PDI-P
dan Koalisi Pilkada 2018
Noory Okthariza ; Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial,
CSIS, Jakarta
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Pola-pola koalisi yang
terbangun dalam Pilkada 2018 di 171 daerah menunjukkan ketidakmampuan PDI-P
dalam membangun koalisi yang kohesif di tingkat lokal. Pada Pilpres 2014,
PDI-P awalnya bermitra dengan PKB, Nasdem, dan Hanura. Setelah Joko Widodo
terpilih sebagai presiden, gerbong koalisi pemerintah bertambah dengan
masuknya PAN dan Golkar.
Dalam situasi politik
normal, idealnya pola koalisi pemerintah di tingkat nasional mengakar hingga
ke provinsi, kota, dan kabupaten. Partai di daerah seharusnya mengikuti arah
kebijakan dari pemimpin partai di tingkat pusat. Namun itu
tidak terjadi di pemerintahan saat ini. Koalisi yang dibangun PDI-P ternyata
lumayan tercerai berai, setidaknya dilihat dari statistik koalisi Pilkada
2018.
Mari kita bandingkan pola
koalisi yang dibangun oleh PDI-P dengan dua partai oposisi saat ini, Gerindra
dan PKS. CSIS mengumpulkan dataset terkait Pilkada 2018 yang beberapa di
antaranya meliputi pola koalisi partai politik di 171 daerah dan background
pribadi seperti pekerjaan, umur, dan pendidikan dari 569 pasang calon kepala
dan wakil kepala daerah yang akan berkompetisi Juni nanti.
Data ini memungkinkan kami
menjawab berbagai pertanyaan menarik, misalnya, di daerah mana saja partai X
membentuk koalisi dengan Y, bagaimana indeks korelasi koalisi antarpartai,
dan partai mana yang terbanyak mendukung calon purnawirawan TNI/Polri.
Terkait koalisi yang
dibangun PDI-P, ada sejumlah temuan menarik. Koalisi yang dibangun PDI-P
dengan mitra di pemerintahan seperti PAN dan Golkar ternyata jauh lebih
sedikit dibandingkan koalisi yang dibangun kedua partai dengan Gerindra. Dari
171 daerah, PDI-P berkoalisi dengan PAN hanya di 57 daerah. Sementara PAN
berkoalisi dengan Gerindra di 73 daerah. PAN juga memilih lebih banyak
bekerja sama dengan PKS ketimbang PDI-P. PAN dan PKS akan bersama-sama
mendukung calon pemimpin di 64 daerah, sementara PAN dan PDI-P hanya akan
bekerja sama di 57 daerah saja.
Di sisi lain, Golkar juga
terlihat lebih nyaman berkoalisi dengan Gerindra dibandingkan PDI-P. Ini
terbukti dari jumlah koalisi Golkar-Gerindra lebih banyak (65 koalisi)
dibandingkan Golkar-PDI-P (57 koalisi).
Jumlah koalisi yang Golkar
ciptakan seperti dengan Nasdem, PAN, Hanura, dan PKB juga melampaui jumlah
koalisi Golkar dengan PDI-P. Ini artinya, koalisi sesama partai pendukung
pemerintah di Pilkada 2018 memang terjadi, tetapi koalisi tersebut terbatas
pada koalisi partai-partai pendukung pemerintah minus PDI-P.
Khusus untuk Golkar, fakta
bahwa partai ini mampu membentuk jejaring koalisi yang luas membuktikan
mereka memiliki fleksibilitas dan adaptasi yang lebih baik dibanding partai
lain. Tetapi kenyataan bahwa Golkar memilih mendekat ke Gerindra di tingkat
lokal juga adalah sesuatu yang agak janggal, terlebih Golkar baru saja
mendapat tambahan kursi di kabinet setelah Idrus Marham diangkat sebagai
Menteri Sosial pada reshuffle kabinet Januari lalu.
Buat PDI-P, Pilkada 2018
seharusnya dilihat sebagai momen konsolidasi awal menghadapi Pemilu 2019. Ini
momen exercise bagi PDI-P dan partai lain dalam melihat efektivitas koalisi
yang terbangun dan sejauh mana mesin politik partai berjalan di tingkat
lokal.
Sayangnya momen
konsolidasi ini tampaknya gagal dimanfaatkan secara efektif oleh PDI-P.
Adalah Gerindra bersama sekutu utamanya, PKS, yang ternyata lebih berhasil
membentuk kekuatan yang lebih solid. Dua partai ini akan bekerja sama di 70
pilkada. Di tambah PAN, partai yang sebetulnya masih punya wakil di kabinet,
koalisi oposisi yang terbentuk diperkirakan akan makin menguat seiring Pemilu
2019 yang kian mendekat.
Pemerintah
vs oposisi
Sekarang, andaikan koalisi
awal pemerintah antara PDI-P, PKB, Nasdem, dan Hanura kembali terjadi pada
Pemilu 2019, kita berharap bahwa keempat partai ini terlebih dahulu membentuk
sebanyak-banyaknya koalisi pada Pilkada 2018.
Tetapi, ternyata keempat
partai hanya bekerja sama di 14 pilkada saja. Dan dari 14 pilkada ini,
keempat partai hanya berkoalisi di satu pilgub (yang sebetulnya tidak terlalu
signifikan magnitude-nya dalam pilpres), yakni di Provinsi Maluku, dimana
mereka mendukung Jenderal (Purn) Murad Ismail. Sementara sisa 13 koalisi
terjadi di kabupaten-kabupaten kecil seperti Deli Serdang, Bone, Jayawijaya,
dan Mimika.
Sementara koalisi yang
terbangun antara Gerindra, PKS, dan PAN berjumlah 39. Dari 39 ini, ketiga
partai bersekutu di enam pilgub yang sebagian besar adalah provinsi-provinsi
kunci seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Singkatnya, dari segi
jumlah koalisi dan juga magnitude daerah tempat koalisi terbentuk, PDIP-
tertinggal jauh dari pihak oposisi. Apa pesan penting dari angka-angka di
atas? Pertama, kenyataan bahwa jumlah koalisi PDI-P dengan mitra koalisinya
lebih kecil dibandingkan koalisi partai oposisi menunjukkan kelemahan PDI-P
dalam melakukan komunikasi politik yang luwes dengan partai-partai lain.
Dalam momen seperti pilkada, koalisi politik tak akan terbentuk manakala
sebuah partai kurang fleksibel dalam menyodorkan nama-nama calon kepala
daerah. Koalisi juga tidak akan terbentuk jika sebuah partai terlampau
percaya diri mengusung calon kepala daerah tanpa bantuan partai lain.
Ini terjadi, misalnya,
dalam Pilkada Jawa Barat di mana PDI-P memutuskan maju sendiri mengusung TB
Hasanuddin sebagai calon gubernur tanpa berkoalisi dengan partai mana pun.
Padahal, Jawa Barat secara kultural bukanlah basis yang ramah terhadap partai
nasionalis seperti PDI-P.
Pesan kedua terkait
perlunya kesadaran dini dari petinggi PDI-P, termasuk Presiden Jokowi, bahwa
kekuatan-kekuatan politik di sekitar mereka sebetulnya sudah melakukan
konsolidasi awal di daerah-daerah.
Ini adalah sesuatu hal
yang sesungguhnya lumrah dalam politik di mana setiap partai memilih strategi
yang akan mengantarkan mereka ke pusat-pusat kekuasaan. Tetapi kegagalan
merespons manuver ini secara bijak akan sangat mungkin menyulitkan peluang
Presiden Jokowi terpilih kembali tahun depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar