Ketika Investor Jadi Panglima
Firdaus Cahyadi ;
Direktur Eksekutif One World-Indonesia
|
KOMPAS,
29 Juli 2015
Kekhawatiran para pegiat lingkungan hidup terhadap
penyatuan izin lingkungan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Penanaman
Modal akhirnya terbukti sudah. Pada awal Juli ini, sebuah portal berita
memberitakan bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengusulkan
penyederhanaan perizinan izin mendirikan bangunan (IMB) yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007, dengan penghapusan
persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau upaya
pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).
Amdal adalah salah satu prasyarat pembangunan yang
berpotensi berdampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Kini,
ketika perizinan disatukan di bawah koordinasi BKPM, amdal pun diusulkan
dihapuskan. Alasannya jelas: amdal adalah instrumen lingkungan yang
menghambat investasi.
Kepala BKPM sepertinya lupa atau tak peduli bahwa diabaikannya
amdal menjadi pemicu kerusakan lingkungan hidup. Kehancuran ekologis di
Jakarta adalah salah satu contohnya. Di Jakarta, daerah resapan berupa ruang
terbuka hijau (RTH), situ, ataupun hutan kota telah banyak berubah fungsi
menjadi kawasan komersial, apartemen, perumahan mewah, dan juga pusat
perbelanjaan.
Sudah tampak jelas bagaimana hilangnya hutan kota di
Jakarta untuk pembangunan yang mengabaikan lingkungan hidup. Lihatlah hutan
kota di kawasan Senayan. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan
kawasan seluas 279 hektar ini sebagai RTH. Di atasnya hanya boleh berdiri
bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total.
Namun, di kawasan itu kini telah muncul Plaza Senayan (pusat belanja dan
perkantoran, dibuka 1996), Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23
Juni 2006), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat
belanja, dibangun pada 1974), dan bangunan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana
Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk
hijau Jakarta. Kini, hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence
I (apartemen, dibangun pada 2002, selesai 2004), Mediterranean Garden
Residence II (apartemen, dijual pada 2005), dan Mal Taman Anggrek (apartemen
dan pusat belanja, dibuka 2006). Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran
menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di
kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.
Krisis ekologis
Apa dampak dari pembangunan yang mengabaikan lingkungan
hidup itu? Krisis ekologis! Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah
ternyata justru menjadi air larian (run
off) penyebab banjir. Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI
Jakarta menyebutkan, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di
Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sisanya,
73,4 persen, menjadi air larian yang berpotensi menimbulkan banjir di
perkotaan.
Perencanaan air larian dan juga limbah dalam suatu bangunan
itu muncul dalam dokumen amdal. Jika kemudian amdal dalam mendirikan bangunan
dihapuskan, hampir dapat dipastikan krisis ekologis akan semakin mudah
terjadi dan meluas.
Contoh nyata sebuah kegiatan pembangunan yang mengabaikan
amdal adalah kasus Lapindo. Pada 2009, Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH)
Rachmat Witoelar menilai kasus lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo
Brantas merupakan akibat amdal yang diremehkan. Bahkan menteri lingkungan
hidup saat itu juga menengarai banyak perusahaan, rumah sakit, dan sebagainya
yang meremehkan amdal. Menurut dia, Menneg LH telah menghentikan puluhan
proyek yang tidak layak lingkungan hidup dengan instrumen amdal. Penghentian
itu bukan dimaksudkan untuk menghalangi investasi, melainkan didasarkan
kajian ilmiah untuk menghindari bencana ekologis seperti lumpur Lapindo.
Padahal, amdal dan perizinan lingkungan hidup lainnya
bukan hanya persoalan teknis di lapangan dan laboratorium. Ada dimensi sosial
di dalamnya, yaitu partisipasi publik. Dalam perizinan lingkungan hidup,
masyarakat yang berpotensi terkena dampak dari pembangunan atau investasi itu
harus dilibatkan sejak awal. Dengan dihapuskannya amdal oleh BKPM, hampir
dapat dipastikan persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan
diabaikan.
Penyingkiran partisipasi warga dan pengabaian dampak
lingkungan hidup ini tentu akan menjadi berita gembira bagi para investor.
Namun, hal itu akan menjadi kabar buruk bagi warga. Investasi memang akan
lebih mudah, tetapi kerusakan lingkungan hidup juga akan semakin cepat dan
meluas.
Jika memang pemerintah, dalam hal ini BKPM, ingin memotong
birokrasi perizinan, seharusnya yang lebih banyak dipotong adalah birokrasi
yang memang diciptakan untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan amdal, yang
dibuat bukan sebagai pintu masuk korupsi, tetapi untuk sarana pengendalian
pembangunan agar tidak membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan hidup.
Masih banyak perizinan lain di luar lingkungan hidup yang bisa dipangkas.
Saat ini kita memang butuh investasi untuk pertumbuhan
ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keberlanjutan ekologi
akan menjadi pertumbuhan ekonomi semu. Di atas kertas memang terlihat ada
pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya justru banyak warga yang
menderita karena keselamatannya terancam akibat kerusakan lingkungan hidup.
Presiden Joko Widodo harus melihat usul BKPM yang ingin
menghapuskan amdal ini sebagai sinyal yang membahayakan keselamatan warga dan
lingkungan hidup. Usul ini harus dengan tegas ditolak, sebab bagaimanapun
kewajiban pemerintah adalah melindungi keselamatan warganya. Banyaknya
investor tidak akan bermakna jika itu justru mengancam keselamatan warga.
Oleh karena itu, keselamatan rakyat yang seharusnya menjadi panglima, bukan
investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar