Perempuan Memimpin NU
Ainna Amalia FN ;
Pengurus LKK NU Jatim;
Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel
Surabaya
|
JAWA
POS, 29 Juli 2015
SETIAP kali saya memulai diskusi mengenai masuknya
perempuan dalam kepengurusan NU, selalu saja tanggapan apatis dan pesimistis
yang muncul. Apalagi sampai sosok perempuan menjadi ketua NU, seakan
merupakan hal yang mustahil terjadi dalam organisasi kemasyarakatan NU.
Kepemimpinan perempuan dalam NU dinilai menyalahi aturan
kiai-kiai pendiri NU. Para perempuan potensial yang alim cukup diwadahi dalam
badan otonom NU yang bernama Muslimat, Fatayat, maupun Ikatan Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama (IPP NU).
Namun, ketika saya berdiskusi dengan Ketua PW Ma’arif Jawa
Timur Prof Abdul Haris, ada pendapat lain yang cukup menggelitik. Perempuan
NU yang potensial bisa menjadi pengurus NU, bahkan sangat mungkin menjadi
ketua NU. Pendapat ini tentu tidak main-main, apalagi menjelang Muktamar NU
Ke-33 pada 1–5 Agustus di Jombang.
Gagasan perempuan bisa membaur dalam kepengurusan NU baik
sebagai mustasyar (penasihat), syuriah (pemimpin tertinggi), maupun
tanfidiyah (pelaksana harian) sebenarnya mengemuka sejak lama. Pada 2008,
pandangan tersebut bergulir di sela-sela Konferwil PW NU Jawa tengah.
Alasannya, organisasi NU harus proporsional dan
profesional. Karena itu, perempuan yang memiliki profesionalitas di bidangnya
perlu diakomodasi dalam kepengurusan NU. Baik di tingkat pusat, wilayah
(provinsi), cabang (kabupaten), maupun ranting (desa/kelurahan).
Namun realitasnya, sampai saat ini sangat jarang tokoh
perempuan yang bisa mewarnai kepengurusan di tubuh NU. Di antara yang sangat
sedikit itu adalah cendekiawan perempuan dari Maroko Dr Mariam Ait Ahmad.
Perempuan pakar perbandingan agama yang juga ketua Asosiasi Maroko-Indonesia tersebut
diberi amanah sebagai mustasyar dalam struktur Pengurus Cabang Istimewa (PCI
NU) Maroko periode 2014–2016.
Ada banyak alasan sepinya perempuan di pengurusan NU.
Salah satunya adalah problem kultur patriarki yang masih sangat dominan di
tubuh NU. Dampaknya, kiai-kiai yang menjadi pengurus NU kurang berkenan jika
ada perempuan dalam kepengurusan NU.
Menurut mereka, para tokoh perempuan potensial itu
dimasukkan saja dalam badan otonom sesama perempuan yang berada di bawah
naungan NU, misalnya muslimat maupun fatayat. Jadi, tidak perlu duduk
sama-sama di susunan kepengurusan NU, apalagi sampai menjadi top leader.
Dampak lainnya, para perempuan potensial tersebut merasa
enggan dan canggung jadi pengurus NU. Ada perasaan ewuh-pakewuh dalam diri mereka. Dengan kata lain, masalah
psikologis memengaruhi niat dan keinginan tokoh-tokoh perempuan potensial
untuk berkiprah dalam kepengurusan NU. Padahal, secara kapasitas dan
kapabilitas, mereka memenuhi syarat.
Di samping kultur, faktor kesejarahan menjadi penyebab tak
banyak perempuan yang menjadi pengurus NU. Berawal dari para kiai pesantren
yang membentuk organisasi pergerakan melawan kolonialisme hingga akhirnya
para kiai sepakat mendirikan sebuah organisasi bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 31 Januari 1926 (www.nu.or.id).
Dua faktor tersebut memiliki kontribusi besar mengapa
hampir tidak ada perempuan dalam kepengurusan NU. Padahal, problem sosial
kemasyarakatan yang dihadapi kaum nahdliyin membutuhkan kebijakan organisasi
yang berperspektif perempuan. Tidak hanya seakan-akan demi perempuan, namun
sejatinya belum bisa mengatasi sumbernya karena masih ada bias.
Sebagai contoh, banyak warga nahdliyin yang masih berada
di bawah garis kemiskinan. Biasanya, perempuan berada pada posisi yang paling
memprihatinkan. Karena miskin, kesehatan reproduksi perempuan menjadi tidak
terpikirkan. Karena miskin, pendidikan perempuan jadi terabaikan. Karena
miskin, sering kali perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Karena
miskin, perempuan jadi gampang terpengaruh paham-paham radikal.
Karena itu, sudah saatnya perempuan-perempuan potensial
dilibatkan dalam kepengurusan NU. Tiba waktunya tokoh-tokoh perempuan sendiri
merasa terpanggil mengabdikan diri secara struktural dalam NU. Agar
kebijakan-kebijakan NU benar-benar bisa mengatasi problem kemanusiaan warga
nahdliyin yang sebagian besar adalah perempuan.
Menjelang Muktamar NU Ke33 Agustus mendatang, layak
dimunculkan tokoh-tokoh perempuan yang punya kapabilitas sebagai pengurus,
bahkan pemimpin NU. Baik di tingkat ranting maupun pusat. Bukan semata-mata
demi proporsionalitas, tapi problem-problem riil di level bawah menuntut
demikian. Agar NU sebagai organisasi kemasyarakatan mampu menjawab problem
keumatan dengan nyata.
Namun, tidak mudah mengubah apa yang sudah tertata dan
diyakini kebenarannya. Lebih-lebih menyangkut pemahaman dan kesejarahan.
Dalam kajian psikologi, masalah pemahaman, persepsi, sikap, dan perilaku
seseorang tak luput dari pengaruh sosial budaya, pengalaman, usia,
pendidikan, kematangan emosi, dan spiritual.
Karena itu, jika ingin mengubah pemahaman, sikap, dan
perilaku seseorang maupun sekelompok orang, harus ada perubahan dulu pada
faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya sikap dan perilaku. Perubahan
tersebut bisa terjadi kapan saja, baik secara alami karena perubahan zaman
maupun by design.
Kemudian, jika dikaitkan dengan wacana kepengurusan maupun
kepemimpinan perempuan dalam NU, itu akan sangat mungkin terjadi. Problem
kemanusiaan yang dihadapi warga nahdliyin bisa menjadi penyebab perubahan
pemahaman pantas tidaknya pelibatan perempuan secara struktural. Jadi, tidak
semata-mata pertimbangan politis dan jabatan.
Akhirnya, semoga NU ke depan tetap bisa memberikan manfaat
bagi masyarakat luas. Sebagaimana tujuan para pendahulu mendirikan NU. Jadi,
apa pun wacananya, jika demi kemaslahatan masyarakat luas, semua pasti
mungkin dan bisa terjadi. Wallahu a’lam
bis-sawab ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar