Refleksi 94 Tahun NU
Oleh
: SALAHUDDIN WAHID
KOMPAS, 27 Januari 2020
“Pendapat dan sikap
PBNU bahwa NU adalah “ashabul qoror, bukan “ashabul haq”, harus dibahas dalam
muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa
depan Indonesia.”
Januari 2020
Nahdlatul Ulama (NU) berusia 94 tahun. Dengan kalender Hijriyah usianya 97
tahun. Berarti 3 dan 6 tahun lagi NU akan berusia 100 tahun. Suatu usia yang
panjang.
Tidak banyak
organisasi yang mencapai usia 100, apalagi berprestasi tinggi. Di Indonesia
organisasi besar yang sudah berusia 100 tahun dan punya prestasi tinggi adalah
Muhammadiyah.
Kita perlu
merefleksi perjuangan panjang jama’ah (warga) dan jami’yah (organisasi), supaya
bisa meneruskan dengan arah dan cara yang benar.
Pesantren
Tebuireng bekerja sama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah,
menggarap film “Jejak Langkah Dua
Ulama”, berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan dan KHM Hasyim Asy’ari.
Film itu diharapkan bisa menggambarkan perjuangan kedua tokoh itu dalam
mendirikan dua organisasi yang menjadi jangkar Indonesia.
NU
mengandung empat pengertian. Pertama adalah ajaran, kedua ulama dan pesantren,
ketiga warga (jama’ah). dan keempat organisasi.
Ajaran yang
dianut oleh organisasi NU adalah ahlissunnah wal jama’ah (aswaja) an
Nahdliyyah. Istilah aswaja dipakai oleh banyak kalangan Islam. Untuk memberi
kekhususan, diberi ciri an Nahdliyyah.
Dalam paham
keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah. Pahamnya
bersumber pada Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam bidang akidah, NU
mengikuti paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu
Manshur al-Maturidi.
Dalam bidang
fiqih NU mengakui madzhab empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Dalam tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam
lain.
Dalam
penerapan nilai-nilai Aswaja, NU
menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada. Dari sini aspek lokalitas NU
sangat jelas dan ditekankan.
Dalam sikap
kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan empat prinsip Aswaja: tawasut (sikap
tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan
pandangan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan
sesama manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan
mencegah kemungkaran).
Ada satu
aspek yang belum dicantumkan sebagai bagian dari aswaja an Nahdliyyah, yaitu
dalam bidang politik. NU ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945. NU adalah pelopor
dalam menerima Pancasila pada Muktamar 1984. NU ikut berjuang dalam ikhtiar
mendirikan departemen agama pada 1946.
NU menjadi
pelopor dalam terbitnya UU Perkawinan pada 1973-1974. Juga dalam terbitnya UU
Peradilan Agama pada 1989 serta berbagai UU yang mengakomodasi syariat Islam.
Ada aspek lain yang amat penting tetapi belum banyak dibahas, yaitu pemikiran
ekonomi Islam aswaja. Menurut saya ini perlu dimasukkan ke dalam aswaja an
Nahdliyyah,
Belakangan
para tokoh PBNU gencar berkampanye tentang Islam Nusantara, meski sejumlah
ulama NU menolak istilah itu seperti KH Hasyim Muzadi dan Lukman Hakim
Saifuddin.
Mereka lebih
setuju istilah Islam di Nusantara. Tampak bahwa para tokoh PBNU masih berbeda
pandangan dan pengertian tentang Islam Nusantara. Diharapkan Muktamar ke 34
bisa mempertegas substansi Islam Nusantara.
Ulama dan pesantren
Organisasi
NU didirikan oleh para ulama dan disebarkan oleh santri di ribuan pesantren. NU
adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.
Pesantren
didirikan oleh warga NU, bukan organisasi NU. Jadi mereka independen terhadap
organisasi NU.
Jumlah pesantren
di seluruh Indonesia saat ini mencapai 28.000, berkembang pesat dari 10.000
pesantren pada 1999. Sebagian besar adalah pesantren kecil. Di Jawa sekitar 80
persen. Lebih dari 90 persen adalah pesantren warga NU.
Muhammadiyah
dan Hidayatullah dalam dua dekade terakhir giat mendirikan pesantren. Ratusan
pesantren mendirikan sekolah tinggi agama dan belasan pesantren mendirikan
universitas.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di
Nusantara, memberikan sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan bangsa,
memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Tetapi perhatian pemerintah belum
sebanding dengan peran pesantren.
Direktorat
yang membawahkan pesantren baru berdiri tahun 2000. Dengan adanya UU Pesantren,
diharapkan direktorat ditingkatkan menjadi direktorat jenderal: semacam
“affirmative program” untuk mendorong pesantren lebih maju.
Menurut
lembaga survei, jumlah orang yang mengaku warga NU dan cenderung ke NU mencapai
40 persen jumlah umat Islam, sekitar 90-95 juta. Itu terdiri dari mereka yang
mengikuti ajaran aswaja an Nahdliyah, para keturunan warga NU atau yang
cenderung pada sikap keberagamaan NU. Kebanyakan dari mereka adalah petani dan
masyarakat menengah bawah.
Warga NU
alumni pesantren sudah banyak yang belajar di universitas ternama di berbagai
negara Barat, tidak hanya di Timur Tengah. Muncullah perbedaan penafsiran
ajaran Islam, yang harus dijembatani dengan arif.
Kita sering
mendengar ucapan bernada bangga dari tokoh NU tentang fakta jumlah warga
NU. Apakah fakta itu membuat NU dalam
politik lebih kuat? Ternyata tidak.
Dalam pemilu
2019, menurut exit-poll sebuah lembaga survei, 15 persen warga NU memilih PKB,
17 persen memilih PDIP, dan 5 persen memilih PPP (partai yang NU pernah
terlibat di dalamnya).
Apakah fakta
itu membuat prestasi organisasi NU lebih baik dibanding ormas lain? Juga tidak.
Ribuan pesantren dan sekolah/masyarakat yang berada di dalamnya bukan prestasi
organisasi NU. Jusuf Kalla pernah mengatakan, Muhammadiyah adalah holding
company, NU lebih mirip franchise.
Organisasi NU
Organisasi
NU didirikan pada Januari 1926 untuk meningkatkan efektivitas dakwah jama’ah
NU. Sampai tahun 1950-an organisasi NU berjalan baik dan berencana kerja sama
ekonomi dengan pihak Jepang.
Saya ingat,
pada 1951/52 saya sering diajak oleh ayah saya mengunjungi percetakan Yamunu
(Yayasan Muawanah NU) di Jalan Juanda dekat rel. Percetakan itu mencetak buku
nikah. Tetapi beberapa tahun kemudian percetakan berhenti karena order
dialihkan ke percetakan milik tokoh NU.
Saya juga
ingat, pada 1959 dalam rangka pelatihan pandu Ansor untuk Jambore Internasional
di Makiling Philipina, saya dan sejumlah kawan menginap di gedung milik NU di
Jalan Sudirman.
Di banyak
kota terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, ada fasilitas
sosial, kesehatan, dan pendidikan yang didirikan organisasi NU dan organisasi
di bawahnya terutama Muslimat NU.
Setelah NU
berubah menjadi Partai NU akhir April 1952, budaya dan paradigma ormas NU
berubah menjadi partai politik. Fokus organisasi NU bergeser dari usaha sosial
dan pendidikan menuju kegiatan politik.
Titik lemah
NU justru terletak pada organisasinya. Ketua Umum PBNU pasca KHA Wahid Hasyim
(wafat April 1953) bukan tokoh yang sadar organisasi termasuk aspek keuangan.
Organisasi badan otonom dan lembaga di bawah PBNU yang memberi perhatian besar
kepada kegiatan sosial dan pendidikan adalah Muslimat NU dan Fatayat NU.
Praksis parpol
Banyak tokoh
PBNU pada posisi strategis adalah
politisi atau bersikap politis. Paradigma dan praksis organisasi menjadi
seperti parpol: pragmatis dan menghalalkan segala cara. Muktamar NU ke 32
(Makassar) dan Muktamar ke 33 (Jombang) menjadi contoh nyata.
Satu masalah
lain di dalam organisasi NU adalah kerancuan kepemimpinan: siapa pemimpin
tertinggi dalam organisasi NU, antara Rois Aam dan Ketua Umum? Secara teori,
yang tertinggi adalah Rois Aam, tetapi karena keduanya dipilih dalam muktamar,
ketua umum tidak selalu manut pada rois aam. Seperti ada dua matahari.
Sejak awal rois aam adalah penentu kebijakan
dan ketua umum adalah pelaksana
kebijakan. Jadi ketua umum sebaiknya organisator, pemimpin dan punya kemampuan
manajerial. Dia eksekutor bukan hanya orator.
Ketua umum
sebaiknya punya integritas tinggi, berwawasan agama luas, mampu berkomunikasi,
dan tidak menggunakan posisi untuk kepentingan diri dan kelompok.
Kenyataannya,
kehadiran NU sebagai partai politik 1952-1984 amat membekas dalam diri para
tokoh NU. Keterlibatan sebagai partai politik selama 32 tahun tidak mudah dihapus
bekasnya. Apa lagi pada 1998 tokoh-tokoh PBNU mendirikan PKB. Jadi NU lepas
dari keterlibatan politik hanya pada 1984-1998 (14 tahun).
Kiprah NU
dalam kehidupan politik sudah diatur di dalam Khittah NU. Khittah menjadi
landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU: perseorangan maupun
organisasi.
Khittah NU
ada 9 butir: 1. Mukaddimah; 2. Pengertian; 3. Dasar-dasar Faham Keagamaan NU;
4. Sikap Kemasyarakatan NU; 5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan;
6.Beberapa Ikhtiyar; 7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama; 8. NU
dan Kehidupan Bernegara; 9. Khatimah.
Perhatian
masyarakat terutama pada butir 8 tentang NU dan kehidupan bernegara. Di
dalamnya terkandung banyak alinea, tetapi fokus masyarakat hanya pada alinea
kelima yang isinya adalah: “NU sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak
terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga. Setiap warga NU adalah warga negara
dengan hak-hak politik dan dilindungi undang-undang”.
Sejak awal
sudah ada yang mengusulkan supaya NU tidak sepenuhnya meninggalkan politik
praktis. Mahbub Djunaedi mengusulkan “Khittah Plus”, tetapi tidak ditanggapi
positif.
Rois Aam
PBNU KH Sahal Mahfudz menyatakan bahwa politik NU adalah politik kebangsaan,
politik keumatan, bukan politik kekuasaan atau politik praktis. KH As’ad
Syamsul Arifin menyatakan bahwa NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.
Maksudnya organisasi NU tidak ikut partai apapun, tetapi warga NU ada di banyak
partai.
Dalam
kenyataan, organisasi NU pergi ke (ikut) satu partai (PKB). Bahkan sedikit atau banyak ada campur tangan
partai terhadap struktur NU. Ternyata warga NU yang memilih PKB hanya 15% dan yang memilih PPP hanya 5%. Struktur
NU mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan 2/3 warga NU memilih pasangan itu.
Yang kurang
elok, saat tidak ada menteri yang dianggap mewakili PBNU, tokoh-tokoh NU
seperti ngambek. Tentu tidak ada menteri yang mewakili PBNU, karena NU bukan
partai politik, walaupun berperi laku dan bertindak seperti partai.
Struktur NU
saat ini berpendapat bahwa Khittah NU dalam masalah politik bersifat
situasional dan kondisional. Mereka mengatakan bahwa NU adalah “ashabul qoror,
bukan hanya ashabul haq”.
NU juga
berkepentingan dengan kekuasaan, bukan hanya kebenaran. Pengalaman sejarah
membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah
politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan,
sosial, kesehatan dan ekonomi) terabaikan.
Pendapat dan
sikap PBNU bahwa NU adalah “ashabul qoror, bukan “ashabul haq”, harus dibahas
dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan
masa depan Indonesia.
NU sebaiknya
tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat
madani (civil society). Sikap istiqomah dan konsisten bergiat membuat NU
bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia.
(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren
Tebuireng)