Jabatan Komisioner KPK
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar Emeritus
Universitas
Padjadjaran dan Universitas Pasundan
|
KORAN
SINDO, 10 Juli 2015
Menarik, artikel Saudara Eddy O
Hiarej (Kompas, 8/7) tentang jabatan komisioner KPK yang intinya
mempersoalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK tentang pemberhentian
sementara pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pemahaman sejarah pembentukan KPK
memang diperlukan untuk mengetahui asal-usul setiap pasal dalam UU KPK.
Alasan KPK dibentuk karena Polri dan kejaksaan dipandang tidak efektif
menangani korupsi yang sudah sangat luar biasa sehingga diperlukan tindakan-tindakan
luar biasa dengan kewenangan luar biasa dan diperlukan lembaga yang luar
biasa.
Lembaga yang luar biasa ini harus
dijalankan oleh manusiamanusia luar biasa yaitu mereka yang memiliki
integritas, kredibilitas, dan keahlian yang memadai sehingga diperlukan
seleksi yang ketat. Keluarbiasaan kewenangan KPK harus dibatasi oleh antara
lain dengan ketentuan umum mengenai persyaratan dan kualifikasi calon
pimpinan KPK yang dibuktikannya sejak mengikuti seleksi calon pimpinan
(capim) KPK.
Asumsinya, para capim KPK telah
membaca, mengetahui, dan memahami setiap pasal dalam UU KPK termasuk dan
tidak terbatas pada syarat-syarat umum, tetapi juga syarat-syarat khusus yang
berlaku bagi mereka. Beberapa contoh yang harus dipahami seperti syarat
keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, dan perbankan dengan pengalaman 15
tahun (bukan bidang ilmu lain) atau syarat pemberhentian pimpinan KPK yang
menjadi tersangka baik mengenai perbuatan yang terjadi sebelum maupun selama
menjadi pimpinan KPK.
Dalam konteks status tersangka
tidak adadasarhukumterkaitsebelum atau selama menjalani jabatan yang dapat
membebaskannya kecuali karena ketentuan kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP).
Kewenangan komisioner KPK yang sangat luas berpotensi melanggar hak asasi
manusia (HAM) tersangka. Kemungkinan itu berdasarkan UU KPK seperti
kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, pencekalan,
danpenyitaantanpaizin pengadilan.
Situasi ini memerlukan integritas
lima pimpinan KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya memerlukan rambu
pembatas yaitu keputusan harus diambil secara kolektif. Rambu ini untuk
mencegah pengaruh eksternal dan kepentingan pribadi dan tidak boleh ada SP3
agar lima komisioner bertindak hati-hati berdasarkan UU KPK dan KUHAP.
Syarat pemberhentian sementara
untuk status tersangka komisioner juga berlaku pada petugas Polri dan
kejaksaan berdasarkan baik UU Kepolisian 2002 dan PP Nomor 3 Tahun 2003
tentang Teknis Peradilan bagi Anggota Kepolisian maupun UU Kejaksaan 2004.
Sedangkan dua institusi terakhir tidak memiliki kewenangan luar biasa seperti
KPK.
Tidak ada perlakuan hukum yang
diskriminatif terhadap komisioner KPK. Justru jika diberikan perlindungan
hukum khusus kepada komisioner KPK, menjadi ganjil dan tidak proporsional
dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dibandingkan dengan kepolisian dan
kejaksaan.
Harus dipahami bahwa pengertian
diskriminatif dalam konvensi internasional tentang HAM hanya khusus ditujukan
terhadap perbedaan perlakuan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, dan latar belakang sosial (Art.4.1 ICCPR, 1996), bukan pada
status jabatan publik.
Masalah pemberhentian sementara
terkait pada masalah integritas ketika seseorang akan menjadi capim KPK seharusnya
sudah memahami persyaratan sebagai capim KPK dalam UU KPK dan siap menanggung
risiko jabatan jika terpilih, tidak terkecuali. Jika syarat pemberhentian
dianggap memberatkan atau membebani, seharusnya sejak awal yang bersangkutan
menolak untuk ikut serta dalam pemilihan capim KPK.
Berdasarkan alasan integritas
tersebut, naif jika komisioner KPK terpilih berdalih bahwa ketentuan Pasal 32
ayat (2) UU KPK diskriminatif (terhadap dirinya) ketika yang bersangkutan
menjadi tersangka apa pun tindak pidananya sedangkan kewenangan yang sangat
luas dan berbeda dari kepolisian dan kejaksaan telah ia ”nikmati” baik secara
hukum maupun secara sosial (social
standing) baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Posisi tersebut tidak pula dapat
diperbandingkan dengan jabatan politis seperti presiden/wakil presiden atau
kepala daerah karena jabatan komisioner KPK adalah jabatan penegak hukum.
Tidak dapat kita bayangkan seorang komisioner KPK yang telah ditetapkan
sebagai tersangka tidak diberhentikan dan yang bersangkutan tetap
melaksanakan tugas dan wewenangnya memeriksa dan menuntut perkara korupsi.
Padahal, yang bersangkutan tetap
duduk sebagai pesakitan selama proses penyidikan dan bisa mengikuti sidang
pengadilan hingga 450 hari sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Apalagi dalam sistem pengendalian internal KPK tidak ada ketentuan
pemberhentian sementara sekalipun pelanggaran kode etik.
Jika status sementara dihapuskan,
amat tidak berwibawa KPK sebagai lembaga independen yang bebas dari kekuasaan
manapun yang seharusnya menjadi contoh bagi petugas Polri dan kejaksaan yang
dalam status yang sama saja, bisa diberhentikan sementara.
Lebih jauh jika tidak ada
pemberhentian sementara terhadap status tersangka komisioner KPK, komisioner
KPK merupakan personal ”par excellence”
satu-satunya di bawah UUD 1945 yang memiliki status tertinggi dibandingkan
dengan jabatan presiden dan wakil presiden. Apa iya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar