Rabu, 30 November 2016

Mahalnya Hukum Tertinggi

Mahalnya Hukum Tertinggi
Abdul Wahid  ;   Wakil Direktur I Program Pascasarjana Unisma; Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Kebaikan bagi orang banyak adalah hukum tertinggi,”demikian kata filsuf kenamaan Cicero, yang sejatinya sebagai ajakan pada setiap elemen masyarakat dan bangsa untuk bersama-sama menegakkan hukum tertinggi yang bernama kebaikan.

Cicero menempatkan kebaikan bagi orang banyak sebagai hukum tertinggi secara a contrario dapat dipahami bahwa ada opsi hukum terendah yang bernama kebaikan bagi segelintir atau sekelompok orang.

Ketika seseorang atau sekelompok orang dengan atas nama hukum atau hak asasi, dan bahkan atas nama agama memaksakan melakukan suatu aktivitas, seperti demonstrasi, yang aktivitas demikian ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan atau hak-haknya, sementara kepentingan orang banyak dikorbankan, maka yang dilakukannya identik dengan menegakkan hukum terendah dan mengeliminasi hukum tertinggi.

Memang kebaikan bagi banyak orang harus yang diutamakan sebab kebaikan demikian berelasi dengan banyak dan beragam kepentingan asasi atau kebutuhan fundamental. Karena itu, kalau ini sampai dilanggar dan diterjang oleh sekelompok orang, kerugiannya sangat besar sehingga ”harganya” pun menjadi mahal.

Kerugian yang ditanggung oleh banyak orang ini bukan hanya kerugian ekonomi dan jiwa, melainkan juga kerugian mempertaruhkan integrasi sosial. Kerumunan massa dalam jumlah besar, seperti demonstrasi 4 November beberapa waktu lalu, memberikan pelajaran berharga bahwa selain jutaan warga terganggu menjalankan aktivitas ekonominya juga terjadi gesekan sekelompok orang yang mengindikasikan kalau beberapa faksi sosial rentan terseret dalam pertumpahan darah.

Kondisi seperti itulah yang pernah diingatkan Thomas Hobbes dengan kata populernya, ”bellum omnium contra omnes” atau sekelompok orang bisa terdorong memusuhi atau bentrok dengan kelompok lainnya saat kepentingan banyak orang terabaikan.

Peringatan Thomas Hobbes itu tepat dijadikan sebagai bahan refleksi bahwa ketegangan dan friksi berdarah bisa tersulut dan terjadi dengan gampang karena setiap kelompok umumnya mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsipnya, merasa punya hak lebih banyak, merasa lebih berhak diperhatikan dan diprioritaskan, serta merasa lebih privilese dan superior dibandingkan lainnya.

Aksi 2 Desember

Menyikapi ancaman akan adanya demonstrasi besar-besaran lagi pada 2 Desember, penulis sepakat dengan pernyataan Kepala Polri yang menyebut bahwademo ini diduga bermuatan politik sehingga bacaan Kapolri ini dapat relevan dengan peringatan Hobbes. Artinya, potensial bisa terjadi sekelompok orang memusuhi atau menciptakan radikalitas terhadap kelompok lainnya.

Kalau seperti itu yang terjadi, kita harus ingat pesan yang disampaikan oleh Napoleon Bonaparte bahwa di tengah suasana kacau (chaos), hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan.

Bisa saja ”para bajingan”, baik yang konvensional maupun ”berdasi”, yang menciptakan atmosfer politik dalam setiap gerakan untuk menciptakan kekacauan. Begitu kekacauan terjadi, dirinya bisa mengambil beragam keuntungan atau kepentingan-kepentingan strategisnya berhasil dipenuhinya. Dari kekacauan ini, kursi bisa diraih atau target ekonomi sukses dipenuhinya.

Meskipun demo itu dilaksanakan dengan kemasan ”superdamai” dengan cara menggelar sajadah atau shalat Jumat bersama di tengah jalan (Bundaran Hotel Indonesia), cara ini tetaplah pola eksklusivitas dan monologis. Ini dapat terbaca dari pernyataan beberapa orang yang akan tetap menggelar ritualitas sujud bersama meski Kapolri berkali-kali meminta supaya aktivitas ini dilaksanakan di masjid supaya tak menghalangi aktivitas publik.

Mengacu pada pendapat Kapolri soal muatan politik dalam rencana aksi 2 Desember, memang logikanya, ketika politik sudah menjadi ruh dari gerakan, maka ini identik dengan kepentingan sekelompok orang, pihak- pihak yang beraliansi dan berafiliasi secara eksklusif, atau adanya target-target tertentu, sehingga yang demikian ini identik sebagai ”hukum terendah”, sebab tidak memperhitungkan lagi kepentingan banyak orang.

Kalau kepentingan banyak orang yang jadi pertimbangan setiap elemen bangsa, khususnya tokoh-tokoh agama, pemimpin partai, atau kelompok-kelompok gerakan, tentulah hak damai, tenang, bebas dari ketakutan, bisa terproteksi dalam memanfaatkan waktu atau kesempatan seluas-luasnya dalam mewujudkan hidup berkelayakan.

Toleransi dan humanisasi

Seseorang atau sekelompok orang yang mau mewujudkan kepentingan banyak orang itu berarti dalam dirinya belum mengalami kematian cinta. Sikap dan perilakunya diarahkan untuk memberikan yang terbaik pada banyak orang. Pemberian yang terbaik ini namanya pengaplikasian cinta. ”Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”, demikian pula peringatan reformis India Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan masyarakat dan bangsa.

Bangunan hidup masyarakat dan bangsa menjadi baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), ataupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) menjadi kokoh jika dikonstruksi oleh dan karena cinta pada sebanyak-banyaknya orang.

Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakkan terjadinya konvergensi dan integrasi antarsegmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lain yang semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan bekunya atau ”panasnya” hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan mengultuskan faksi-faksinya (golongan- golongannya).

Melalui kekuatan itu, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme atau kebencian sektoral yang bisa dikalahkan, ada kesabaran yang harus dimenangkan, ada toleransi yang bisa disuburkan, ada kearifan yang dipanglimakan, dan ada inklusivitas yang terus diberdayakan. Kalau kekuatan itu terus diberdayakan, perasaan benar sendiri (truth claims), merasa paling suci di hadapan Tuhan, merasa paling berhak mendapatkan tiket ke surga, tidak akan sampai terjadi dan berkembang.

Dalam diri setiap individujustru tumbuh keinginan menjaga supaya tangannya tidak menjadi ”tangan-tangan kotor” (the dirty hands) atau menjadi ”tangan- tangan gaib” (the invisible hands) yang mendestruksi hak sesamanya.

Alkisah, ketika hendak shalat Subuh, sahabat Ali RA pernah tidak berani menyalip dan mendahului seorang Yahudi tua yang sedang berjalan tertatih-tatih. Ia khawatir kalau mendahului akan membuatnya kaget. Akibat semangat Ali yang memberikan toleransi yang didasari semangat menghormati hak kemanusiaan si Yahudi itu, Nabi Muhammad SAW yang sedang menunaikan shalat Subuh secara berjemaah tidak bisa mengakhiri shalatnya cepat-cepat. Sebab, ketika sujud, ada kekuatan gaib yang menyuruhnya sujud lebih lama guna menunggu seseorang yang belum datang (Ali).

Dalam kasus tersebut, ada pelajaran berharga yang dapat diperoleh bahwa sikap toleransi tinggi atau humanisasi terhadap orang lain yang berbeda agama, etnis, budaya, atau aspek lain merupakan wujud perbuatan yang bermaknakan penghormatan atau ”kasih universal” yang dimuliakan oleh Tuhan.

Manusia (sekumpulan orang) akan mendapatkan derajat agung (kemuliaan) manakala sikap dan perilaku yang dihadirkan dan ”disburkan” di tengah masyarakat mampu mendatangkan kedamaian pada orang lain. Selama orang lain masih hidup serba ketakutan, jauh dari kedamaian, dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupannya, maka ini pertanda masih gagal menggapai derajat kemuliaan di sisi- Nya. Pembumian ajaran ”kesalehan universal” itu dapat terbaca melalui deskripsi konkret perilaku humanitas yang didasarkan semangat dan gerakan humanisasi yang berbasis non-misoginis, atau jauh dari perasaan antipati, apalagi sampai gampang menvonis ”praduga bersalah” (presumption of guilt) kepada sesama.

Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika
Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

The part always has a tendency to unite, with its whole in order to escape, from its imperfection.     Leonardo da Vinci

Kesempurnaan adalah kesatuan-keikaan. Keterpecahan dan keterpisahan adalah ketidaksempurnaan. Semakin kaya perbedaan, semakin tinggi kesempurnaan, asal diikakan.

Nenek moyang orang Jawa mengenal ungkapan ini, "Dunia hanya berisi dua hal saja, yang saling bertentangan sifatnya".

Maka keberadaan ini terdiri dari kebinekaan pasangan-pasangan yang demikian. Ada kaya dan miskin, ada perempuan dan lelaki, ada atas dan bawah, ada baka dan fana, serta jutaan pasangan yang berbalikan sifat.

Kepulauan Indonesia ini juga terdiri dari kebinekaan alamiah, ada perbukitan dan dataran rendah, ada pedalaman dan pesisir, ada subur dan tandus, hutan rimba tak terjamah dan padat penduduk.

Berbagai agama ada di Indonesia sejak dahulu kala. Ada Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu. Bagaimana sistem iman yang berbeda-beda ini dapat hidup berdampingan secara damai di Indonesia?

Nenek moyang bangsa Indonesia sebelum masuknya agama-agama "asing" ke Indonesia telah memiliki beraneka sistem kepercayaan pada setiap suku. Suku-suku di Indonesia tersebut tak pernah menista, memusuhi, dan berperang karena perbedaan sistem kepercayaan suku. Mereka saling memaklumi perbedaan-perbedaan itu. Tak jarang terjadi sistem kepercayaan satu suku masuk ke suku lain dan mereka mengadopsinya sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Ada ungkapan dalam bahasa Latin In omnibus glorificetur Deus yang artinya biarlah Tuhan dimuliakan dalam segala cara. Rupanya ungkapan itu juga dimiliki nenek moyang kita pada masa yang jauh lampau. Kepercayaanku adalah kepercayaanku, kepercayaanmu adalah kepercayaanmu. Kita sama-sama memuliakan Tuhan Yang Maha Esa itu. Tidak ada satu pun sistem kepercayaan suku yang memiliki misi menyebarkan kepercayaannya kepada pihak lain.

Religi atau sistem kepercayaan nenek moyang itu merupakan religi perbuatan, tingkah laku, bukan religi kata-kata (logos). Mereka tidak punya semacam "kitab suci". Yang mereka punya hanya hukum adat. Hukum adat itu mengacu pada alam lingkungan masing-masing sehingga alam terkembang menjadi guru manusia. Tengoklah semua pepatah adat, selalu berorientasi pada etika alam. "Tiada rotan akar pun berguna", "air susu dibalas air tuba", "gajah mati meninggalkan gading", serta pepatah lainnya.

Prinsip hidup mereka adalah selamat dan menyelamatkan orang lain. Bukan asal selamat sendirian. Karena etikanya adalah laku atau perbuatan, maka mereka tak segan-segan mengambil logos dari mana pun asal membuahkan perbuatan baik.

Nusa damai

Keberagaman hayati di Indonesia juga membuat Indonesia itu Nusa Damai. Padi hanya tumbuh di dataran rendah Pulau Jawa. Cengkeh, pala, kayu wangi, tidak tumbuh di Jawa, tetapi di Indonesia timur. Mereka saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing dengan kelebihan masing-masing. Itulah Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada ambisi memonopoli jual-beli beras dari suku mana pun. Belanda dengan VOC-nya yang mengenalkan "perdagangan tunggal" alias monopoli itu yang bersifat non-Indonesia.

Kalimantan yang kaya raya produk hayati itu dahulu amat diperlukan oleh suku-suku lain di Indonesia, bahkan bangsa-bangsa lain. Itu sebabnya, ada suku Punan yang pengembara, mengumpulkan produk hayati rimba raya Kalimantan dan kemudian menukarkannya dengan para pedagang pesisir Kalimantan untuk dijual ke seluruh Nusantara, Tiongkok, dan India.

Orang Jawa dahulu memerlukan satu getah pohon untuk bahan membatik. Getah itu berasal dari pohon yang hanya tumbuh di hutan Kalimantan. Batik Jawa baru hidup kalau ada pengikaan dengan Kalimantan.

Orang Indonesia masih percaya bahwa dirinya terdiri dari keanekaan. Namun, apa gunanya keanekaan kalau terpisah-pisah? Setiap ragam memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing karena yang ada pada kita hanya ketidaksempurnaan. Untuk apa kelebihan beras kalau tak punya hutan penghasil kayu untuk membangun rumah? Untuk apa memproduksi kain bagus-bagus kalau daerahnya tandus tak memberikan makanan?

Yang kaya membutuhkan orang miskin untuk tenaga kerjanya, yang miskin memerlukan uang si kaya. Pengukir kayu di Jepara bagaimana dapat berproduksi kalau bermusuhan dengan penghasil kayu di pulau lain?

Kita manusia tidak sempurna, punya kelebihan dan kekurangan. Kita baru sempurna kalau kelebihan orang lain mengisi kekurangan kita. Tidak ada manusia super di sini karena manusia semacam itu tidak membutuhkan orang lain lagi.

Pentingnya Moratorium Ujian Nasional

Pentingnya Moratorium Ujian Nasional
Ari Kristianawati  ;   Guru SMAN 1 Sragen
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah berencana melakukan moratorium ujian nasional mulai tahun ajaran 2017. Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, UN akan dihentikan sementara karena selama ini dianggap tidak optimal dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan nasional.

Ujian nasional (UN) lebih membebani siswa ketimbang menjadi peranti sosioedukatif untuk melihat kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran di sekolah. UN secara psikologis dianggap membuat stres siswa (anak didik). Penghapusan UN untuk sementara waktu (moratorium) merupakan sesuatu yang menggembirakan bagi pihak yang berpegang teguh pada filosofi pendidikan transformatif. Filosofi pendidikan transformatif sangat mengharamkan adanya penyeragaman model evaluasi akhir pembelajaran bagi siswa. Evaluasi akhir pembelajaran untuk naik jenjang pendidikan yang lebih tinggi sepenuhnya merupakan otonomi dan kewenangan guru sebagai pendidik.

UN dalam praktiknya penuh kecurangan baik yang dilakukan siswa, oknum guru, kepala sekolah, sampai dengan elite birokrasi pendidikan. Penyelenggaraan UN juga butuh biaya ratusan miliaran rupiah yang bagi kalangan pendidik dianggap pemborosan dan tidak tepat sasaran. UN dalam capaiannya justru memberi justifikasi bahwa pendidikan di daerah pinggiran tertinggal kualitasnya dibandingkan daerah perkotaan. UN "menelanjangi"  kegagalan pemerataan mutu, fasilitas, dan infrastruktur pendidikan antara desa dengan kota dan antara Jawa dengan luar Jawa.

Kelompok yang mendukung pelaksanaan UN memiliki beberapa argumentasi. Pertama, UN akan mendorong keseriusan belajar bagi siswa. Anak didik akan terdorong semangat belajarnya untuk meraih kelulusan dengan nilai baik dalam UN. Kedua, UN adalah parameter ideal untuk mengukur standar capaian kuantitatif pembelajaran di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah yang berlaku secara nasional. Ketiga, UN akan membantu guru (pendidik) dalam menentukan skema evaluasi final pembelajaran tanpa harus terbebani tanggung jawab membuat formula ujian akhir.

Yang jelas, penyelenggaraan UN selama ini memang tak cukup legitimated untuk jadi tolok ukur kualitas pendidikan nasional. Pada saat UN dijadikan penentu kelulusan, mayoritas siswa dari keluarga mampu secara ekonomilah yang lulus UN karena mereka bisa ikut les tambahan di luar sekolah.

UN juga menjadi bukti kegagalan pemerataan infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal. Sering diketahui dari rilis Kemdikbud ada sekolah-sekolah di daerah tertinggal yang angka kelulusan UN-nya nol persen. Bagaimana tidak gagal mencapai kelulusan UN jika fasilitas belajar di sekolah ala kadarnya dan banyak sekolah tidak memiliki guru tetap yang mengajar dengan kecakapan akademis.

Penghapusan UN memang melahirkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Namun, yang lebih penting Kemdikbud harus menyusun formula evaluasi akhir pembelajaran saat siswa akan naik jenjang pendidikan. Kemdikbud juga harus memberikan otonomi kepada guru sebagai pendidik yang benar-benar memahami proses dan ritual pembelajaran di sekolah.

Beberapa langkah

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan Kemdikbud jika 2017 benar-benar akan melakukan moratprium UN. Pertama, Kemdikbud segera menyusun petunjuk teknis operasional sistem, tata cara, mekanisme, arahan penyelenggaraan ujian akhir atau evaluasi final pembelajaran di sekolah dengan mengedepankan otoritas guru atau  kaukus guru kelas/bidang studi.

Saatnya sekolah-guru-diberikan keleluasaan membuat formula ujian akhir sekolah berbasis pembelajaran terpadu. Kedua, perlu peningkatan kapasitas guru sehingga mampu menjadi evaluator pembelajaran dengan standar mutu. Tugas Kemdikbud membuat pelatihan penguatan kompetensi guru dalam  ilmu pedagogik yang di dalamnya mengentalkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas evaluasi pembelajaran bagi siswa.

Ketiga, membantu  guru-guru dan sekolah di daerah tertinggal untuk membuat rancang bangun evaluasi tahap akhir pendidikan dasar dan menengah yang memiliki  batas ideal sehingga evaluasi akhir pembelajaran bagi siswa yang akan lulus SD ataupun sekolah menengah terukur dalam perspektif keilmuan dan metodologi pendidikannya.

Tugas bagi guru dan sekolah untuk memotivasi anak didik agar tetap bergiat dalam pembelajaran meskipun tidak ada UN. Budaya literasi di sekolah, seperti membaca, menulis, dan meneliti, harus dikembangkan menjadi habitus bagi guru dan siswa. Tidak adanya UN harus ditransformasikan menjadi langkah pengembangan kultur edukasi berbasis wacana dan literasi sehingga kualitas pendidikan nasional akan meningkat.

Pelaksana Tugas Kepala Daerah

Pelaksana Tugas Kepala Daerah
Oce Madril  ;   Dosen Fakultas Hukum UGM;
Pegiat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Yogyakarta; Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemilihan kepala daerah serentak pada awal 2017 akan dilakukan di 101 daerah. Atas perintah Undang-Undang tentang Pilkada, kepala daerah petahana yang mencalonkan diri harus cuti dari jabatannya. Untuk menjamin jalannya pemerintahan, pemerintah pusat mengangkat pelaksana tugas gubernur, bupati, atau wali kota.


Perdebatan muncul mengenai kedudukan dan sejauh mana kewenangan pejabat pelaksana tugas dalam memimpin pemerintahan daerah. Berangkat dari kasus pemerintahan DKI Jakarta atau mungkin juga daerah lain, di mana pejabat pelaksana tugas mengubah kebijakan anggaran yang telah ditetapkan oleh gubernur definitif, muncul pertanyaan, apakah pejabat pelaksana tugas memiliki kewenangan yang sama dengan pejabat definitif? 

Mengenai pejabat pengganti di pemerintahan daerah, dikenal dua istilah, yakni pelaksana tugas dan penjabat. Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, pelaksana tugas diangkat ketika pejabat definitif berhalangan sementara. Sementara "penjabat" diangkat ketika terjadi kekosongan jabatan karena pejabat definitif diberhentikan sementara atau diberhentikan tetap. Pembedaan kedua istilah itu membawa konsekuensi atas kewenangannya.

Kewenangan terbatas

Terkait pilkada memang tidak diatur secara khusus. Undang-Undang Pilkada ataupun Undang-Undang Pemda tidak mengatur perihal tersebut. Walaupun demikian, kita dapat merujuk pada konsep pelaksana tugas yang diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Bagaimana kewenangan pejabat pelaksana tugas? Satu hal yang jelas, pejabat pelaksana tugas bukanlah pejabat definitif sehingga kewenangannya tentu tidak sama dengan pejabat sebenarnya. Pejabat pelaksana tugas kepala daerah, bukanlah gubernur, bupati, atau wali kota yang dipilih oleh rakyat melalui pilkada dan memperoleh kewenangannya secara atributif melalui konstitusi dan undang-undang.

Pejabat pelaksana tugas adalah pejabat yang ditunjuk dan memperoleh kewenangannya secara mandat dari atasan untuk menjalankan tugas rutin pemerintahan.

Berdasarkan cara perolehan kewenangan itu, maka kewenangan pejabat pelaksana tugas sangatlah terbatas. Undang-Undang Pemda dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 14) membatasi tugas pejabat pelaksana tugas hanya sebatas pelaksanaan tugas rutin. Yaitu, melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah yang tidak berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan, kelembagaan, kepegawaian, dan perizinan.

Termasuk dalam kebijakan strategis adalah kebijakan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah, perubahan struktur organisasi, perubahan status hukum kepegawaian (melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai), serta perubahan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya.

Artinya, pejabat pelaksana tugas dilarang membuat kebijakan strategis di atas. Kewenangan pejabat pelaksana tugas hanya sebatas "menjalankan" kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.

Kewenangan yang sifatnya administratif dapat saja dilakukan pejabat pelaksana tugas, misalnya menandatangani dokumen yang sudah ditetapkan sebelumnya atau tugas administratif rutin lainnya. Bukan membuat kebijakan strategis baru, apalagi mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.

Masalah permendagri

Undang-Undang Pemda memberi mandat agar hal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sepanjang penelusuran penulis, peraturan pemerintahnya tidak pernah muncul. Menteri dalam negeri berinisiatif mengaturnya. Terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah yang ikut pilkada.

Walaupun permendagri ini tentang cuti, dalam salah satu pasalnya diselipkan mengenai pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah dan wewenangnya. Berdasarkan Pasal 9 Permendagri itu, wewenang pejabat pelaksana tugas tidak lagi sekadar melaksanakan tugas rutin pemerintahan, tetapi melebar pada hal-hal kebijakan strategis yang semestinya menjadi kewenangan pejabat definitif. Inilah pangkal masalahnya.

Jika hanya menandatangi dokumen perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta perda organisasi perangkat daerah tentu tidak masalah. Akan tetapi, permendagri menyamakan kewenangan pejabat pelaksana tugas dengan pejabat definitif, yaitu memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Dengan begini, pejabat pelaksana tugas mendapat legitimasi untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat definitif yang, misalnya, dapat merombak perencanaan strategis pemda dan alokasi anggaran. Permendagri juga membolehkan pengisian dan penggantian pejabat, setelah dapat persetujuan menteri (padahal pejabat definitif saja dilarang oleh Undang-Undang Pilkada untuk melakukan penggantian pejabat sejak enam bulan sebelum pilkada). Aturan permendagri itu jelas melangkahi ketentuan Undang-Undang Pemda, Undang-Undang Pilkada, dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Masalah lain permendagri adalah aturan ini memperluas kewenangan mendagri dengan mengatasnamakan presiden. Terlihat dari dua hal, yakni terkait pemberian cuti kepada petahana dan pengangkatan pejabat pelaksana tugas. Mestinya kedua hal itu diatur peraturan presiden. Bahwa kemudian presiden melimpahkan keputusan pemberian cuti dan pengangkatan pelaksana tugas kepada mendagri, itu harus ditegaskan melalui peraturan presiden, bukan permendagri.

Beginilah problem regulasi di tingkat pemerintahan. Pada praktiknya jamak ditemukan regulasi di tingkat kementerian yang menganulir atau melumpuhkan aturan undang-undang. Regulasi tingkat kementerian ini sulit diawasi. Padahal salah satu penyebab korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang bersumber pada aturan yang memang sudah keliru dari awal sehingga memunculkan kekeliruan-kekeliruan berikutnya.

Fintech dan Optimisme Ekonomi Indonesia

Fintech dan Optimisme Ekonomi Indonesia
Junanto Herdiawan  ;   Pelaksana Tugas Kepala Fintech Office Bank Indonesia
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perekonomian Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ekonomi global yang lesu, permintaan domestik yang belum optimal, dan pertumbuhan kredit yang masih rendah menjadi beberapa faktor yang menghambat ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi dan merata.

Kondisi tersebut kerap menimbulkan pesimisme pada pelaku ekonomi. Namun Presiden Joko Widodo mengingatkan kita untuk tetap optimistis dalam memandang masa depan. Sebenarnya banyak hal yang dapat membuat kita tetap optimistis, mulai dari indikator makroekonomi yang stabil hingga berbagai potensi yang kita miliki saat ini. Salah satu potensi tersebut adalah fenomena bertumbuhnya ekonomi digital di Tanah Air.

Istilah ekonomi digital belakangan ini marak dibicarakan. Kita tengah mengalami perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kemajuan teknologi, khususnya penetrasi internet, masyarakat secara instan terhubung satu dengan yang lain. Munculnya media sosial dan sarana digital, seperti e-mail, Whatsapp, Facebook, Twitter, dan Instagram, telah mengubah cara kita berkomunikasi.

Kecepatan berkomunikasi secara langsung dan terbuka lewat teknologi turut membuka pasar dan mendekatkan produsen dengan konsumen. Kita menjadi akrab dengan aktivitas belanja daring atau yang umum disebut e-dagang. Perkembangan ini kemudian diikuti pula oleh peningkatan peran masyarakat dalam mengakses sektor keuangan.

Namun, sebagian besar masyarakat masih menganggap sektor keuangan sebagai sektor yang sulit diakses. Krisis ekonomi global tahun 2008 semakin menguatkan persepsi tersebut. Pasca krisis global, otoritas di sejumlah negara melakukan respons dengan pengetatan terhadap aturan-aturan di sektor keuangan, termasuk perbankan.

Berbagai perkembangan itu telah memberi ruang bagi tumbuhnya inovasi ekonomi digital, khususnya di bidang teknologi keuangan, yang kini populer dengan istilah financial technology atau disingkat Fintech. Kehadiran inovasi teknologi keuangan telah mampu memotong jalur dan prosedur panjang yang menjadi ciri sektor keuangan formal.

Secara sederhana, Fintech adalah berbagai inovasi yang menggabungkan fungsi keuangan (financial) dengan teknologi (technology). Pelaku usaha Fintech, yang umumnya disebut pelaku usaha rintisan (start up), berbekal ide kreatif dan inovatif, hadir memberi solusi alternatif atas kebutuhan masyarakat akan pelayanan jasa keuangan, mulai dari pembayaran, pengiriman uang, mendapatkan pinjaman, berbelanja, berdagang, hingga berinvestasi. Fintech menyimpan potensi besar dalam sebuah ekonomi. Data dari McKinsey (2016) menunjukkan bahwa industri Fintech secara global tumbuh signifikan, dari sekitar 800 pelaku hingga mencapai 2.000 pelaku dalam kurun satu tahun. Data lain menyebutkan bahwa total transaksi global Fintech di tahun 2016 diperkirakan mencapai 2.355 miliar dollar AS.

Di Indonesia, menurut data Statista, nilai transaksi Fintech selama tahun 2016 diperkirakan mencapai 14,5 miliar dollar AS. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa akses pembiayaan dan konsumsi rumah tangga dari Fintech mampu memberi dorongan bagi pertumbuhan ekonomi dan mendukung penyerapan tenaga kerja.

Satu hal yang membedakan dari perkembangan Fintech di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang adalah bahwa Fintech di negara maju umumnya fokus pada penciptaan inovasi dan nilai tambah. Sementara di negara berkembang, Fintech tumbuh sebagai solusi alternatif atas berbagai masalah ekonomi yang dihadapi negara tersebut, seperti keterbatasan akses masyarakat pada sektor keuangan, kesenjangan ekonomi, hingga kesempatan kerja.

Fintech di Indonesia

Kondisi Indonesia saat ini juga menjadi pemicu bagi bertumbuhnya usaha Fintech. Saat ini baru 36 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses ke layanan perbankan. Selain itu, jumlah kantor cabang bank per jumlah penduduk juga masih rendah. Data Bank Dunia juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi permintaan pendanaan hingga Rp 1.600 triliun. Namun, hanya Rp 600 triliun yang mampu disediakan oleh industri perbankan.

Pintu masuk paling efektif bagi Fintech di Indonesia adalah melalui penggunaan telepon genggam. Saat ini ada 326 juta pengguna telepon genggam di Indonesia dan pengguna internet aktif 88,1 juta orang. Peluang inilah yang menjadi pemicu pelaku usaha rintisan mengembangkan inovasi di bidang Fintech. Mulai dari model bisnis pinjam meminjam bagi UMKM dengan peer to peer lending atau crowdfunding, hingga berbagai kemudahan pembayaran menggunakan telepon genggam (mobile payment) telah menjadi pilihan alternatif kegiatan Fintech.

Pertanyaan yang muncul adalah ke mana arah perkembangan Fintech di Indonesia, bagaimana mitigasi risiko dari transaksi digital, serta bagaimana perlindungan konsumen. Di sinilah peran regulator menjadi penting. Inovasi teknologi adalah suatu keniscayaan. Regulator perlu selalu berada di dekat inovasi. Iklim berusaha yang kondusif perlu terus dirangsang tumbuh untuk mendorong ekonomi, namun dengan tetap memerhatikan kehati-hatian.

Pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Jilid 14 mengenai ekonomi digital. Langkah ini perlu didukung oleh otoritas lain. Bank Indonesia juga telah mendirikan BI Fintech Office pada pertengahan November 2016. BI Fintech Office salah satunya ditujukan sebagai katalisator/fasilitator bagi ide pengembangan inovasi di bidang Fintech, selain juga melakukan kajian dan penilaian serta pemetaan atas potensi dan manfaat Fintech.

Kegiatan usaha Fintech menyentuh wilayah yurisdiksi beberapa regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, hingga wilayah penegak hukum. Untuk itu, kesamaan pandang antar otoritas dan regulator sangat penting. Tentu saja komunikasi dengan pelaku industri Fintech, baik melalui Asosiasi Fintech Indonesia maupun industri perbankan, perlu terus dilakukan agar berbagai inovasi dapat tumbuh positif.

Melihat kisah sukses pertumbuhan Fintech di negara lain, kunci kemajuannya adalah pada koordinasi dan kerja sama antarelemen di negara tersebut dalam mendukung tumbuhnya ekosistem Fintech. Dengan koordinasi yang erat dan visi yang sama, kita optimistis Fintech di Indonesia dapat tumbuh positif, mampu menjadikan sistem keuangan lebih efisien, mendorong pertumbuhan, memperluas kesempatan kerja, dan menebar manfaat secara luas pada perekonomian.

Seni, Pelunak Rasa Benci

Seni, Pelunak Rasa Benci
Agus Dermawan T  ;   Penulis Buku Budaya dan Seni;
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden
                                                    KOMPAS, 30 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada tahun 1932, RM P Sosrokartono—kakanda RA Kartini—mengatakan kepada Bung Karno: Jangan sekali-sekali menjauhi seni. Karena seni adalah pelunak rasa benci. Bung Karno terkesiap.

Seperti mengamini petuah Sosrokartono, Bung Karno lantas berdekat-dekat dengan para seniman, termasuk Wolff Schoemaker, seniman Belanda. Selain tercatat sebagai guru arsitektur di Technische Hoogescholl Bandung (kini Institut Teknologi Bandung), Wolff adalah pelukis.

Lalu, Bung Karno pun berkata, ”Saya melawan politik Belanda, tetapi seni menyuruh saya untuk tidak membenci orang Belanda.” Begitu juga sebaliknya. Lewat seni, Wolff semakin dekat dengan sisik-melik bumi dan manusia Indonesia.

Ketika Jepang datang pada 1942, Bung Karno juga menggunakan seni untuk jalan politik. Bersama Letnan Jenderal Imamura, ia melakukan kolaborasi membentuk lembaga kebudayaan dan kesenian, seperti Keimin Bunka Sidhoso. Bahkan, Bung Karno mengutus Basoeki Abdullah untuk melukis Imamura di Saiko Sisikan (kini Istana Merdeka). Walau fasisme Jepang akhirnya tak terbendung, Imamura tetap mengingat: seni sudah pernah melunakkan kekakuan hati politik dan menyadarkan dirinya untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya.

Peran politis seni di Indonesia tentu tak berhenti pada masa Bung Karno saja. Lantaran pada setiap periode pemerintahan tampak selalu (mencoba) menggunakan seni untuk memperlunak keangkuhan besi politik.

Beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985, Fuad Hassan memanggil puluhan seniman Indonesia untuk berbincang-bincang. Ia menanyakan apa yang sebaiknya ia perbuat sehingga bisa tersusun program- program seni yang bisa bikin lumer kekerasan politik.

Jauh hari sebelumnya, budayawan Daoed Joesoef telah mengutarakan pandangan yang sejalan. Ia berkata bahwa dalam abad-abad panjang sejarah Eropa, seniman diposisikan sebagai makhluk utama di masyarakat. Bahkan sebagai deliciae generis humani, kekasih seluruh manusia. Hasil karya seniman sejati (yang tak terkontaminasi ideologi non-seni) akan jadi air gunung penyiram bara politik.

Presiden Abdurrahman Wahid juga berpikiran sama. Megawati Soekarnoputri kala jadi pemimpin negara bahkan sudah menyulap Bina Graha (bekas kantor Presiden Soeharto) menjadi Museum Seni Istana, yang siap diakses publik umum setiap waktu, meski museum yang diproyeksikan sebagai ”hati terdalam Istana” ini akhirnya dibongkar oleh pejabat Istana selanjutnya. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono coba menghaluskan politik lewat kumpulan puisi dan album lagu. Disusul Presiden Joko Widodo lewat junjungannya pada musik rock dan metal, dari Slank sampai Metallica.

Realitas ini membuktikan, sesungguhnya di bawah mejapemerintah tersembunyi keyakinan: pembentukan bangsa yang luhur akan kandas jika cuma bersandar pada politik. Karena bangsa yang bermartabat tidak hanya dibentuk dari etos Homo faber (manusia bekerja) dan Homo sapiens (manusia berpikir). Tetapi juga harus dilengkapi etos Homo ludens (manusia bermain). Manusia yang pandai mengolah rasa humanitas dalam lingkaran estetik, diformulasi sebagai seni.

Seni telah mengukir keras besi jadi pamor keris, jadi lingkar cincin pemaktub intan permata. Mengubah getas batu jadi kuil, candi, dan arca. Generasi gaul bahkan berprinsip: seni harus mampu menempa wajah benci jadi ”benar-benar cinta”. Sementara pemuda-pemudi tempo doeloe menganggap seni adalah keterampilan romantik yang sanggup menjodohkan benci dengan rindu.

Jamu nomor satu

Adab politik yang sangar selalu dikontrol oleh ulah-ulah yang sabar. Itu sudah dibuktikan sejak dahulu kala. Pemikir Yunani Kuno menyebut seniman adalah makhluk yang paling menyimpan spirit patientia vincit omnia. Artinya, manusia yang memiliki kesabaran luar biasa untuk menghasilkan karya yang mampu menaklukkan hati. Dalam khazanah Jawa Kuno, seni diartikan sebagai pekerjaan amat halus, lembut, rapi, menyenangkan, sebagai buah dari kerja yang penuh kesabaran. Karena kesabaran itu luhur, seni juga luhur. Yang luhur diam-diam mampu bertugas menjinakkan yang ngawur-ngawur.

Di Tiongkok hanya para politikus dan ahli perang yang mampu berpraktik seni yang bisa memperoleh kedudukan puncak, bahkan jadi raja yang tak kepalang pentingnya. Jenderal Li Shixun jadi kaisar paling dikenang pada Dinasti Tang (618-906) tatkala ia menggagas seni aliran utara, dalam musik, tari, sastra dan seni rupa. Huizong ternobat sebagai kaisar terhebat Dinasti Song (960-1278) setelah mendirikan Akademi Seni Kerajaan, yang mempertemukan aliran seni utara dan aliran seni selatan. Jenderal ini bertutur, seni akan membuat para pembenci luluh ke dalam tinta dan terbentuk indah dalam aksara. Pengidap penyakit amuk yang gampang murka dan intoleran akan luluh dalam estetika gambaran.

Para seniman, dari Wang Wei sampai Su Tung Po, sangat dihormati sebagai manusia yang ”berumah di atas angin”. Mereka dijunjung sebagai penangkal rasa sirik bagi jiwa dan pikiran para pemangku kekuasaan di kerajaan. Penyair Lebanon, Kahlil Gibran, juga berkali-kali mengingatkan itu. Gubahannya mengisyaratkan bahwa seniman itu bak tukang kebun. Yang tekun memandangi langit, mendengar nyanyian angin, membelai rumput, menyentuh embun, mengagumi ragam kembang yang tumbuh di taman. Perilaku seniman (tukang kebun) tentulah jauh dari unsur-unsur kebencian.

Negeri yang terlalu lama meremehkan seni berpotensi melahirkan para pembenci. Besar kemungkinan Indonesia adalah salah satunya lantaran selama berpuluh tahun sukses menyembunyikan penderita skizoid paranoid di bawah tikarnya. Alhasil, begitu media sosial menyediakan diri sebagai wadah, batu-batu kebencian dari balik tikar itu riuh berhamburan. Tak hanya rumah politik yang ditimpuki, tetapi apa saja, termasuk suku, antargolongan, ras dan agama. Atau, jangan-jangan seni di Indonesia sudah gagal menunaikan tugasnya?

Siapa Pantas Disebut Guru?

Siapa Pantas Disebut Guru?
Iqbal Aji Daryono  ;   Praktisi Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
                                                DETIKNEWS, 29 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETIKA M. Prasetyo dilantik menjadi jaksa agung dua tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ini kabar duka dari Jokowi. ”Ini berpotensi rawan intervensi dan ini mengecewakan,” kata Emerson Yuntho, pentolan organisasi antikorupsi itu, Kamis (20/11/2014) seperti dilansir JPNN. Prasetyo dikenal sebagai tokoh Nasdem, bahkan mundur mendadak dari anggota DPR untuk menduduki kursi pemuncak korps Adhyaksa.

Pada awal Jokowi menjabat, memang timbul syak bahwa wong Solo ini serius merealiasikan janjinya dalam Nawacita di bidang hukum (cita nomor 4). Yakni, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum. Namun, ketika keraguan merebak pada Prasetyo, pengkritiknya diminta bersabar. Beri dia kesempatan membuktikan diri. Begitu pro-Prasetyo menyarankan.

Kini setelah dua tahun memimpin kejaksaan, malah makin menebal. ICW pun memberikan rapor merah. Termasuk soal dugaan intervensi politis itu. ICW mencontohkan penghentian perkara dugaan korupsi Bupati Bone Bolango Hamim Pou. Awalnya, Hamim menjadi bupati lewat jalur independen. Setelah perkaranya dihentikan, Hamim bergabung dengan Partai Nasdem, bahkan menjabat ketua DPW Gorontalo. Sulit dibuktikan, tapi kaitan dengan penghentian dugaan korupsi layak dipertanyakan.

Kasus penangkapan jaksa Kejati Jatim Ahmad Fauzi (AF) dalam kasus suap menunjukkan indikator buruk itu. Diragukan, Kejagung akan menuntaskan siapa saja yang terlibat dalam suap itu. Belum-belum, M. Prasetyo dan Kajati Jatim Maruli Hutagalung mengatakan AF pemain tunggal. Dia pun ditahan dalam satu sel dengan orang yang diduga memberinya uang (Jawa Pos, 27/11). Padahal, lazimnya, orang yang saling berkomplot dipisah agar lebih mudah menguak kebenaran.

Selain itu, evaluasi negatif ICW atas kepemimpinan Prasetyo sudah diberitakan meluas. Intinya, tak ada prestasi besar yang bisa sejalan dengan tekad Jokowi-Jusuf Kalla (JK) lewat Nawacita hukum itu. Mirip komentar awal ICW ketika Prasetyo dilantik. Tak ada reformasi sistem yang bisa dirasakan publik.

Ketidakjelasan arah kerja kejaksaan di bawah Prasetyo menjadikan Kejagung sebagai mata rantai lemah, kalau bukan terlemah, dalam perwujudan janji-janji Jokowi-JK di bidang hukum. Selain rapornya merah, Kejagung kadang menyasar orang yang dikenal bersih dan penuh inovasi yang banyak menyumbangkan tenaga, uang, serta pikirannya untuk negeri. Sama sekali tak ada bukti aliran uang untuk pribadi, tapi malah dengan kekuatan penuh diringkus lebih dulu dengan pasal-pasal korupsi.

Kondisi penegakan hukum ini makin muram karena KPK juga sedang melemah. KPK seperti bermain dan menikmati zona nyaman. Yakni, seperti menghindari penangkapan yang bisa menimbulkan serangan balik.
Terkait dengan kejaksaan, KPK pernah melakukan penangkapan terhadap Marudut, yang diduga memerantarai suap bos-bos PT Abipraya kepada Kajati DKI Sudung Situmorang dan Aspidsus-nya, Tomo Sitepu. Marudut sudah divonis 3 tahun penjara. Namun, meski dua nama itu disebut dalam vonis Marudut, KPK belum juga menetapkannya sebagai tersangka. Kejaksaan Agung juga tak mengutak-atik posisi orang yang dicurigai integritasnya tersebut.

Entah kenapa pula KPK seperti ini. Mungkin para komisionernya belajar bersiasat. Sebab, pada awal pemerintahannya, Jokowi terkesan tak terlalu antusias membela para komisioner KPK yang dikuyo-kuyo aparat lain. Karena itu, KPK memilih menghindari menyentuh institusi yang punya kewenangan menersangkakan orang, yakni Polri dan kejaksaan. KPK juga terkesan tak bertindak maksimal dalam kecurigaan korupsi dalam reklamasi Jakarta dan Sumber Waras yang menyangkut Basuki Tjahaja Purnama.

Situasi penyelenggaraan hukum yang tanpa arah reformatif ini terlihat tak terlalu diurus oleh pemerintahan Jokowi. Kurang kredibel apa kritik lembaga sekelas ICW, tempat dulu Kepala Staf Presiden Teten Masduki ”dibesarkan”? Toh, presiden seperti membiarkan. Mungkin anggapannya yang penting pembangunan ekonomi. Ini betul juga. Tetapi, bukankah ekonomi juga sedang lesu? Ketidakjelasan arah hukum ini bisa juga turut membentuk situasi tak kondusif.

Memang ada upaya instan seperti pembentukan Satgas Sapu Bersih (Saber) Pungli. Upaya itu patut diapresiasi. Namun, tanpa reormasi yang lebih sistematis serta dikemudikan tokoh-tokoh berintegritas tinggi, rasanya akan jadi sinisme. Sangat banyak kasus pungli, tapi yang ditangkap satu dua. Bahkan, mulai muncul keluhan adanya perlawanan dari sebagian birokrat yang bekerja melambatkan diri karena terbiasa menerima pungli.

Sudah dua tahun kita kehilangan momentum memperkuat hukum. Kalau boleh dibilang, ini kemerosotan jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Saat itu KPK dibiarkan kuat, disokong presiden, dengan segala risikonya demi menyemangati pemberantasan korupsi. Beberapa kali KPK diserang, namun diamankan oleh presiden. Untuk kejaksaan, saat itu tak terdengar kritik bahwa perkara diusut karena pesanan bersifat dendam atau politis.

Waktu itu oposisi juga bebas bersuara keras kepada pemerintahan. Banyak suara penyeimbang yang bisa meredam kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Kini oposisi terdengar sayup-sayup. Pemerintahan seperti dikemudikan dengan transaksi politik, yang minim suara kritis akal sehat. Parpol terpecah-pecah dan pemerintah seperti memanfaatkan kewenangannya untuk menguntungkan posisinya, minus keadilan.

Sudah dua tahun, kita banyak kehilangan momentum hukum. Untuk menghidupkan kembali Nawacita hukum, perlu keyakinan bahwa orang yang menjadi pucuk pimpinan institusi hukum benar-benar bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya (bebas intervensi politik). Kecuali, memang pembuatan Nawacita itu hanya untuk lucu-lucuan.