Journey to Uighur :
Kamu Seharusnya Lepas Kerudung Bu?
REPUBLIKA, Sabtu 19 Jan 2019 05:01 WIB
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan
Penulis Buku
“I am separated from my husband (Saya terpisah dengan suamia
saya),” kata saya sambil menunjukkan bording pass dan sedikit panik melihat
antrean penumpang mulai bergerak masuk ke dalam pesawat. Berharap petugas di
boarding gate itu bisa berbahasa Inggris.
Ia sepertinya paham, lalu memberi isyarat meminta saya menunggu
di depan meja boarding. Dihubunginya seseorang melalui penyeranta komunikasi
yang digenggamnya. Jangan bayangkan berkomunikasi di bandara international ini
seperti bandara international lainnya. Nyaris tak ada yang bisa berbahasa
Inggris di sini. Sejak pemeriksaan tadi, saya sudah kesulitan gegara persoalan
bahasa ini.
Sekali lagi saya edarkan pandangan, berharap Lambang muncul di
antara lalu-lalang orang di ruang tunggu Ürümqi Diwopu International Airport.
Pagi ini kita harus terbang dari kota Urumqi ke kota Kashgar
menggunakan penerbangan domestik selama kurang lebih 2 jam.
Kashgar atau Kashi dalam bahasa Mandarin adalah kota paling
ujung barat China yang berbatasan langsung dengan negara Kirgizstan dan
Tajikistan. Kota kuno ini memiliki jejak sejarah yang berlimpah karena
merupakan gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah.
Saya terpisah dengan Lambang karena pemeriksaan yang sangat
ribet di bandara Urumqi. Di awali dengan pertanyaan, “What’s your religion?
(Apa agamamu)” di meja pemeriksaan passport yang membuat saya bengong sejenak.
Ini adalah kali pertama di bandara international saya ditanya
tentang agama. “Apa hubungannya dengan perjalanan ini?” batin saya kesal. Ya,
sedikitnya saya mulai jengkel karena sejak awal kedatangan, kerudung yang saya
kenakan selalu dipermasalahkan oleh petugas.
“I’m muslim. Alhamdulillah. I’m covering my head with scarf
(saya tutup kepala saya dengan kerudung),” jawab saya mengulang kata-kata yang
sama setiap ditanya pertanyaan yang sama. Ia hanya melihat sekilas, lalu dengan
isyarat meminta saya melepasnya. Yang langsung saya jawab dengan gelengan
kepala, “No,” kata saya tegas.
Dengan muka tetap dingin, ia memberi isyarat sekali lagi. Kali
ini saya tarik sedikit kerudung ke belakang. Sekadar memastikan kalau alis saya
tidak tertutupi. Karena hanya itu syarat saat pembuatan foto visa. Kerudung
tetap boleh dikenakan, tapi alis kelihatan semua dan tanpa senyum.
Alhamdulillah, lolos. Petugas bermuka dingin itu lalu men-scan
passport dan memotret saya. Berikutnya saya harus melewati penindai orang dan
barang. Sekali lagi petugas di penindai memberi isyarat untuk melepas kerudung.
Karena menolak ia langsung meminta passport saya, “Passport,”
katanya sambil memanggil seorang petugas lain. Petugas yang membawa passport
itu lalu meminta saya mengikutinya.
Saya harus masuk ke ruangan kecil yang tertutup. Ada alat
penindai orang yang bentuknya seperti alat untuk rontgen torax di RS. Bagian
bawah ada pijakan yang bisa bergeser ke kiri-kanan. Saya diminta naik ke atas
pijakan itu. Pelan-pelan alat itu bergeser ke kiri-kanan dua kali.
Lalu petugas itu berseru dalam bahasa China yang tidak saya
mengerti. Saya melongok ke celah kecil yang ada di depan, “Finish?” Tanya saya
yang dijawab dengan sodoran passport.
Nantinya, di setiap bandara saya harus masuk ke ruangan penindai
khusus itu. Jadilah pemeriksaan saya lebih lama, karena terkadang alat
penindainya juga harus antre. Itu yang menyebabkan saya terpisah dari Lambang.
“Allahumma yassir wala tu'assir,” saya deraskan doa dalam hati,
supaya Allah mudahkan semua. Bukan apa-apa, jadwal perjalanan ini sangat ketat,
kalau sampai ketinggalan pesawat, pasti akan berantakan semua.
Tiba-tiba dari jauh saya melihat langkah Lambang yang sudah
sangat saya kenal. Saya berteriak memanggilnya. Berlarian kita masuk dalam
antrean boarding, tak lupa saya memberitahu petugas di boarding desk itu,
“That’s him, over there. My husband,” seru saya sambil menunjuk Lambang.
“Dari mana saja?” Tanya saya. Rupanya Lambang mencari saya
karena tidak melihat lagi setelah saya mengikuti petugas yang membawa passport
tadi. Kita bersepakat, nanti kalau terpisah lagi di bandara, karena pasti
pemeriksaan saya lebih ribet, titik temunya adalah di boarding desk. Tidak
perlu saling mencari kesana-kemari. Siapa yang selesai lebih dulu menunggu di
situ.
Sampai di Kashi Airport, lagi-lagi saya disambut dengan
pertanyaan, “What’s your religion?” oleh petugas yang memeriksa passport.
Tadinya saya pikir baru akan kena masalah gegara kerudung di
Amerika atau di negara mana. Ternyata di Xinjiang, wilayah yang penduduknya 80%
muslim, justru kerudung saya bolak-balik dipermasalahkan.
Saya pernah berada di Eropa dua hari setelah kejadian penembakan
di kantor redaksi Charlie Hebdo. Saat itu sentimen anti Islam sedang
tinggi-tingginya di Eropa. Namun, kerudung saya tidak dipermasalahkan. Di
Madrid-Barajas Adolfo Suárez Airport pemeriksaannya wajar saja seperti di
bandara pada umumnya.
“Apa yang mereka cari dari balik kerudung saya?” batin saya tak
habis pikir dengan para petugas bandara ini. Atau sekadar prejudice karena
kerudung yang saya kenakan adalah adalah simbol Islam? Entahlah!
Di pintu keluar bandara, seorang pria berbadan tinggi tegap
terlihat menunggu sambil membawa kertas berlogo Khalifah Tour dan nama kita.
Segera saya dan Lambang menghampirinya. Untuk alasan keamanan, saya menyebutnya
Mr Kashimir.
Mr Kashimir ini seorang pria Uighur berumur awal 30-an yang akan
menjadi local guide selama di Kashgar. Sesuai postur tubuhnya, suaranya juga
terdengar “menggelegar”. Ia sudah delapan tahun menjadi local guide dan
seringkali menjadi mountain guide ke Everest maupun tracking di perlintasan
gurun-gurun yang ada di Kashgar ini.
“What’s that? Accident?” Tanya saya melihat mobil-mobil berhenti
di tengah jalan.
“No Ma’am. That’s check poin,” jawabnya singkat sambil
menegaskan tidak boleh memotret di check poin, polisi maupun tentara yang
sedang bertugas.
Sekalipun sudah beberapa hari di Xinjiang dan “terbiasa” dengan
banyaknya check poin, tak urung yang di kota Kashgar ini masih mengejutkan
saya. Bagaimana tidak, check poin itu digelar di tengah jalan. Mobil-mobil
berderet parkir di tengah jalan, lalu orang-orang nampak berbaris mengantre
diperiksa. Saya jadi teringat adegan di film-film berlatar perang dunia, yang
juga menampilkan adegan seperti ini.
Saat saya berada di Kashgar rupanya bebarengan dengan kedatangan
beberapa lembaga internasional yang akan melakukan investigasi keberadaan
kamp-kamp reedukasi. Jadilah suasana di kota ini sensitif sekali.
Setelah beres urusan check-in hotel, menaruh koper, dan shalat
di-jama’ Dzuhur-Ashar, kita segera menuju restoran untuk makan siang. Di tengah
makan, saya dikejutkan dengan pertanyaan Mr Kashimir, “If they ask you to take
off your scarf, are you willing to do it?” yang spontan langsung saya jawab
dengan tegas, “No,” sambil menggelengkan kepala.
Raut wajah Mr. Kashimir langsung berubah. Suasana menjadi tidak
nyaman. “Is it randomly?” Tanya Lambang yang justru memperkeruh suasana.
“I am not comfortable with that question,” jawabnya menutup
pembicaraan.
“What are the consequences if I disobey?” kejar saya
“You are not allowed to enter …,”
“It’s okay,” potong saya cepat.
Sudahlah, kalaupun saya tidak bisa masuk ke destinasi yang
dituju, toh Lambang tetap bisa masuk. Saya akan tunggu di luar saja. Saya masih
coba berargumen kalau saya adalah warga negara asing, pemegang passport
Indonesia, sehingga tidak seharusnya saya mengikuti regulasi untuk warga lokal.
Namun sepertinya Mr Kashimir tidak ingin membahasnya lagi.
Benar saja. Di depan Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque yang
merupakan masjid agung kota Kashgar, polisi tidak mengizinkan saya masuk
kecuali saya melepaskan hijab.
Innalillahi wa innailaihi rojiun….
Ini di rumah Allah, tapi peraturan mengharuskan membuka aurat.
Hati saya menangis pilu. Kemana perginya para mujahid yang harusnya membela
tanah Uighur ini?
“No,” saya tatap polisi itu dan menjawab dengan suara mantap.
Saya ingin Allah menyaksikan keteguhan hati saya.
“Kamu foto sebanyak-banyaknya deh di dalam. Bikin video juga,
biar aku bisa dapat gambaran untuk tulisan nanti,” pesan saya pada Lambang.
“Can I wait here? it's cold out there,” tawar saya minta
diterjemahkan Mr. Kashimir ke petugas yang berjaga.
Tanpa merubah ekspresi muka petugas itu hanya menunjuk pintu
gerbang. Pertanda saya harus menunggu di lapangan luar. Semoga ini yang
terakhir kali, seorang Muslim diusir petugas saat akan memasuki masjid.
Saya anggukkan kepala, “Enggak apa-apa. Aku tunggu di luar. Kamu
harus masuk. Lihat di dalam ada apa?” tegas saya, setelah sesaat Lambang mulai
ragu.
Mr. Kashimir terlihat sangat tidak enak hati. Ia mengantarkan
saya sampai ke gerbang dan menunjuk salah satu bangunan tak jauh dari situ.
“You want to go to toilet? There’s toilet and the place is
warmer,” katanya seperti memohon maaf.
“Saya mau ke masjid, bukan ke toilet,” jawab saya dalam hati.
“No. It’s okay. I will wait here,” kata saya meyakinkan.
Id Kah Mosque didirikan pada 862 H/1442 dan telah mengalami
renovasi beberapa kali. Daya tampung masjid berikut lapangannya sekitar 200.000
jamaah. Dahulunya selain sebagai masjid, juga terdapat bangunan yang
difungsikan sebagai madrasah di dalamnya.
Rupanya di dalam masjid pun Lambang tidak bisa melakukan
apa-apa, karena di dalam masjid dijaga polisi dan tidak diperbolehkan untuk
shalat.
Di pinggir Id Kah Square yang sore itu suhunya (minus) -12°C,
saya menatap anak-anak kecil yang bermain dan berlarian mengejar burung
merpati. Merpati putih adalah simbol perdamaian, yang ironisnya setiap hari
harus menyaksikan umat Islam terusir dari masjidnya.
“Nak, suatu hari nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu
dari penguasa lalim ini,” bisik saya yang semoga terbawa angin dan sampai ke
telinga anak-anak itu. Doa seorang musyafir ijabah. Semoga penduduk langit
aminkan doa saya sore ini. ***
Kashgar, 5/1/2019