi-bagi duit ke anak-anak tetangga, silakan. Tetapi, dengan uang
sendiri, yang sudah ditabung sejak beberapa bulan sebelumnya. Ibaratnya kalau
kita mau mengawinkan anak, mau pakai air dari tujuh sumber atau pakai kembang
setaman tujuh rupa, silakan saja, tapi duitnya jangan minta bos.
Sementara
itu, saya pernah mendapat cerita tentang seorang tauke (sekarang dipanggil
bos ) yang marah-marah pada pegawainya, ”Giliran
Lebaran, lo minta THR! Giliran Imlek, lo minta angpau! Kapan giliran gua ...
haaa ?” ●
|