Mahalnya
Hukum Tertinggi
Abdul Wahid ; Wakil
Direktur I Program Pascasarjana Unisma; Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
|
KOMPAS, 30 November
2016
”Kebaikan bagi orang banyak adalah hukum tertinggi,”demikian
kata filsuf kenamaan Cicero, yang sejatinya sebagai ajakan pada setiap elemen
masyarakat dan bangsa untuk bersama-sama menegakkan hukum tertinggi yang
bernama kebaikan.
Cicero menempatkan kebaikan bagi orang banyak sebagai hukum
tertinggi secara a contrario dapat
dipahami bahwa ada opsi hukum terendah yang bernama kebaikan bagi segelintir
atau sekelompok orang.
Ketika seseorang atau sekelompok orang dengan atas nama hukum
atau hak asasi, dan bahkan atas nama agama memaksakan melakukan suatu
aktivitas, seperti demonstrasi, yang aktivitas demikian ini dilakukan untuk
memenuhi kepentingan atau hak-haknya, sementara kepentingan orang banyak
dikorbankan, maka yang dilakukannya identik dengan menegakkan hukum terendah
dan mengeliminasi hukum tertinggi.
Memang kebaikan bagi banyak orang harus yang diutamakan sebab
kebaikan demikian berelasi dengan banyak dan beragam kepentingan asasi atau
kebutuhan fundamental. Karena itu, kalau ini sampai dilanggar dan diterjang
oleh sekelompok orang, kerugiannya sangat besar sehingga ”harganya” pun
menjadi mahal.
Kerugian yang ditanggung oleh banyak orang ini bukan hanya
kerugian ekonomi dan jiwa, melainkan juga kerugian mempertaruhkan integrasi
sosial. Kerumunan massa dalam jumlah besar, seperti demonstrasi 4 November
beberapa waktu lalu, memberikan pelajaran berharga bahwa selain jutaan warga
terganggu menjalankan aktivitas ekonominya juga terjadi gesekan sekelompok
orang yang mengindikasikan kalau beberapa faksi sosial rentan terseret dalam
pertumpahan darah.
Kondisi seperti itulah yang pernah diingatkan Thomas Hobbes
dengan kata populernya, ”bellum omnium contra omnes” atau sekelompok orang
bisa terdorong memusuhi atau bentrok dengan kelompok lainnya saat kepentingan
banyak orang terabaikan.
Peringatan Thomas Hobbes itu tepat dijadikan sebagai bahan
refleksi bahwa ketegangan dan friksi berdarah bisa tersulut dan terjadi
dengan gampang karena setiap kelompok umumnya mempertahankan keyakinan dan
prinsip-prinsipnya, merasa punya hak lebih banyak, merasa lebih berhak
diperhatikan dan diprioritaskan, serta merasa lebih privilese dan superior
dibandingkan lainnya.
Aksi 2
Desember
Menyikapi ancaman akan adanya demonstrasi besar-besaran lagi
pada 2 Desember, penulis sepakat dengan pernyataan Kepala Polri yang menyebut
bahwademo ini diduga bermuatan politik sehingga bacaan Kapolri ini dapat
relevan dengan peringatan Hobbes. Artinya, potensial bisa terjadi sekelompok
orang memusuhi atau menciptakan radikalitas terhadap kelompok lainnya.
Kalau seperti itu yang terjadi, kita harus ingat pesan yang
disampaikan oleh Napoleon Bonaparte bahwa di tengah suasana kacau (chaos),
hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan.
Bisa saja ”para bajingan”, baik yang konvensional maupun
”berdasi”, yang menciptakan atmosfer politik dalam setiap gerakan untuk
menciptakan kekacauan. Begitu kekacauan terjadi, dirinya bisa mengambil
beragam keuntungan atau kepentingan-kepentingan strategisnya berhasil
dipenuhinya. Dari kekacauan ini, kursi bisa diraih atau target ekonomi sukses
dipenuhinya.
Meskipun demo itu dilaksanakan dengan kemasan ”superdamai”
dengan cara menggelar sajadah atau shalat Jumat bersama di tengah jalan
(Bundaran Hotel Indonesia), cara ini tetaplah pola eksklusivitas dan
monologis. Ini dapat terbaca dari pernyataan beberapa orang yang akan tetap
menggelar ritualitas sujud bersama meski Kapolri berkali-kali meminta supaya
aktivitas ini dilaksanakan di masjid supaya tak menghalangi aktivitas publik.
Mengacu pada pendapat Kapolri soal muatan politik dalam rencana
aksi 2 Desember, memang logikanya, ketika politik sudah menjadi ruh dari
gerakan, maka ini identik dengan kepentingan sekelompok orang, pihak- pihak
yang beraliansi dan berafiliasi secara eksklusif, atau adanya target-target
tertentu, sehingga yang demikian ini identik sebagai ”hukum terendah”, sebab
tidak memperhitungkan lagi kepentingan banyak orang.
Kalau kepentingan banyak orang yang jadi pertimbangan setiap
elemen bangsa, khususnya tokoh-tokoh agama, pemimpin partai, atau
kelompok-kelompok gerakan, tentulah hak damai, tenang, bebas dari ketakutan,
bisa terproteksi dalam memanfaatkan waktu atau kesempatan seluas-luasnya
dalam mewujudkan hidup berkelayakan.
Toleransi dan
humanisasi
Seseorang atau sekelompok orang yang mau mewujudkan kepentingan
banyak orang itu berarti dalam dirinya belum mengalami kematian cinta. Sikap
dan perilakunya diarahkan untuk memberikan yang terbaik pada banyak orang.
Pemberian yang terbaik ini namanya pengaplikasian cinta. ”Di mana ada cinta,
di situ ada kehidupan”, demikian pula peringatan reformis India Mahatma
Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan masyarakat
dan bangsa.
Bangunan hidup masyarakat dan bangsa menjadi baik dalam dimensi
persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah
insaniyah), ataupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) menjadi kokoh jika
dikonstruksi oleh dan karena cinta pada sebanyak-banyaknya orang.
Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakkan
terjadinya konvergensi dan integrasi antarsegmen bangsa yang berbeda etnis,
budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lain yang
semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan bekunya atau ”panasnya”
hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan
mengultuskan faksi-faksinya (golongan- golongannya).
Melalui kekuatan itu, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak
egoisme atau kebencian sektoral yang bisa dikalahkan, ada kesabaran yang
harus dimenangkan, ada toleransi yang bisa disuburkan, ada kearifan yang
dipanglimakan, dan ada inklusivitas yang terus diberdayakan. Kalau kekuatan
itu terus diberdayakan, perasaan benar sendiri (truth claims), merasa paling
suci di hadapan Tuhan, merasa paling berhak mendapatkan tiket ke surga, tidak
akan sampai terjadi dan berkembang.
Dalam diri setiap individujustru tumbuh keinginan menjaga supaya
tangannya tidak menjadi ”tangan-tangan kotor” (the dirty hands) atau menjadi
”tangan- tangan gaib” (the invisible hands) yang mendestruksi hak sesamanya.
Alkisah, ketika hendak shalat Subuh, sahabat Ali RA pernah tidak
berani menyalip dan mendahului seorang Yahudi tua yang sedang berjalan
tertatih-tatih. Ia khawatir kalau mendahului akan membuatnya kaget. Akibat
semangat Ali yang memberikan toleransi yang didasari semangat menghormati hak
kemanusiaan si Yahudi itu, Nabi Muhammad SAW yang sedang menunaikan shalat
Subuh secara berjemaah tidak bisa mengakhiri shalatnya cepat-cepat. Sebab,
ketika sujud, ada kekuatan gaib yang menyuruhnya sujud lebih lama guna
menunggu seseorang yang belum datang (Ali).
Dalam kasus tersebut, ada pelajaran berharga yang dapat
diperoleh bahwa sikap toleransi tinggi atau humanisasi terhadap orang lain
yang berbeda agama, etnis, budaya, atau aspek lain merupakan wujud perbuatan
yang bermaknakan penghormatan atau ”kasih universal” yang dimuliakan oleh
Tuhan.
Manusia (sekumpulan orang) akan mendapatkan derajat agung
(kemuliaan) manakala sikap dan perilaku yang dihadirkan dan ”disburkan” di
tengah masyarakat mampu mendatangkan kedamaian pada orang lain. Selama orang
lain masih hidup serba ketakutan, jauh dari kedamaian, dan merasa tidak
nyaman dalam menjalani kehidupannya, maka ini pertanda masih gagal menggapai
derajat kemuliaan di sisi- Nya. Pembumian ajaran ”kesalehan universal” itu
dapat terbaca melalui deskripsi konkret perilaku humanitas yang didasarkan
semangat dan gerakan humanisasi yang berbasis non-misoginis, atau jauh dari
perasaan antipati, apalagi sampai gampang menvonis ”praduga bersalah” (presumption
of guilt) kepada sesama. ●
|