Musim Politik Basuki
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 30 April
2016
Kita memasuki musim politik yang
"tidak biasa" sehubungan dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang
baru akan berlangsung Februari 2017. Musim politik menjadi tidak biasa karena
situasi dan kondisi politik nasional beberapa bulan terakhir sudah mulai
panas sekalipun Pilgub DKI masih lama.
Sikon (situasi dan kondisi)
menjadi panas karena Gubernur DKI merupakan jabatan vital dan strategis,
terutama sebagai administrator ibu kota negara yang layak dipandang sebagai
"Indonesia kecil" ini. Ada fenomena baru: jika sukses memimpin ibu
kota, sang gubernur sudah "naik kelas" untuk memimpin sebagai
Presiden Indonesia.
Suka atau tidak, itulah yang
dijalani Presiden Joko Widodo yang melompat dari Jalan Merdeka Selatan ke
Jalan Merdeka Utara. Terlebih lagi Jokowi memenangi Pilgub DKI 2012
berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sekarang Gubernur
DKI.
Jadi, ada anggapan upaya Basuki
terpilih kembali menjadi Gubernur DKI sebagai batu loncatan untuk menuju ke
panggung nasional. Basuki sekurang-kurangnya diasumsikan akan mendampingi
Jokowi sebagai wapres tahun 2019.
Tidak ada yang keliru dengan
ambisi memasuki panggung nasional. Dalam politik berlaku pepatah
"gantungkanlah cita-citamu setinggi langit biru".
Dan, kita melihat pula sejumlah
bacagub/bacawagub lain yang tentu saja mematok target yang serupa. Sebagai
informasi, kini telah beredar lebih dari 30 nama yang sudah mendaftarkan diri
sebagai bacagub/bacawagub ke sejumlah partai.
Masih ada waktu beberapa bulan
bagi partai untuk menyesuaikan diri dalam penjaringan bakal calon
gubernur/bakal calon wakil gubernur (bacagub/bacawagub). Politik tak mudah
diduga akhir ceritanya, yang bahagia jadi kecewa atau sebaliknya.
Bukan mustahil PDI-P, misalnya,
akan mendukung duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat pada saat-saat terakhir atas
perintah Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Juga bisa terjadi lagi,
Gerindra kembali membujuk Basuki "pulang ke rumah".
Musim politik yang tidak biasa ini
menjadi panas karena kita warga Jakarta berkesempatan menyaksikan puluhan
nama bacagub/bacawagub yang beredar di media massa ataupun media sosial.
Banyak di antaranya nama-nama beken, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini,
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo,
pengusaha muda Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza
Mahendra, musisi Ahmad Dhani, dan seterusnya.
Pilgub belum terjadi, tetapi
prosesnya telah menjadi sebuah political
catwalk yang ingar bingar. Setiap bacagub/bacawagub unjuk diri dengan
pernyataan, tampilan, taglines, dan program yang layak jual.
Yusril, misalnya, memperkenalkan
program pemprov akan membeli sampah dari warga Jakarta. Teguh Santosa
menyajikan tagline siap 24 jam bekerja untuk melayani warga.
Akan lebih banyak manfaatnya bagi
kita warga Jakarta mendengar, melihat, dan mempelajari program-program
mereka. Akan lebih banyak mudaratnya bagi kita warga Jakarta dicekoki
fitnah-fitnah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang murahan.
Melihat Pilgub DKI 2012,
fitnah-fitnah SARA sudah tidak laku lagi. Warga ibu kota Jakarta sudah lama
rasional dan akan memilih pemimpin yang bekerja melayani kepentingan mereka
sehari-hari.
Musim politik yang tidak biasa ini
menjadi panas karena melibatkan pula pemerintah pusat, KPK, dan BPK yang
berkaitan dengan reklamasi Teluk Jakarta dan pembelian lahan Rumah Sakit
Sumber Waras. Entah sudah berapa puluh orang, termasuk Basuki, yang telah
dipanggil menjadi saksi KPK.
Namun, kini kita warga Jakarta
menjadi paham bahwa reklamasi yang diputuskan sejak era Orde Baru itu ada
positif dan negatifnya. Kita juga menjadi tahu bahwa di lahan RS Sumber Waras
itu akan dibangun rumah sakit kanker berkapasitas 1.000 tempat tidur.
Musim politik yang kali ini tidak
biasa menjadi panas karena sosok Basuki sebagai petahana. Oleh sebab itu,
adalah wajar Basuki berada dalam posisi defensif diserang para
bacagub/bacawagub.
Sama seperti sejumlah pemimpin
daerah yang terbilang sukses, Basuki masuk dalam kategori pemimpin yang
otentik. Pemimpin yang otentik itu bersikap dan berkata apa adanya, kurang
sempurna karena bukan malaikat, dan sukar berubah.
Bagi sebagian warga, Basuki
dipandang sebagai "figur pemecah belah" (a dividing figure). Namun, sekurang-kurangnya jika merujuk pada
pengumpulan dukungan lewat KTP yang diorganisasi oleh kelompok relawan Teman
Ahok, tak sedikit pula warga Jakarta yang ingin Basuki terpilih kembali.
Begitulah musim politik yang tidak
biasa yang sedang kita masuki ini. Inilah "musim politik Basuki"
yang akan kita jalani sampai akhir masa jabatan Oktober 2017 atau terus
berlanjut setelah itu? ●
|