Daya
Saing Infrastruktur Transportasi Darat
Adrianto Djokosoetono ; Dewan Pertimbangan DPU Taksi Organda
|
KORAN SINDO, 30 Mei 2015
Rencana Presiden Joko
Widodo (Jokowi) mengembangkan infrastruktur sesungguhnya patut didukung semua
pihak. Keinginan Presiden tersebut menjadi logis ketika pemerintah memiliki
anggaran tambahan lebih dari Rp300 triliun pascapengalihan subsidi bahan
bakar minyak (BBM) sejak akhir 2014. Apalagi, kalangan pengusaha yang
tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga terlihat antusias
mendukung realisasi megaproyek infrastruktur ini. Sejatinya, infrastruktur
yang ideal, utamanya di luar Pulau Jawa, bukan lagi sekadar target, melainkan
suatu kebutuhan yang niscaya bagi Indonesia.
Bahkan menjadi
tuntutan nasional seiring dengan ikhtiar pemerintah mengurangi ekonomi biaya
tinggi (high cost economy). Survei Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) menyebutkan, Indonesia menempati peringkat terendah
dalam indeks kinerja logistik dengan skor hanya 2,5, di bawah Afrika Selatan,
Malaysia, Chili, Thailand, Brasil, Meksiko, India, Filipina, Vietnam, dan
Singapura yang menempati urutan paling baik dengan skor 4,5. Jadi, lewat
perbaikan infrastruktur, baik infrastruktur konektivitas, infrastruktur
pangan, maupun infrastruktur energi—sebagaimana ditekankan Presiden, ongkos
produksi dan distribusi bakal lebih efisien.
Pengembangan
saranaprasarana transportasi darat, laut, dan udara akan dapat menekan biaya
logistik yang selama ini menjadi momok dunia usaha. Industri jasa angkutan
darat sebagai bagian penting dari gerbong penggerak ekonomi nasional juga
akan semakin kuat. Perbaikan jalan rusak, penambahan ruas jalan baru,
pembangunan infrastruktur penunjang, serta pengembangan teknologi
transportasi adalah jawaban dari keruwetan lalu lintas.
Pemerataan Ekonomi
Seiring dengan
pemerataan pembangunan ekonomi ke arah Indonesia timur, infrastruktur transportasi
darat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Sektor maritim yang menjadi
prioritas pemerintah sudah pasti diikuti dengan geliat pertumbuhan bisnis di
daerah. Percepatan pembangunan berbagai pelabuhan, baik yang sudah ada maupun
pelabuhan baru, akan meningkatkan arus kendaraan dan logistik.
Begitu pun dengan niat
pemerintah menarik investor untuk menanamkan modalnya, khususnya di kawasan
industri di Indonesia timur yang berbasis sumber daya alam akan sangat
memengaruhi lalu lintas orang maupun barang. Yang tak kalah penting,
sebagaimana kerap disuarakan Organisasi Angkutan Darat (Organda),
pengembangan ekonomi di luar Jawa harus diikuti dengan penyiapan
infrastruktur transportasi secara matang.
Setidaknya, pemerintah
sekarang ini punya program membangun 13 kawasan industri di luar Jawa yang
sekurangkurangnya menelan anggaran USD20 miliar. Jangan sampai, kawasan
Indonesia timur mengalami permasalahan yang sama dalam infrastruktur jalan
sebagaimana yang terjadi di wilayah Jawa pada umumnya. Problem kemacetan
parah yang saat ini lazim terjadi di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta,
Bogor, Bandung, Surabaya, bahkan Bali merupakan akibat langsung dari
pembangunan infrastruktur transportasi darat yang telat.
Disebut telat karena
tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, termasuk transportasi umum,
tidak sanggup dikejar oleh pertumbuhan sarana jalan raya. Menurut data
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pertumbuhan jalan raya hanya
seperempat dari kecepatan pertumbuhan kendaraan bermotor. Akibatnya,
kemacetan menjadi semakin sulit terurai dan mobilitas warga masyarakat
tersendat.
Lebih-lebih
pertumbuhan ekonomi yang senantiasa diikuti peningkatan daya beli niscaya
akan mendorong pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor secara signifikan.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo),
penjualan kendaraan roda empat di Indonesia pada 2014 saja mencapai lebih
dari 1,2 juta unit. Bukan tidak mungkin, di Indonesia timur akan terjadi
keruwetan transportasi jika tidak diantisipasi sejak dini. Mumpung belum
terlambat.
Lima Hal Penting
Terhadap pembangunan
infrastruktur transportasi di Indonesia timur, paling tidak ada lima hal
penting yang perlu diperhatikan. Pertama , pemerintah harus benar-benar
memastikan pengalihan subsidi BBM dapat dirasakan langsung oleh masyarakat
salah satunya melalui perbaikan infrastruktur jalan raya.
Buruknya fasilitas
infrastruktur jalan yang ditandai oleh banyaknya jalan berlubang dan jalan
yang tidak rata membuat mobilitas masyarakat bisa dan dunia bisnis terganggu.
Kedua, jika di kota-kota besar saja jalan utamanya tidak memadai, apalagi di
daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh pemerintah, bisa jadi akan lebih
parah. Kecuali bisa mengakibatkan penggunaan BBM menjadi tidak efisien,
persoalan infrastruktur transportasi darat juga mengakibatkan angka
kecelakaan terus meningkat.
Demikian pula kerugian
material yang ditimbulkan menyusul seringnya penggantian suku cadang
kendaraan akibat rusaknya jalan raya. Ketiga, pengembangan infrastruktur di
kawasan Indonesia timur harus menggunakan konsep inklusif yang melibatkan
kontribusi masyarakat. Berbeda dengan penanganan wilayah Indonesia barat yang
sudah lebih dahulu dibangun, pembangunan wilayah Indonesia timur harus sesuai
dengan karakteristik kedaerahan.
Melalui pelibatan
masyarakat ini, iklim investasi di Indonesia timur bakal semakin menarik di
mata pemilik modal. Keempat, pembangunan infrastruktur transportasi di
wilayah timur mesti dimulai dari sektor prioritas yang berhubungan langsung
dengan masyarakat. Karena itu, keinginan kuat sejumlah pihak terkait, baik
pusat maupun daerah, dibutuhkan untuk bersinergi.
Tanpa keterlibatan
pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur, hasilnya tidak akan
optimal. Kelima, pengawasan dan konsistensi pelaksanaan proyek infrastruktur.
Tanpa pengawasan yang kuat, realisasi pekerjaan besar ini tidak akan mencapai
hasil yang diharapkan. Pembiayaan megaproyek infrastruktur ini tidak hanya
berasal dari ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pascakenaikan
harga BBM, melainkan juga badan usaha milik negara (BUMN) maupun investor
swasta baik lokal maupun asing.
Biaya ratusan triliun
rupiah ini tidak akan menghasilkan perbaikan signifikan karena diselewengkan
oknum yang tidak bertanggung jawab. Nah, lima hal tersebut penting dicermati
agar ikhtiar menekan biaya logistik yang tinggi dapat segera terlaksana. Ke
depan diharapkan perbaikan infrastruktur memangkas ongkos logistik hingga 10%
dari 20-30% yang terjadi sekarang ini.
Pada gilirannya, daya
saing produk barang dan jasa dapat semakin kompetitif, baik di pasar domestik
maupun pasar internasional. Dengan demikian, target Indonesia menjadi 10
besar kekuatan ekonomi dunia pada 2025 dengan pendapatan domestik bruto
USD4,5 triliun dan pendapatan per kapita USD15.000 per tahun bukan sekadar
pepesan kosong belaka. ●
|