MENCARI SOSOK IBU DI HARI IBU
Anak
saya yang baru akan menginjak usia dewasa pada tanggal 22 Desember lalu
bertanya kepada saya, mengapa kalau Hari Ibu ada tetapi Hari Bapak tidak ada? Mendengar
pertanyaan anak saya tersebut, saya tersenyum.
Dalam hati saya teringat ketika pertanyaan yang sama juga pernah ada di
benak saya ketika usia saya kurang lebih
sama dengan usianya. Lalu, untuk sekadar memuaskan keingintahuan anak saya
tersebut, saya memberikan penjelasan sekenanya yang mudah-mudahan dapat diterima
oleh anak saya.
Waktu itu saya jelaskan
kepada anak saya bahwa Hari Ibu sengaja diadakan dan diperingati supaya kita
sebagai warga Indonesia selalu ingat (jangan melupakan) jasa dan pengorbanan
seorang Ibu yang sangat besar, terutama dalam melahirkan, mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya. Satu hal yang
perlu kita sadari, keberhasilan generasi muda untuk tampil menjadi pemimpin
bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan,
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Mengingat peran Ibu yang demikian penting tersebut, setiap tanggal 22
Desember kita semua diingatkan untuk menghormatinya, mengindahkan pesan dan
ucapannya, dan memberikan kado penghargaan kepadanya.
“Lalu, mengapa Hari Bapak
tidak diperingati?”, tanya anak saya. Setelah
berhenti sejenak untuk berpikir, lalu saya jelaskan bahwa Hari Bapak tidak
perlu diperingati karena memang tidak ada alasan atau kepentingan yang mendesak
untuk memperingatinya. Maksud saya, kalau Hari Ibu itu diperingati karena ada
kecenderungan masyarakat (termasuk sebagian para Ibu dan paling tidak pada saat
itu) untuk melupakan peran Ibu yang sangat penting tersebut. Sedangkan peran Bapak nampaknya (paling tidak
sampai saat ini) sama sekali tidak ada yang mempermasalahkannya, sehingga tidak
perlu dibuat Hari Bapak untuk memperingatinya. Mendengar penjelasan saya
tersebut, anak saya pun manggut-manggut.
Saya tidak tahu apakah anak
saya dapat menerima sepenuhnya penjelasan saya.
Tetapi yang pasti adalah saya telah berbohong kepadanya karena saya
sendiri sebenarnya ragu sejauhmana kebenaran penjelasan yang telah saya
sampaikan kepadanya.
Saya memang pernah membaca
bahwa pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari
nasional. Tanggal 22 Desember dipilih
karena hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama
pada tahun 1928 di Yogyakarta. Namun
saya tidak tahu persis, dan saya juga tidak terlalu peduli, apa saja yang
dibicarakan dalam pertemuan kaum perempuan pada saat itu. Satu hal yang saat ini saya peduli adalah
sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini?
Ada tiga sosok Ibu yang akan
saya tampilkan dalam tulisan ini, dan ketiganya mempunyai peran penting dalam
proses pembangunan bangsa yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Yang pertama adalah sosok Ibu Rumah Tangga
yang saya percaya jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia. Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai
sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan juga Sang
Suami. Ia mengabdikan hidupnya secara
total kepada mereka. Namun, ada pula
sebagian dari kita yang mengkritiknya sebagai manusia yang terlalu “nrimo”. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya
untuk beremansipasi, termasuk merambah ke dunia kerja yang selama ini biasa
dilakukan oleh kaum lelaki. Hidupnya
bagai burung di dalam sangkar. Ia sudah
merasa dimuliakan apabila ia mampu memberikan keturunan dan hidupnya dijamin
aman. Lebih dimuliakan lagi apabila ia bisa hidup dalam “sangkar” yang terbuat
dari emas.
Sosok Ibu yang kedua adalah
yang biasa kita kenal sebagai Wanita Karir, yakni wanita yang sehari-hari lebih
sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar
pemerintahan. Wanita Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan
yang relatif lebih terpelajar dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan
predikat sebagai Ibu Rumah Tangga. Ia
juga dikenal sebaga wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia
kerja milik kaum pria. Namun, Wanita
Karir juga tidak jarang menerima kritik sebagai manusia yang telah melawan
kodratnya. Demi ambisi pribadi ia rela
membiarkan suami dan anak-anaknya dilayani dan dijaga oleh Pembantu Rumah
Tangga. Dan barangkali yang paling membuat orang geram, demi karir dan jabatan
yang akan diperolehnya kadang ia rela menyerahkan mahkota kewanitaannya kepada
Boss dan atasannya.
Sosok Ibu berikutnya adalah
Perempuan Aktivis. Meskipun ia telah bersuami dan bahkan mempunyai banyak anak,
tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Perempuan ketimbang sebagai sosok
Ibu. Sosok Ibu Perempuan Aktivis ini
sangat idealis dan kritis. Ia selalu
memposisikan dirinya dekat dengan rakyat melalui kegiatannya yang bertajuk
pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar waktu hidupnya memang dipersembahkan
untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya. Namun,
sama halnya dengan Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir, Perempuan Aktivis pun tak
luput dari sorotan kritik yang bisa membuat wajah mereka memerah menahan
marah.
Sama dengan Wanita Karir,
Perempuan Aktivis juga dikritik karena terlalu banyak melakukan kegiatan di
luar rumah sehingga seringkali mengganggu keharmonisan hubungan keluarga
(suami, isteri dan anak-anak mereka) dalam rumah tangganya sendiri. Selain itu, tidak jarang kegiatan demonstrasi
yang konon mereka lakukan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan tersebut
sebenarnya tidak lebih dari sekadar melaksanakan mandat atau pesan sponsor dari
organisasi non-pemerintah internasional (international NGOs) yang telah
mengucurkan dananya kepada LSM tempat mereka bekerja. Teriakan perangnya yang
ditujukan kepada pemerintah juga sebenarnya tidak lebih dari sekadar sinyal
agar pemerintah meresponnya dengan memberikan bantuan proyek pemberdayaan
masyarakat dimana ia menjadi bagian di dalamnya. Atau siapa tahu, kegarangannya menyerang
pemerintah akan berbuah tawaran pemerintah untuk menempati posisi terhormat
sebagai wakil rakyat atau birokrat.
Karakter ketiga sosok Ibu
tersebut di atas memang sengaja saya tampilkan secara hitam-putih, dari sisi
positip maupun dari sisi negatipnya. Maksud saya adalah ingin menunjukkan bahwa
manapun sosok Ibu yang kita pilih sebagai panutan, mereka semua adalah sosok
manusia yang masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Kritik yang menunjuk pada sisi negatip dari
masing-masing sosok Ibu hendaknya dijadikan acuan bagi sosok Ibu yang
bersangkutan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga keluarganya menuju kondisi
keluarga yang dicita-citakan bersama.
Dalam hal ini saya juga
ingin mengingatkan bahwa dalam kenyataan seringkali kita tidak bisa membedakan
secara tegas ketiga sosok Ibu tersebut dengan menggunakan kacamata (analisa)
hitam-putih. Sebagai contoh, yang
dimaksud sosok Wanita Karir atau juga Perempuan Aktivis bukanlah mereka yang
sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (memasak,
mencuci pakaian, membersihkan lantai rumah, dan seterusnya). Demikian pula halnya dengan sosok Ibu Rumah
Tangga, ia bukanlah seorang Ibu yang sama sekali tidak pernah melakukan
aktivitas diluar rumah, misalnya dalam kegiatan organisasi PKK atau organisasi
keagamaan. Dengan demikian, kaca mata analisa sosok Ibu dalam hal ini hanya
dapat digunakan untuk melihat sejauhmana ia lebih banyak memfokuskan perhatian
pada pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Wanita Karir atau Perempuan
Aktivis.
Kembali pada pertanyaan saya
sebelumnya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan pada saat
ini? Dengan tegas saya ingin menyatakan
bahwa di era sekarang ini kita membutuhkan ketiga sosok Ibu yang telah kita
bicarakan. Perbedaan pendapat di antara kelompok masyarakat selama ini tentang
sosok Ibu yang menurut mereka layak untuk dijadikan panutan lebih sering
didasarkan pada stereotipe yang selama ini dianut oleh banyak orang bahwa
pengakuan terhadap peran penting sosok Ibu yang satu berarti sama halnya dengan
penolakan terhadap peran penting sosok Ibu yang lain. Hal lain yang pantas disesalkan, pendapat
tentang sosok Ibu yang layak dijadikan panutan seringkali didasarkan pada
ajaran atau kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun, dan bukan
didasarkan pada sejauhmana etos kerja yang telah diperlihatkan, dan juga
sejauhmana pengabdian yang telah diberikan, kepada keluarga dan juga kepada
masyarakat. Akibat dari ego kita yang
berlebihan tersebut, polemik jender pun acapkali berkembang menjadi liar, tanpa
ditopang argumen-argumen yang cukup mengakar.
Mengapa ketiga sosok Ibu
tersebut kita butuhkan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada suatu diskusi
tentang masalah ekonomi bahwa kemakmuran atau kemajuan ekonomi suatu bangsa
hanya bisa dicapai dengan cara meningkatkan produktivitas ekonominya secara
nasional. Lalu, apa hubungannya ketiga
sosok Ibu tersebut dengan masalah produktivitas nasional?
Seorang Ibu (apalagi kalau
anak-anaknya sudah cukup besar dan sudah mandiri) masih mempunyai sisa waktu
yang cukup banyak setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai Ibu Rumah
Tangga. Ia bisa berdagang di dalam atau
di luar rumah untuk menambah penghasilan suami yang barangkali kurang
mencukupi. Ia juga masih mempunyai sisa
waktu untuk belajar memasak, merajut, merangkai bunga, dan lain-lainnya pada
kegiatan PKK yang diselenggarakan tidak jauh dari rumahnya. Saya percaya sepenuhnya bahwa
kegiatan-kegiatan positip yang dilakukan di luar waktu untuk mengurus suami dan
anak-anaknya tersebut sangat bermanfaat baginya dan bagi keluarganya.
Lalu, mengapa kita juga
membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir?
Seorang ibu yang dalam kolom pekerjaan di KTPnya tertulis sebagai PNS
dan bukan sebagai Ibu Rumah Tangga tentu punya alasan lain lagi mengapa ia
bekerja sebagai pegawai negeri, padahal suaminya juga telah bekerja dan
kebetulan sama sebagai pegawai negeri.
Seorang Ibu Guru PNS pernah mengatakan kepada saya bahwa ia bekerja
sebagai guru karena penghasilan suaminya kurang mencukupi kebutuhan
keluarganya. Selain itu, sebagai Guru ia juga bisa belajar dari pengalamannya
mengajar selama ini untuk diterapkan kepada anak-anaknya, dan juga kepada
siswa-siswanya yang lain tahun ajaran berikutnya. Sebagian pekerjaan rumahnya seperti mencuci
dan menyeterika pakaian dikerjakan oleh pembantu rumah tangga yang ia gaji
secara bulanan. Dengan demikian, pilihan
profesinya sebagai seorang Guru PNS telah memberikan banyak manfaat kepada
dirinya, keluarganya, siswa-siswanya, dan juga kepada pembantu rumah tangganya.
Alasan yang kurang lebih
sama juga berlaku terhadap pertanyaan mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu
Perempuan Aktivis. Pada intinya mereka
masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak, di luar kegiatan internal rumahtangganya,
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan juga
masyarakat.
Kembali lagi pada pertanyaan
saya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini. Setelah
memperhatikan peran penting ketiga sosok Ibu tersebut diatas, saya
berkesimpulan bahwa kita membutuhkan sosok Ibu yang mampu membuktikan bahwa
semua kritik dan sorotan negatip yang ditujukan kepadanya adalah salah. Kita membutuhkan sosok Ibu Rumah Tangga yang
mampu bekerja di dalam dan juga di luar “sangkar”. Kita juga membutuhkan sosok
Ibu Wanita Karir yang tidak menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan tidak
pula menggadaikan kehormatannya kepada atasannya. Dan kita juga membutuhkan
sosok Ibu Perempuan Aktivis yang berdemonstrasi karena sesuai dengan tuntutan
hati nurani. Bukan karena dibayar oleh organisasi LSM yang mensponsorinya, dan
bukan pula karena ingin mendapatkan tempat terhormat sebagai birokrat atau wakil
rakyat.