Eradikasi
Pelecehan Seksual
Muladi ; Tim Ahli Perumus RUU
KUHP
|
KOMPAS,
31 Januari
2018
Tajuk Rencana harian ”Kompas” (10/1/2018)
dan berbagai media, baik nasional maupun internasional, telah mengangkat
berita yang menggemparkan tentang pengungkapan (”breaking the silence”)
skandal pelecehan seksual (”sexual harassment”) yang dilakukan oleh Harvey
Weinstein, tokoh berpengaruh dalam industri film Hollywood, oleh puluhan aktris
Hollywood yang menjadi korbannya.
Hal ini pertanda bahwa genderang eradikasi
(pemberantasan) pelecehan seksual harus digalakkan.
Reaksi kolektif dilakukan melalui aksi
solidaritas oleh para aktor dan aktris yang mengenakan pakaian serba hitam di
atas karpet merah, disertai hadirin lain, saat penganugerahan Golden Globe
Awards 2018, 7 Januari 2018, di Beverly Hills. Nuansa protes terhadap skandal
pelecehan seksual terlihat mendominasi upacara itu (time’s up movement).
Di Jakarta, keluhan tentang terjadinya
pelecehan seksual (sexual harassment) sampai saat ini sering hanya dikaitkan
dengan perilaku seksual yang merendahkan wanita di lingkungan publik, seperti
yang sering terjadi dalam transportasi umum di dalam bus transjakarta koridor
padat atau di dalam kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Akibatnya, hal itu
menimbulkan pemikiran jangka pendek, misalnya memisahkan sarana transportasi
bagi pria dan perempuan.
Pelecehan seksual dalam hal ini biasanya
dianggap sekadar merupakan perilaku bernuansa seksual yang tidak dikehendaki
(unwelcomeness) oleh si korban, baik secara lisan maupun fisik, dan dianggap
sebagai perbuatan cabul biasa atau perbuatan yang tidak menyenangkan.
Pengalaman di sejumlah negara dan juga di
Indonesia menunjukkan, yang lebih parah lagi sebenarnya adalah pelecehan
seksual terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan kerja. Hal ini jarang
terungkap karena korbannya tidak memiliki ketegasan dan keberanian untuk
bereaksi atau melaporkannya kepada yang berwajib
(breaking
the silence) karena berbagai sebab yang masuk akal.
Si korban percaya bahwa keberatannya atau
penolakannya terhadap pelecehan seksual selalu mengandung bahaya atau
kerugian baginya dalam kaitan dengan hak dan kewajiban dalam pekerjaannya
atau lingkungan kehidupannya.
Tiga
kategori
Pelecehan seksual terhadap perempuan di
lingkungan kerja pada dasarnya mengandung tiga kategori yang dapat berkaitan
satu sama lain.
Pertama, kategori Quid pro Quo atau ”Ini
untuk Itu” (semacam kompensasi). Dalam kategori ini, pelecehan seksual bahkan
dapat ditafsirkan sebagai pemerasan (blackmail) karena kepatuhan atau
penolakan si korban terhadap pelecehan seksual mengandung bentuk persyaratan
yang berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kemudahan, kenaikan gaji, janji
untuk dipromosikan, atau sebaliknya degradasi.
Kedua, kategori pembalasan (retaliation)
dalam hal mana kepatuhan atau penolakan si korban terhadap perbuatan tersebut
digunakan sebagai dasar bagi keputusan si pelaku untuk memengaruhi pekerjaan
yang bersangkutan.
Ketiga, kategori permusuhan (hostility).
Dalam hal ini perbuatan tersebut bertujuan atau berakibat tindakan pembalasan
jika si korban tidak mematuhinya, berupa gangguan yang tidak beralasan
terhadap kinerja individual atau menciptakan lingkungan kerja yang bersifat intimidasi,
permusuhan, atau bersifat menyakitkan atau menghina yang bersifat ofensif
(Broderick and Saleen, 2010).
Bentuk perbuatan sangat bervariasi, seperti
rayuan, ucapan, memperlihatkan sesuatu yang berbau pornografi, perintah,
ancaman, pembatasan yang pada dasarnya berbau penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power), atau status yang berkaitan dengan fungsi dalam pekerjaannya, untuk
memperoleh imbalan bernuansa seksual. Antara pelaku dan korban tidak dalam
tingkatan yang sama serta perbuatan itu biasanya dilakukan berulang-ulang dan
mengandung penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih dalam lagi, pelecehan seksual
tersebut mengandung unsur diskriminasi berupa perlakuan yang berbeda status
atas dasar perbedaan jenis kelamin yang sangat merugikan (prejudicial treatment)
bagi korban dan mengandung unsur penghinaan, pelanggaran hak-hak asasi
manusia (HAM), mempermalukan, menimbulkan rasa direndahkan, mencederai
martabat korban, gangguan terhadap hak pribadi, pembunuhan karakter, rasa
turut bersalah karena mendiamkan, gangguan mental, hilangnya produktivitas
kerja, serta pelanggaran HAM dan kehormatan seseorang.
Yang menarik adalah bahwa data pelecehan
seksual di sejumlah negara cenderung sering terjadi di lingkungan pendidikan,
pusat perekrutan dan pelatihan kerja, perguruan tinggi, baik dalam hubungan
dosen-mahasiswa, antarmahasiswa, pimpinan-staf, maupun pimpinan-karyawan,
yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan yang tidak
sederajat.
Di pelbagai perguruan tinggi di Amerika
Serikat dan Eropa, perbuatan seperti olok-olokan atau julukan yang
merendahkan dan berbau seksual, komentar jorok tentang badan dan pakaian,
memaksa kencan atau bertemu pribadi, surat bernada seksual, sampai serangan
seksual masuk kategori pelecehan seksual.
Langkah-langkah
komprehensif
Seperti di negara-negara lain,
kriminalisasi terhadap pelecehan seksual harus dilakukan tersendiri (delictum sui generis), terpisah dari
pengaturan tindak pidana kesusilaan biasa karena hakikat dan dampak bagi si
korban sangat luas (depresi, marah, dan merasa tidak berdaya).
Indonesia cukup beralasan untuk
mengkriminalisasi secara khusus karena dengan UU No 7 Tahun 1984 Indonesia
telah mengesahkan (meratifikasi) Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW, 1979). Lebih-lebih berbagai instrumen
internasional, khususnya Resolusi SU PBB No 48/104, telah menyatakan bahwa
kekerasan terhadap perempuan mencakup pula pelecehan seksual. Dalam hal ini
sanksi pidana, perdata, dan administrasi dapat dikembangkan bersama dengan
langkah-langkah preventif lainnya.
Di Israel dan Filipina hal tersebut diatur
dalam UU tentang Pelecehan Seksual, di Inggris diatur dalam UU
Antidiskriminasi, di Perancis dan Federasi Rusia diatur tersendiri dalam
KUHP-nya, serta di beberapa negara bagian Amerika Serikat dikaitkan dengan
diskriminasi seksual dan hukum perburuhan dalam kerangka penyalahgunaan
kekuasaan. Bahkan, Masyarakat Uni Eropa berusaha merumuskan suatu direktif
khusus tentang hal ini sejak 2002. Semuanya mengategorikan pelecehan seksual
sebagai tindak pidana. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan
perdata dan administratif.
Pelecehan seksual yang menciptakan situasi
lingkungan kerja dan lingkungan kehidupan yang diskriminatif dan
transaksional serta penyalahgunaan kekuasaan yang berbau seksual tersebut
tidak boleh didiamkan sebagai kejahatan tersembunyi (hidden crime). Langkah preemtif, preventif, dan represif secara
khusus harus dilakukan. Organisasi-organisasi perempuan, termasuk Komnas HAM
Perempuan, harus terus melakukan sosialisasi agar si korban berani melaporkan
apa yang terjadi dan kemudian memperoleh perlindungan, dalam kerangka prinsip
kepekaan dan kesetaraan jender.
Dalam hal ini semacam pedoman bagi korban (victim’s guide) perlu dirumuskan. Di
samping itu, desakan kepada DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan dan anak harus didukung. ●
|