Pembangunan Perikanan Menuju Poros Maritim Dunia
Rokhmin Dahuri ;
Guru Besar Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB
|
KORAN
SINDO, 11 Juli 2015
Salah satu program pembangunan
utama Kabinet Kerja adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
(PMD) yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis
pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Selain itu, Indonesia juga
kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam
berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai cara
menata pembangunan kelautan (ocean
governance). Dalam jangka pendek-menengah (2015-2020), sektor-sektor
ekonomi kelautan dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan internal
sektornya masing-masing, dan secara simultan berkontribusi secara signifikan
dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa.
Sebagai bagian integral dari
ekonomi kelautan, ruang lingkup ekonomi dari sektor perikanan tidak hanya
perikanan tangkap, tetapi juga perikanan budi daya, industri pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan serta industri dan
jasa terkait. Selain illegal,
unreported and unregulated (IUU) fishing
dan kerusakan lingkungan di beberapa wilayah pesisir dan laut, ada beberapa
permasalahan yang lebih serius yang tengah dihadapi sektor perikanan.
Pertama, kemiskinan nelayan dan
pembudi daya ikan. Kedua, rendahnya tingkat pemanfaatan potensi budi daya
laut (mariculture), tambak, dan
industri bioteknologi kelautan. Ketiga, rendahnya daya saing sektor ini
menghadapi MEA dan rezim perdagangan bebas lainnya.
Sedangkan permasalahan kronis bangsa
yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya berupa tingginya pengangguran
dan kemiskinan, kesenjangan kelompok kaya vs miskin yang kian melebar,
disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, gizi buruk,
rendahnya pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan indeks pembangunan manusia
(IPM).
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf
Kalla bersama tim Kabinet Kerja dengan Nawacitanya bertekad untuk mengatasi
sejumlah permasalahan di atas. Dan, bila pada akhir Oktober Indonesia
berstatus sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan rata-rata GNP
per kapita USD4.200, pada akhir 2019 ditargetkan naik kelas sebagai negara
berpendapatan menengah-atas dengan GNP per kapita sekitar USD7.000.
Alih-alih, pertumbuhan ekonomi
pada triwulan I hanya 4,7%, terendah dalam enam tahun terakhir; nilai tukar
rupiah turun drastis ke Rp13.400 per USD; IHSG juga turun signifikan; harga
bahan pangan pokok melambung tinggi; daya beli masyarakat tergerus; dan
pengangguran bertambah 400.000 orang.
Sebab itu, pembangunan sektor
perikanan mestinya ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berkualitas, daya saing, dan kesejahteraan nelayan,
pembudi daya ikan, serta masyarakat lainnya secara ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
Sayangnya, gebrakan pemerintah
dalam delapan bulan ini justru telah mengakibatkan mayoritas industri
pengolahan perikanan gulung tikar, pengangguran ratusan ribu nelayan, pembudi
daya, karyawan pabrik, dan membuat iklim investasi sangat menakutkan. Dengan
dalih untuk menegakkan kedaulatan dan memelihara kelestarian lingkungan.
Padahal, banyak teknik manajemen
perikanan yang dapat mengawinkan antara tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, daya saing, dan kesejahteraan dengan kepentingan memperkokoh
kedaulatan dan konservasi lingkungan.
Jalan
Keluar
Kita seluruh komponen bangsa
mendukung upaya pemerintah untuk menumpas IUU fishing dan mafia perikanan
sampai akar-akarnya. Namun, tidak bijaksana bila upaya tersebut melumpuhkan
ekonomi dan bisnis perikanan. Harusnya yang dibabat habis itu yang jahat dan tidak
bisa diperbaiki.
Pengusaha, nelayan, pembudi daya,
dan industriawan, serta pedagang perikanan yang baik atau sedikit nakal
mestinya justru lebih dibesarkan dan dibina. Mulai sekarang kita harus
merevitalisasi seluruh unit usaha (bisnis) perikanan yang ada dengan cara
meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan (sustainability)-nya melalui aplikasi
iptek dan manajemen yang tepat.
Secara simultan, kita buka usaha
perikanan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan lautan yang belum tersentuh pembangunan;
dan kita kembangkan usaha dan ekonomi perikanan baru seperti budi daya di
laut lepas (offshore mariculture),
budi daya tambak dengan produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (seperti
BUSMITEK, probiotik, dan bioflock), industri pengolahan dan pengemasan produk
perikanan yang tanpa limbah dan berdaya saing tinggi, dan industri
bioteknologi kelautan.
Ke depan setiap unit usaha
perikanan harus memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan (pendapatan)-nya
bisa menyejahterakan pelaku usaha, khususnya nelayan dan pembudi daya yakni
minimal Rp4 juta/orang/bulan. Selain itu, usaha perikanan juga mesti
menerapkan pendekatan sistem rantai suplai terpadu yakni produksi-pengolahan
(pascapanen)-pasar dengan aplikasi teknologi mutakhir pada setiap mata rantai
suplai.
Yang tidak kalah penting, semua
usaha perikanan harus bersifat ramah lingkungan dan inklusif guna menjamin
kelestarian sumber daya dan keadilan sosial. Pemerintah wajib menyediakan
infrastruktur (seperti pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak, listrik,
telkom, jalan, dan air bersih) yang berkualitas dan mencukupi.
Demikian halnya dengan sarana
produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar minyak (BBM), atau
energi terbarukan, benih, pakan, dan perbekalan melaut) yang berkualitas,
relatif murah, dan mencukupi. Pemerintah bekerja sama dengan swasta atau
melalui BUMN juga harus menjamin pasar komoditas perikanan dari hasil
tangkapan nelayan maupun pembudi daya, dengan harga sesuai nilai
keekonomiannya.
Visi mulia Presiden Jokowi dan
Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan bidang kelautan sebagai primemover
perekonomian bangsa menuju Indonesia sebagai PMD harus pula didukung dengan
dana APBN dan perbankan yang mencukupi.
Selain itu, karena ekonomi
kelautan ini merupakan frontier industry,
perlu disediakan skim kredit khusus seperti kredit likuiditas (policy banking) yang telah sukses
mendukung ekonomi dan industri sawit dan tekstil di masa Orde Baru sampai
sekarang.
Mengembangkan
Potensi
Sebagai ilustrasi betapa besarnya
potensiekonomisektor perikanan adalah industri bioteknologi kelautan, yang
menurut Ministry of Maritime Affairs
and Fisheries, Korsel (2002) nilai ekonominya sekitar empat kali lipat
industri teknologi informasi, yang meliputi: (1) ekstraksi senyawa bioaktif (natural products) dari biota laut
untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta puluhan jenis
industri lain; (2) perbaikan genetik untuk menghasilkan induk dan benih
unggul; dan (3) bioremediasi.
Lalu, bila kita mampu mengusahakan
600.000 ha tambak (27% dari total luas lahan pesisir Indonesia yang cocok
untuk budi daya udang dan rumput laut) dengan alokasi: untuk budi daya udang
Vanammei intensif seluas 200.000 ha, untuk budi daya Vanammei semi-intensif
100.000 ha; dan untuk budi daya udang windu semi-intensif 200.000 ha, dan
100.000 ha untuk budi daya rumput laut Gracillaria spp.
Maka itu, pendapatan kotor
(besarnya perputaran ekonomi wilayah) yang dihasilkan sekitar USD70 miliar
(Rp910 triliun, hampir separuh APBN 2015), dan tenaga kerja yang terserap
mencapai sembilan juta orang. Belum lagi kalau kita mampu mengembangkan usaha
mariculture yang potensi produksinya sekitar 45 juta ton/tahun dan hingga kini
baru diproduksi sekitar 15%-nya.
Untuk perikanan tangkap, kita
kembangkan sedikitnya 5.000 unit kapal ikan nasional berukuran di atas 100 GT
dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan
sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian
ikan (illegal fishing) oleh nelayan
asing atau yang masih underfishing
seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna,
dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia dan Pasifik.
Kapal-kapal ikan dan nelayan yang
selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya
harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing fisheries).
Nelayan tradisional yang sebagian
besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerjanya sehingga
pendapatannya minimal Rp4 juta)/nelayan/bulan. Angka ini berasal dari USD2/
orang/hari (garis kemiskinan versi Bank Dunia) dikalikan dengan lima orang
(rata-rata ukuran keluarga nelayan) dan dikalikan dengan 30 hari dengan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp13.000.
Dengan konsep pembangunan perikanan
berkelanjutan (sustainable fisheries development) yang mengharmoniskan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan proteksi lingkungan seperti itu.
Maka itu, sektor perikanan tidak
hanya akan mampu berkontribusi signifikan dalam mengatasi permasalahan
kekinian bangsa seperti pengangguran, kemiskinan, dan gizi buruk, tetapi juga
bagi terwujudnya Indonesia sebagai PMD pada 2025. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar