Komisi Yudisial
Jakob Tobing ;
Ketua PAH I BP MPR, Amandemen UUD 1945, 1999-2002;
Program Doctorate, Van
Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden
|
KOMPAS,
29 Juli 2015
Harian Kompas edisi 9 Juli 2015 memberitakan pertemuan
Wakil Ketua Mahkamah Agung (Bidang Non-Yudisial) Suwardi dengan Ketua MPR
Zulkifli Hasan. Pada kesempatan itu Suwardi menyampaikan usul (lembaga) MA
agar Komisi Yudisial dihapus dari Bab IX UUD 1945.
Suwardi berpendapat masuknya KY dalam Bab IX UUD 1945
tentang kekuasaan kehakiman adalah sebuah kecelakaan konstitusi. Sebuah media
mengutip Suwardi menyatakan kekuasaan kehakiman harusnya benar-benar berkuasa
tanpa harus diawasi. Media massa juga memberitakan pimpinan MPR berjanji
mengkaji usul MA itu.
Berita itu menyeruak di tengah langkah KY mengajukan
kepada MA rekomendasi sanksi etik untuk hakim tunggal Sarpin Rizaldi terkait
cara penanganan perkara praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan melawan
KPK. Pada saat yang sama, ramai berita soal perdagangan hukum. Sejumlah
hakim, pengacara, dan penegak hukum lainnya di Medan, Bandung, Semarang, dan
lain-lain juga menjadi terpidana atau tersangka dalam berbagai perkara pidana
suap dan korupsi.
Di pihak lain, dalam kaitan dengan masalah KY dan MA, Kepala
Polri Badrodin Haiti menyarankan agar antarlembaga tidak usah saling
mengoreksi (Kompas.com, 17/7/2015).
Pasal 24A (2) dan 24B UUD 1945 hasil amendemen tahap 3
yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR 9 November 2001 memerintahkan
pembentukan KY. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan wewenang dan tugas kepada KY
untuk mencalonkan hakim agung kepada DPR dan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keputusan diambil MPR
dalam rangka reformasi Indonesia untuk membangun fondasi negara demokrasi dan
negara hukum.
Pasal 1 Ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan ada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD menggantikan ayat lama yang menyatakan
kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Pasal 1 Ayat (3) ditambahkan
untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rule of law state). Sejalan dengan itu, amandemen UUD 1945
menegaskan, Indonesia menganut asas-asas pemisahan kekuasaan, checks and balances, kekuasaan
kehakiman yang merdeka, penghargaan hak-hak asasi manusia, melakukan
sirkulasi kekuasaan secara demokratis dan periodik, dan lain-lain.
Reformasi konstitusi juga menegaskan bahwa semua lembaga
negara memperoleh kekuasaannya dari UUD 1945, dan UUD 1945 adalah hukum
tertinggi yang harus ditaati semua pihak. Dengan itu jelas bahwa demokrasi
Indonesia adalah demokrasi konstitusional.
Dengan demikian, yang menjadi rujukan final kekuasaan
bukan kehendak politik kekuasaan atau orang yang berkuasa (rule by law dan/atau rule of man), tetapi UUD 1945 (rule of law) dan undang-undang yang
berlaku. Dalam kaitan mana konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 ditegakkan
melalui pembentukan Mahkamah Konstitusi yang antara lain berwenang melakukan
uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945.
Independensi kekuasaan kehakiman
Implikasi perubahan itu amat mendasar dan luas. Hukum
menjadi rujukan untuk semua hal dan dengan demikian proses yudisialisasi
terjadi di semua lini, termasuk politik dan ekonomi.
Dengan proses yudisialisasi itu dan independensi kekuasaan
kehakiman yang memang diperlukan agar kekuasaan kehakiman dapat melakukan
tugas dan kewenangannya untuk menegakkan hukum secara benar dan imparsial,
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu menjadi sebuah kekuasaan yang besar dan
menentukan.
Namun, hukum tidak dapat mengartikan dan menerapkan
dirinya sendiri. Dalam penerapannya, hukum tidak dapat dipisahkan dari
keterlibatan manusia, dalam hal ini hakim. Dengan keterlibatan hakim, yang
juga manusia, kemungkinan hukum terpengaruh secara negatif dan menjadi alat
kepentingan individu hakim (rule of judges atau rule of man), sesuatu yang
justru ingin dihindari dengan rule of law, dapat terjadi. Dan kepentingan itu
tidak terbatas dalam bentuk uang, tetapi bisa juga dalam bentuk kepentingan
sosial-politik dan sebagainya.
Oleh karena itu, dan sejalan dengan paham demokrasi,
kekuasaan kehakiman yang masuk jauh ke dalam setiap ranah kehidupan
(yudisialisasi) itu memerlukan akuntabilitas. Kekuasaan kehakiman jangan
sampai menjadi kekuasaan tertutup dan tidak tersentuh. Pengawasan internal
saja tidak cukup untuk membangun akuntabilitas yang diperlukan. Kekuasaan
kehakiman yang amat besar dan luas harus bisa dipertanggungjawabkan dan
karena itu harus transparan.
Demikianlah, maka independensi dan akuntabilitas kekuasaan
kehakiman sama-sama diperlukan, tidak bertentangan satu dengan yang lain,
adalah dua muka dari satu koin yang sama. Tujuh belas abad yang lalu,
Aristoteles telah mengingatkan bahwa karakter dan orientasi hakim adalah
unsur esensial dalam penegakan hukum.
Selama proses amandemen, Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan
Pekerja MPR mendiskusikan topik ini secara mendalam. PAH I berpendapat perlu
ada mekanisme dan atau lembaga yang berwenang menjaga akuntabilitas hakim
tanpa mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. MPR pada waktu itu
berpendapat, independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman itu
bergandengan dan tidak bertentangan.
Akuntabilitas kekuasaan kehakiman
Gagasan itu selanjutnya berkembang dalam dua bentuk.
Pertama, membentuk lembaga KY di setiap provinsi dan pada tingkat nasional,
dengan beranggotakan pakar hukum dari perguruan tinggi, tokoh praktisi hukum,
dan tokoh masyarakat. KY diberi kewenangan yang luas. Pada tingkat daerah
untuk melakukan rekrutmen hakim dan promosi hakim dan pada tingkat nasional
untuk mencalonkan hakim agung.
Kemudian, sesuai tingkatannya, KY diberi kewenangan untuk
menegakkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman, tanpa mencampuri kewenangan
independen hakim untuk memeriksa dan memutus sebuah perkara. Dengan itu,
diharapkan rekrutmen dan promosi hakim transparan dan tidak hanya berdasarkan
kemampuan dan keahlian, tetapi juga berdasarkan karakter dan rekam jejak yang
baik dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman dapat terjaga.
Gagasan yang kedua, KY, yang terdiri dari pakar dan tokoh
yang mumpuni, cukup pada tingkat nasional dengan wewenang dan tugas untuk
mencalonkan hakim agung kepada DPR dan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Sebagaimana direkam dalam risalah, PAH I juga membicarakan
kemungkinan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Ombudsman diatur
dalam UUD dalam kerangka integrasi kekuasaan kehakiman.
Dari studi banding, antara lain ke Afrika Selatan, dan
dari sumber-sumber lain PAH I memperoleh perbandingan dan masukan mengenai
akuntabilitas kekuasaan kehakiman. Pasal 165 Ayat (2) Konstitusi Afrika
Selatan tahun 1996 menegaskan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka yang berada di tangan pengadilan dan hanya tunduk kepada konstitusi
dan undang-undang yang berlaku, yang harus ditegakkan secara imparsial, tanpa
rasa takut, pilih kasih, dan prasangka.
Kemudian, Pasal 178 Ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan
memerintahkan pembentukan Komisi Yudisial (Judicial Service Commission/JSC).
JSC berwenang, antara lain, mengangkat hakim dan menyelidiki aduan
mengenai pejabat kehakiman di samping memberikan masukan kepada pemerintah
mengenai masalah-masalah yudisial dan administrasi kehakiman.
Pasal 177 Ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan juga
mengatur, seorang hakim dapat diberhentikan hanya apabila JSC atau National
Assembly (DPR) berkesimpulan bahwa hakim itu tidak memiliki kapasitas dan
kompetensi yang cukup atau melakukan kesalahan yang serius.
Demikianlah pada akhirnya MPR berpendapat, KY memang perlu
dibentuk oleh UUD yang secara sistemik diperlukan sebagai bagian dari
konstitusi karena perannya yang melekat pada eksistensi kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan akuntabel, dan bukan bersifat extraordinary, ad hoc, atau pendampingan, sedangkan KPK,
Ombudsman, dan lain-lain cukup dibentuk melalui UU biasa.
Selanjutnya, musyawarah MPR pada waktu itu berkesimpulan
sudah cukup jika KY hanya ada pada tingkat nasional dan berfungsi dalam
rangka rekrutmen hakim agung di samping fungsi menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku (semua) hakim dan tidak perlu
sampai pada rekrutmen dan promosi hakim.
Tentu saja UUD 1945 dapat diubah dan diperbaiki seandainya
ada yang dinilai kurang tepat atau dianggap tidak mendukung langkah-langkah
reformasi. Semua pihak, perorangan warga negara maupun lembaga, boleh
mempunyai pendapat dan usul untuk penyempurnaan UUD 1945. Untuk itu, UUD 1945
mempunyai tata cara melakukan perubahan UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 3
dan Pasal 37. Itulah tata cara yang harus diikuti apabila hendak melakukan
perubahan pada UUD 1945.
Namun, sebelum itu, ketentuan UUD 1945 mengikat dan harus
ditaati oleh semua pihak. Dalam hubungannya dengan hubungan KY dan MA, kedua
lembaga harus sama-sama menghormati ketentuan UUD 1945. MA dan KY
masing-masing memperoleh kewenangannya langsung dari UUD 1945. Karena itu,
jika salah satu, MA atau KY, merasa ada yang kurang pas dan perlu ada
keputusan, MA atau KY dapat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengambil
keputusan, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang antara
lain mengatur bahwa MK berwenang mengadili dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar